Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA suatu waktu, saya bertandang ke Studio Jeihan di kawasan Padasuka, Bandung. “Manusia, apakah itu Bung, saya, tetangga, atau orang-orang yang lewat di sana, adalah rumah dari semua misteri. Dan misteri itu bisa menyamar pada tubuhnya, pada wajahnya, pada rambutnya, pada lengannya, pada kakinya. Namun semua misteri itu, sungguh mati, terpusat pada matanya. Maka, apabila saya berjumpa dengan seratus orang dalam seminggu, akan ada seratus mata yang menawarkan rahasia di hadapan saya. Akan ada seratus teka-teki yang mengganggu pikiran saya. Bung, pertanyaan atas misteri itu selalu saya jawab lewat bahasa filsafat mata hitam, yang saya format dalam bentuk lukisan. Meski jawaban itu tak pernah menghasilkan kesimpulan,” kata pelukis Jeihan Sukmantoro berapi-api dengan rentetan perkataan yang sulit berhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jeihan lantas mengajak menyaksikan beberapa karyanya yang terpajang di dinding lain. Dengan terus berceloteh ia menunjuk satu per satu lukisannya, yang berupa tableau figur-figur yang sedang duduk, berbaring, berdiri di sebuah ruang kosong tanpa setting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bung, lihat, manusia yang saya tampilkan selalu bermata jelaga. Semua ini saya gubah untuk menawarkan imaji bahwa mata sosok-sosok itu bukan sedang memandang kita, tapi justru sedang menyedot penglihatan kita, dan membawa pikiran kita ke dalam lorong kehidupannya. Sampai akhirnya Bung diajak meraba-raba, sosok itu siapa? Dan apa yang pernah terjadi dan akan terjadi di ruang gelap riwayat hidupnya?”
Jeihan beringsut ke sudut lain, dengan tetap tiada henti berbicara.
Lalu ditunjukkan lukisan berjudul Nanang (1982) yang menggambarkan seorang bocah kurus tanpa baju sedang duduk dengan posisi agak terjengkang. Ia berada di ruang kelam. Matanya yang menyipit digubah dalam coretan hitam. Ditunjukkan pula lukisan Nisa (1990), yang menggambarkan perempuan berkerudung sedang duduk gelisah di ruang tiada berbatas. Gesturnya merunduk dan telinganya diarahkan ke satu sisi. Lukisan ini mengisyaratkan bahwa si perempuan seperti mendengar bisik-bisik rahasia. Tangan kirinya menyentuh telinga, sementara mata hitamnya berusaha menyerap semua suara.
Pantai Cirebon karya Jeihan. Tempo/Jati Mahatmaji
“Sekarang Bung bisa memahami lukisan ini: Marni, Nung, Anna, Lily, Riani, Nuriah. Bahkan ini, lelaki bermata kelam meniup seruling, dengan irama dan lagu yang tiada seorang pun tahu,” ucap Jeihan, tetap dengan nada berapi-api.
Kini jajaran lukisan yang ditunjukkan Jeihan Sukmantoro (1938-2019) itu terpajang di 75 Gallery, Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta. Pemilik galeri memang berhasil mengakuisisi lukisan-lukisan itu dari tahun ke tahun untuk kemudian dikumpulkan. Lalu 45 di antaranya dipamerkan dalam "Mata Hitam". Bersamaan dengan itu, digelar pula 30 lukisan Nyoman Gunarsa yang mengusung tema "Energi Penari". Pameran memorabilia ini berlangsung pada 25 Februari-17 Maret 2024.
Yang menarik, pameran juga menghadirkan sejumlah lukisan nonfigur, yang menyentak dominasi tema “mata hitam” lukisan Jeihan. Misalnya Gubuk Nelayan Pelabuhan Ratu (1970), Perahu-perahu (1971), Nusantara II (1987), Rumah Nelayan (1976), dan Pasir Putih (1974). Juga lukisan yang memikat mata dan rasa, Pantai Cirebon (1995) dan Bunga Matahari (2000). Dalam dua lukisan ini, Jeihan “berani” menampilkan olahan nuansa sapuan, menghadirkan (relatif) banyak warna, dan menggubah komposisi yang cenderung dinamis. Sajian “aneh” ini mengusik mitos Jeihan sebagai pelukis sosok manusia yang diam, walaupun dalam lukisan-lukisan nonfigur itu konsep misteri dan keheningan tetap dipertahankan.
Lalu teringatlah ucapan Jeihan ini: “Ujung peradaban adalah kebudayaan. Muara kebudayaan adalah kesenian. Puncak kesenian adalah puisi. Kulminasi puisi adalah filsafat. Puncak filsafat adalah sufi, sementara sufi itu adalah suwung, atau keheningan yang misterius." Lukisan manusia tepekur dan bermata hitam gubahan Jeihan adalah gambaran suwung itu. Sedangkan lukisan-lukisan nonmanusia Jeihan—pemandangan laut, pemandangan bukit, bunga di taman—yang menyarankan kesenyapan adalah siratan kesufian itu.
Dua Srikandi (2008) karya Nyoman Gunarsa. Tempo/Jati Mahatmaji
Beralih ke panil-panil lain, kita berjumpa dengan lukisan Nyoman Gunarsa (1944-2017). Sementara Jeihan menjulang dengan konsep kesenyapan yang meditatif, Gunarsa melambung dengan konsep dinamika dan gelora, dalam bentuk-bentuk yang atraktif.
Kesuksesan seni lukis Gunarsa didorong berbagai aspek. Yang paling utama tentu aspek artistik lukisan-lukisannya, yang didukung keterampilan teknik khasnya yang luar biasa. Karena itu, karyanya selalu menawarkan keindahan personal. Selain itu—ini yang terpenting—aspek tema yang mengeksplorasi budaya etnik Bali secara runtut dan tak habis-habis. Misalnya serial dunia pewayangan yang dijuduli Aringgit (1991), serial persembahan sembahyang yang dijuduli Offering (1980), serta serial tarian yang dijuduli Penari Kipas (1992), Penari Pendet (2002), Penari Rejang Sari (2010), dan Peniup Seruling Kain Kuning (2011). Juga serial pentas kendang wadon (kendang perempuan) yang didemonstrasikan dengan meriah dan apik dalam Gebyar Penabuh Kendang (2009).
Gadis Bali Bermain Biola karya Nyoman Gunarsa. Tempo/Jati Mahatmaji
Untuk semua lukisan itu, Gunarsa merancang sendiri piguranya. Semua sisi pigura kayu itu dihiasi ukiran yang berkonteks lukisan. Bahkan kadang dibubuhi warna. Gunarsa mungkin teringat ucapan para pelukis tempo doeloe di era Hindia Belanda: Een schilderij walt of saat met de lijst (Jatuh-bangunnya lukisan tergantung piguranya). Gunarsa percaya pada kata-kata itu, meski ia meyakini tanpa pigura pun lukisannya sanggup bergaya-gaya sendiri. Dengan itu, Gunarsa pun menjadi salah seorang pelukis Indonesia paling eksistensial di tengah konstelasi seni lukis internasional. Promotor kelas dunia seperti Leo Castelli juga memandang karya-karya Gunarsa dengan mata sebanyak-banyaknya.
Seperti karya Jeihan, lukisan Gunarsa yang bertema nyeleneh juga dimunculkan dalam pameran ini. Deretan lukisan itu menghadirkan tema-tema kontemporer. Ada yang mempertemukan figur tradisional Bali dengan kebudayaan modern. Serial lukisan Perempuan Bali Bermain Biola (2008) contohnya. Ada pula yang merekam ibu sedang menyusui bayinya, dalam Kasih Sayang Ibu (2009). Bahkan ada yang menjunjung dua tokoh perempuan Indonesia, Retno Marsudi dan Sri Mulyani Indrawati, dalam perlambangan Dua Srikandi (2008). Lukisan itu digubah dalam gaya cenderung realis, meski tetap dengan besutan ekspresionistik.
Gunarsa mengagumi Retno sejak diplomat itu bekerja sebagai duta besar di Norwegia dan Islandia. Dan ia terpesona kepada Sri sejak ahli keuangan itu menjadi menteri pada era Susilo Bambang Yudhoyono. “Pada suatu periode, dua srikandi ini harus duduk bersama dalam kabinet,” kata Gunarsa. Dan itu menjadi kenyataan pada 2016. (Catatan: Gunarsa juga menciptakan berpuluh-puluh lukisan erotik, yang sampai sekarang belum pernah ditampilkan secara khusus).
Pameran dua pelukis besar ini penting disimak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Karya Berbeda Jeihan dan Gunarsa "