Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBAGUSAN, Jakarta Selatan, 20 September 2004, 14.30 WIB. Dua telepon genggam Nokia Communicator Taufiq Kiemas nyaris tak pernah berhenti berteriak. Yang satu masih online, yang lain sudah berdering-dering. "Bagaimana perkembangannya? Kita kalah? Belum, kan? Tolong pantau terus. Maafkan kakakmu ini kalau terlalu cerewet," ujar suami kandidat presiden Megawati Soekarnoputri melalui kabel handsfree yang menempel di telinga. Panas siang melanda Jakarta. Taufiq gerah. Ia sibuk memantau penghitungan suara.
Televisi 21 inci yang mengabarkan hasil pantauan coblosan tak lagi menjadi perhatian pria berbadan lebar itu. Para tamu dari Koalisi Kebangsaan—aliansi partai yang menyokong Megawati—sudah lama pulang. Juru tinta pun sudah berlalu satu-satu.
Yang tertinggal hanya Wakil Sekjen PDIP Pramono Anung, bekas Direktur TV7 August Parengkuan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi dan suaminya, Didi Soewandi, serta Kwik Kian Gie dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Ada pula Guruh Sukarno Putra dan Sukmawati Soekarnoputri. Semua sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing.
Mega tak ada. Hari itu ia mengaku sedang tidak sehat. Sambil menyeka hidungnya dengan tisu, ia sebentar menyapa Tempo. "Saya agak meriang. Ntar kamu malah ketularan, lho," katanya. Lalu Mega masuk ke dalam.
Tak lama kemudian Guruh dan Sukma beranjak keluar.
"Mas Taufiq, pulang dulu," kata Sukma. Yang disapa mengiyakan.
"Ruh, kamu mau ke mana? Di sini ajalah."
"Pulang dulu, Mas. Ada yang harus dikerjakan."
Taufiq hanya bisa mengangguk. Dering telepon kembali berbunyi.
Hasil penghitungan suara memang membuat Taufiq risau. Hanya delapan jam setelah tempat-tempat pemungutan suara (TPS) resmi dibuka untuk umum, hasil penghitungan cepat (quick count) Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sudah memberi kabar yang menampar kubu Megawati. Ia kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono dengan perbandingan 38,8 persen berbanding 61,2 persen. Hasil serupa diperoleh dari survei astaga.com, Polling Center, Indonesia Media Technologies (IMT), dan Forum ITB 73 (Fortuga). Lembaga yang terakhir mengambil sampel di 4.000 TPS di seluruh Indonesia.
Taufiq menyeruput kopi instan dari cangkirnya. Ia kembali bicara melalui ponselnya. "Jadi Lampung oke, ya?" ujarnya kepada seseorang di ujung telepon. Sesaat kemudian, Pram, yang termenung di ujung teras, disapanya. "Pram, ke sini dong. Berbagilah. Semua di sini juga tegang," katanya setengah berteriak.
Pram bangkit mendekati Kiemas.
"Gimana perkembangan? Jawa Timur dan Jawa Tengah piye?" tanya Taufiq ke Pramono.
"Belum ada perkembangan, Mas. Masih fifty-fifty. Tapi di Blitar dan Kediri kita dapet."
Taufiq kembali memencet-mencet Communicator-nya.
Sebentar kemudian ia tersambung dengan Arif Wibowo, Wakil Kepala Biro Proses Pemantauan Pemilu Mega-Hasyim. Lalu guntur itu kembali menderu: quick count yang dibuat kubu Mega mengkonfirmasikan kekalahan itu. Dari 2.500 sampel TPS yang mereka pantau, Mega menguasai 46,6 persen, sedangkan Susilo menang dengan 53,4 persen. Taufiq terdiam.
Cikeas, Bogor, 20 September 2004, 17.00 WIB. Rumah besar di kompleks perumahan mewah itu ibarat pasar malam. Ratusan orang, malah mungkin lebih dari seribu orang, menyemut di sekitar rumah Susilo Bambang Yudhoyono. Bekas pejabat, aktivis LSM, politisi terkenal dan tidak terkenal, juga rakyat jelata tumplek-blek merayakan kegembiraan bersama calon presiden Susilo.
Di pendopo besar di dekat rumah, Susilo menyaksikan penghitungan suara cepat melalui layar besar yang menyiarkan Metro TV. Di sebelah Susilo, tampak Direktur Utama Metro TV, Surya Paloh. SBY—begitu Susilo biasa disapa—mengaku tenang menunggu hasil penghitungan suara. "Semalam Bapak tidur cepat, tidak seperti biasanya," kata Kristiani Herrawati, istri SBY. "Dibanding putaran pertama, saat ini saya lebih santai," kata Yudhoyono sambil tertawa.
Optimisme tampak membayang di wajah bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan itu. Saat jumpa pers, Yudhoyono mengaku tak berat untuk mendapatkan 55-60 persen suara. Keyakinan itu diperolehnya dari beberapa kali kunjungan ke daerah dan hasil beberapa jajak pendapat.
Sesaat kemudian ia bercanda dengan wartawan tentang kesamaan dengan Megawati: sama-sama doyan cabe. "Dalam rapat kabinet, tidak ada seorang menteri pun yang dapat menyaingi Megawati dalam makan cabe kecuali saya," tuturnya sembari tersenyum.
Sekitar pukul 21.40, Yudhoyono didampingi calon wakil presiden Jusuf Kalla menggelar konferensi pers—acara yang semula dijadwalkan pagi hari. "Pidato ini adalah bentuk pernyataan syukur," ujarnya.
Yudhoyono menolak difoto bersama Kalla. "Wah, jangan. Nanti bisa-bisa diartikan saya sudah menyatakan menang," katanya. Kalla, yang datang bersama istrinya, tak menyampaikan sepatah kata pun. Ia hanya tersenyum tanpa henti.
Soal kabinet, SBY cuma berkata pendek. Menteri Luar Negeri katanya tetap akan dipercayakan pada Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri saat ini. Yang lainnya, "Ada dua atau tiga menteri yang mungkin akan kami ajak bergabung dalam kabinet yang baru," katanya. Menurut Rachmat Witoelar dari tim sukses SBY, kemungkinan beberapa nama akan dibocorkan Yudhoyono dalam satu-dua hari ini agar ditanggapi publik. "Soal siapa mereka, tanya langsung ke Pak Yudhoyono," ujarnya.
Di luar, para tamu makin menyemut. Tampak di antaranya pengusaha Hartati Murdaya, politisi PPP Aisyah Amini, mantan Direktur Utama Bank BNI Saifuddien Hasan, juga politisi Golkar Idrus Marham. Idrus butuh waktu lama untuk menelepon kanan-kiri supaya bisa masuk ke ruang utama kediaman Susilo. "Biasalah, kalau lampu sedang terang, pasti banyak laron berdatangan," kata Ketua Umum Partai Demokrat, Subur Budi Santoso.
Tak sulit menduga bahwa Susilo Bambang akan unggul dalam putaran kedua pemilu ini. Jajak pendapat yang dilakukan International Foundation Election Systems (IFES) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan Megawati tak pernah mampu mengejar popularitas SBY. Susilo berkutat di angka 60 persen dan Mega hanya bisa mendapat separuhnya (lihat infografik).
Padahal sebelumnya Bambang nyaris gagal menjadi calon presiden. Ia memang disebut-sebut bakal maju sebagai kandidat presiden, tapi berkali-kali ia menampik dikaitkan dengan Partai Demokrat—partai yang mencalonkannya ke pertandingan. Bahkan, saat partai itu didirikan, SBY tak datang. Ia sungkan: bagaimanapun, ia adalah menteri dalam kabinet Mega.
Belakangan, ketika konfliknya dengan Taufiq Kiemas memuncak, SBY memutuskan keluar dari kabinet. Tekadnya tak sia-sia, Demokrat meraih delapan persen suara, lebih dari cukup untuk menyorongkannya ke pemilihan presiden.
Setelah itu, SBY melaju. Dalam pemilu putaran pertama, ia unggul dengan 33,59 persen suara. Koalisi Kebangsaan, yang dibuat Megawati dengan Golkar, PPP, dan beberapa partai kecil lainnya, nyaris tak mampu membendung sang Jenderal.
Golkar agaknya kehilangan mesin politiknya. Semula Akbar memprediksi akan menang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. "Jawa Barat agak berat karena persaingan dengan Yudhoyono akan ketat," ujarnya. Di Indonesia Timur, kecuali Sulawesi Selatan, Akbar pun optimistis menang. "Di Kupang dan Sul-Ut, kami optimistis," ujarnya. Di Papua, Sumatera Barat, dan Aceh menurut dia masih berimbang.
Tapi, tengoklah apa yang terjadi. Hingga Selasa siang, pasangan Yudhoyono-Kalla unggul di semua provinsi kecuali Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Kawasan yang dalam putaran pertama menjadi basis Amien Rais seperti Aceh dan Sumatera Barat juga disapu bersih oleh SBY-Kalla. DKI Jakarta, yang diduga akan dipenuhi warga golput, ternyata juga dikuasai Susilo. Jawa Timur, kawasan yang secara tradisional dikuasai PDIP—seperti Surabaya, Batu, Kediri, Madiun, dan Malang—kini di bawah ketiak SBY. Padahal Malang adalah tempat berdirinya Pesantren Al-Hikam milik calon wakil presiden Hasyim Muzadi.
Koalisi Kebangsaan di Jawa Timur rupanya tidak efektif. Kebanyakan masyarakat desa tidak tahu bahwa di tingkat elite PDIP berkoalisi dengan Golkar. Kelemahan ini ditambah dengan retaknya hubungan anggota DPRD Jawa Timur dari PDIP dan Golkar saat rebutan kursi Ketua DPRD provinsi itu pekan lalu. Mengetahui elite PDIP Jawa Timur setengah hati mendukung Ridwan Hisjam sebagai Ketua DPRD Ja-Tim dari Partai Golkar, elite Golkar Ja-Tim pun setengah hati dalam mengarahkan dukungan kepada Mega.
Terlalu pagi memang bagi kubu Megawati untuk menyerah. Secara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan mengumumkan hasil pemilu pada 5 Oktober nanti. "Masih terlalu prematur untuk mengklaim kemenangan atau mengklaim ketidakmenangan padahal penghitungan baru lima persen," kata Sutradara Gintings dari Mega Center. Gintings adalah anggota Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI) yang pindah ke PDI Perjuangan. Sebelum di PKPI, ia adalah aktivis Golkar. Pidato "kemenangan" SBY pun kabarnya dibahas dalam rapat Koalisi Kebangsaan di rumah Megawati.
Menurut Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto, Megawati tidak marah ataupun kecewa dengan perolehan suara yang jauh di bawah Yudhoyono. "Ini kan belum separuh, kok pada ribut. Kok, maunya ribut terus, sih," kata Sutjipto menirukan ucapan Megawati.
Motor Koalisi Kebangsaan, Akbar Tandjung, mengaku belum kalah. "Kita tunggu dua-tiga hari ini," katanya. Tapi, seandainya hasil penghitungan quick count ini berlangsung tetap, ia menandaskan bahwa koalisi tidak akan bubar, dan akan terus dipertahankan di parlemen, DPR pusat dan daerah. "Pokoknya, Koalisi Kebangsaan akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah," ujarnya.
Ketika matahari mulai condong ke barat, suasana di Kebagusan mulai lengang. Televisi 21 inci di beranda masih belum berganti saluran, meski tak lagi menayangkan soal pemilu melainkan talk show tentang ketoprak. Megawati tetap di rumah.
Didi Soewandi bangkit dari duduknya.
"Mas Didi mau ngecek ke mana?" tanya Taufiq.
"Jawa Timur."
Para tetamu pun pelan-pelan beranjak. Kwik berpamitan pada Taufiq. Laksamana menyusul. Lalu Rini Soewandi.
"Laks, mau ke mana?" tanya Taufiq. "Ngapain buru-buru. Di sini saja, nunggu hasil di sini. Kalau di rumah ntar susah tidur, lho," kata Taufiq bercanda. Laksamana tersenyum. Bertahan sebentar, ia kemudian meninggalkan tempat. Putri Mega, Puan Maharani, mewakili ibunya mengantarkan sang tamu ke mobil. Di halaman, empat cucu Mega sibuk berlarian di halaman berumput.
Malam turun. Lampu beranda mulai dinyalakan. Para pelayan membereskan cangkir dan piring-piring kotor serta melipat kursi dan taplak meja. Masih dengan telepon seluler yang tak henti mengirim pesan-pesan pendek, Taufiq bangkit dari kursinya mendekati perancang mode Samuel Watimena dan beberapa rekan lainnya yang sedang asyik makan bakpau. Ia bercanda kecil dengan senyum tertahan. Taufiq Kiemas berniat menyeruput lagi kopinya. Tapi cangkir itu telah lama tandas. Di luar, malam terasa gelap. Teramat gelap.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, Y. Tomi Aryanto, Yura Syahrul, Koresponden Daerah
Prediksi Hasil Pemilihan Presiden Putaran Dua
Lembaga Survei Indonesia | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Periode 17-19 Juli | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
SBY-JK | 68%Mega-Hasyim | 22,9% | Tidak tahu/rahasia | 9,1% | Â | Periode 23-25 Agustus | SBY-JK | 58,2% | Mega-Hasyim | 29,2% | Tidak tahu/rahasia | 12,5% | Â | Periode 10-12 September | SBY-JK | 57% | Mega-Hasyim | 31,5% | Tidak tahu/rahasia | 11,6% | Â | Periode 16 September | SBY-JK | 56,2% | Mega-Hasyim | 36,3% | Tidak tahu/rahasia | 7,5% | Â | |
---|
International Foundation Election Systems | |||||||||||||||||||||||||||||
Periode 17-14 Juli | |||||||||||||||||||||||||||||
SBY-JK | 66%Mega-Hasyim | 24% | Tidak tahu/rahasia | 10% | Â | Periode 7-14 Agustus | SBY-JK | 62% | Mega-Hasyim | 28% | Tidak tahu/rahasia | 10% | Â | Periode 2-9 September | SBY-JK | 61,2% | Mega-Hasyim | 30,7% | Tidak tahu/rahasia | 8% | Â | Sumber IFES: Metode multistage random sampling. Survei terhadap 1.250 responden di 32 provinsi. |
---|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo