Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di pojok panggung yang gelap, perempuan bergaun sutra putih itu berdiri di atas ketinggian tiang empat meter. Suaranya lirih seperti pendoa mendaras zikir. Wajahnya beku tersiram cahaya biru temaram. Lalu, perlahan suasana ritmis terbangun, apalagi setelah jeritan terdengar bersahutan. Tapi perempuan itu tetap tenang. Ia mendongakkan wajah rupawannya, menantang langit. Kini, kalimat dari bibirnya yang merah jelas tertangkap: "Tak ada lagi waktu memutar nasib kehidupan." Lalu ia lenyap, ditelan gelap.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo