Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bahasa Topeng, Bahasa Tombak

Teater El Hanager dari Mesir mementaskan lakon bertema cinta dan perang, kematian dan kelahiran. Filosofis, tapi sangat membumi.

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di pojok panggung yang gelap, perempuan bergaun sutra putih itu berdiri di atas ketinggian tiang empat meter. Suaranya lirih seperti pendoa mendaras zikir. Wajahnya beku tersiram cahaya biru temaram. Lalu, perlahan suasana ritmis terbangun, apalagi setelah jeritan terdengar bersahutan. Tapi perempuan itu tetap tenang. Ia mendongakkan wajah rupawannya, menantang langit. Kini, kalimat dari bibirnya yang merah jelas tertangkap: "Tak ada lagi waktu memutar nasib kehidupan." Lalu ia lenyap, ditelan gelap.

Panggung senyap, tapi suasana berganti. Selusin manusia bertelanjang dada, duduk bersila tanpa kata-kata. Sekarang, dua perempuan di ketinggian: tubuhnya menunduk, memandangi "dunia" di bawah sana, dan mereka berbicara tentang dua, lahir dan mati. Sementara itu, manusia di bawah mereka merangkak surut ke belakang panggung. Selusin manusia ini berpegangan, menyatu seperti patung dalam balutan kain putih transparan.

Pementasan Aqnea Aqmesha wa Massaer (Topeng, Baju, dan Nasib) oleh Teater El Hanager, Mesir, di Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta, pekan lalu itu pintar mengusik batin. Ia mengajak penonton menyelami setiap adegan yang merangkum kelahiran dan kematian. Aqnea Aqmesha wa Massaer pertunjukan yang ritmis, tapi lakon yang disutradarai Hani el-Mettenawy ini tak membuahkan bosan, tak membuat dahi terus berkerut.

Pentas selama satu jam penuh ini menempatkan sepasang kekasih sebagai pemeran utama. Si gadis, yang lahir dan besar di tengah perang, mengisahkan mimpi buruknya tentang dua penguasa berebut kuasa. Di atas pentas, belasan tentara membawa tombak, memakai topeng setengah manusia setengah binatang. Kesimpulannya: tombak dan perang solusi terhadap tiap-tiap masalah. Tapi si gadis tetap pada pendirian setiap manusia lahir membawa cinta. "Wa ana wulidtu lilhub (dan aku lahir untuk cinta)," katanya. Ia yakin cinta pula yang melahirkan kedamaian, menciptakan harmoni antara manusia dan alam.

Tapi inilah lakon tentang hidup.Di atas pentas yang sama, seorang bertopeng mengucap: "Wa ana wulidtu lilharb (aku lahir memang untuk perang)." Apa boleh buat, kemenangan dan kekalahan sama-sama menyisakan perih, duka, dan kematian. Lakon ini tak hanya menyinggung petaka para tentara. Di antara adegan, salah satu menggambarkan seorang ibu—dari kalangan rakyat jelata—melahirkan orok di tengah hamparan mayat yang belum dikubur.

Perang menyedot separuh waktu pertunjukan. Adegan yang dikemas dalam tarian ini diselingi munculnya narator dari dunia "nyata". Pesan moral menghentikan perang berdengung-dengung di sepanjang pertunjukan. "Mal'uunun man hadama hadzihil hayah (terkutuklah mereka yang merusak kehidupan ini)." Tujuannya satu: agar, kata Hani, kekerasan di sekitar kita cepat direnungkan.

Aqnea Aqmesha wa Massaer adalah naskah karya Kassem Muhammad, seniman imigran Irak di Uni Emirat Arab. Dialognya amat liris. Menurut Hani, sebagian dialog memang dipengaruhi tulisan T.S. Elliot, sastrawan Inggris, dan Ibrahim Mohammed Ibrahim, sastrawan Uni Emirat Arab. Karya dua sastrawan ini bahkan menjadi rujukan utama selain tulisan Gibran Khalil Gibran, Rabindranath Tagore, Boris Pasternak, Al-Taher Bin Gallon (sastrawan Maroko), dan Abou Hayan al-Tawheedy (penyair Irak).

Lakon yang meraih penghargaan Ensambel Terbaik dalam Festival Inter-nasional Teater Eksperimental XV di Mesir tahun 2003 ini memang puitis. Kehidupan, misalnya, ditamsilkan sebagai perahu di atas laut—seperti kebiasaan Gibran. Kedamaian dan kehidupan yang harmonis hanya tercipta jika ada kejujuran. "Inkaana ash shidqu la yaltaqi bi ash shidqi, ghoroqot as safinah (jika kejujuran tidak berbalas kejujuran, maka tenggelamlah perahu)," kata narator di penghujung kisah.

Gambaran puitis tak hanya dalam dialog, tapi juga gerak tubuh pemain, musik garapan Abu Bakr el-Sherif, dan simbol yang digunakan. Ornamen tombak dan dinding berilustrasi Mesir kuno disandingkan dengan busana terkini para pemainnya. Kekerasan dan perang adalah bahasa kuno yang hidup terus di dunia kontemporer kita.

Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus