Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A hai. Lihatlah arak-arakan di jalan setapak itu. Mereka berjalan beriringan, dipimpin seorang lelaki yang terhuyung-huyung, menelekan salah satu tangannya di sebuah tongkat kayu. Tujuh perempuan mengikuti di belakang, menyunggi bakul bertutupkan kain. Jalan gedek di bawah mereka berderak-derak riuh. Ada musik, ada vokal Minang, berisik. Ramai khas Gumarang Sakti, tempat Hartati bernaung dari 1987.
Sejak awal, suasana rancak telah didedahkan Hartati dalam karya terbarunya, Ritus Diri: Ode untuk Kaum Perempuan, di minggu pertama Art Summit di Gedung Kesenian Jakarta, pekan lalu. Karya berdurasi 70 menit ini mengisahkan perspektif Hartati tentang dunia perempuan. Dan ini bukan perkara baru baginya. Ia pertama kali menggarap soal perempuan pada 2001 saat membawa karya The Way of the Woman di Bates Dance Festival di Portland, Amerika, Sayap yang Patah (2001), dan Membaca Meja (2002). Kali ini konsep Hartati mengisahkan proses transisi budaya tradisional dan modern para perempuan.
Hartati, 35 tahun, membagi karyanya dalam lima bagian. Diawali prosesi di sebuah masyarakat tradisional, diakhiri dengan pilihan yang harus diraih perempuan modern. Di dunia tradisional, dengan bakul sebagai simbol domestik, mereka membagi pengalaman dan persoalan pribadi secara komunal. Kepercayaan menjadi dasar dari kemauan berbagi. Gerak diabdikan dalam bentuk kelompok. Di dalamnya, interaksi muncul dominan lewat kontak tubuh.
Pemujaan pada kolaborasi tubuh ditempatkan Hartati di bagian ketiga, Ruang Privat. Davit dan Maria Bernadeth Aprianti (dua penari bagus saat ini) mempersembahkan jalinan fisik yang melibatkan kain. Tubuh Eti (panggilan akrab Maria) dibelit kain panjangmenimbulkan kesan karakter Drupadi dalam lakon Mahabharata saat ia dipermalukan Kurawa ketika Pandawa kalah judi. Hubungan keduanya mengekspresikan kompleksitas ekspresi penerimaan, penolakan, kebutuhan, dan nafsu.
Karya ini diakhiri dengan berkumpulnya tujuh penari perempuan mengelilingi Bundo Kanduang. Ia duduk melipat kaki di sebuah meja yang ditempatkan di tengah panggung. Satu per satu mereka beranjak pergi. Tinggallah Aistyaningnungsalah seorang penaridi sebelah Bundo Kanduang. Kepada Ais, sang Bundo menyerahkan sepasang sepatu merah yang ia ambil dari dalam bakul nasi. Adegan ini diiringi gemeretak jalan bambu di belakang mereka. Tampak enam penari perempuan menuruni jalan setapak secara telentang.
Mengambil judul Tiang, bagian terakhir ini menjadi pungkasan pendapat Hartati tentang posisi perempuan. Perempuan bebas memilih, kata Hartati, tapi ia harus sadar dirinya tiang kebudayaan.
Ahai, sebuah harapan yang indah, namun menjadi tugas berat bagi kaum perempuan. Apakah ini proyeksi kehidupan pribadimu, Hartati, sebagai istri koreografer Boi G. Sakti, ibu dua anak, dan keinginan untuk tetap meneruskan karier koreografi? Meski tak seproduktif suaminya, alumni tari Institut Kesenian Jakarta ini dikenal memiliki naluri bagus untuk menciptakan karya yang indah.
Sebelumnya, dalam Membaca Meja, Hartati menciptakan kegelisahan subtil perempuan di tengah keluarga, yang ditampilkan lewat acara makan bersama. Gerak yang tercipta juga memperlihatkan keinginan membebaskan gerak dari batasan tradisi Minang. Dalam Ritus Diri, Hartati masih memperlihatkan kepercayaannya pada kekuatan gerak. Ada ratusan motif gerak yang diciptakannya. Meski di antaranya merupakan stilisasi atau pengembangan jenis gerak yang akrab didapati di berbagai pertunjukan tari kontemporer saat ini.
Di luar gerak, Hartati terlihat lemah dalam menyusun komposisi. Ia membentuknya dari penggabungan simbol-simbol yang lantas dipilah-pilah ke dalam lima bagian. Hampir di semua bagian, musik mengalun cepat dan cerewet. Gerak tenggelam dibanjiri bunyi, melarutkan prinsip utama Hartati: kepercayaan pada gerak.
Namun, di antara semua perkara teknis itu, tema yang diangkat Hartati memang tak lagi segar. Soal kebimbangan perempuan menentukan pilihan di tengah zaman kini tak lagi menggelisahkan. Lantas, apa lagi yang bisa dikais dari tema yang telah terburamkan za-man ini, kecuali melihatnya sebagai sebuah cerita berjarak, pendapat seorang perempuan tentang kaumnya?
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo