Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Korea Selatan, ide itu datang. Bukan tentang cara membuat mobil atau teknik menyeduh teh ginseng, melainkan gerakan kampanye anti-politikus busuk yang tiga pekan terakhir aktif dijalankan penggiat LSM di Tanah Air.
Prototipe ide kampanye itu diadaptasi aktivis Indonesia dari gerakan CAGE (Citizen Action for General Election). Gerakan ini dimotori People Solidarity for Participatory Democracy (PSPD), sebuah konsorsium 1.000 LSM. Menjelang pemilihan umum Korea tahun 2000, mereka mengeluarkan daftar politikus hitam. Hal itu dilakukan setelah mereka menganalisis hasil dua pemilu terakhir di bawah rezim diktator militer yang dalam takaran demokrasi mereka nilai tidak sesuai dengan harapan.
Semula, gerakan mereka sama seperti yang dilakukan Komite Independen Pemantau Pemilihan Umum (KIPP) di Indonesia. Awalnya, mereka hanya mengawasi jalannya pemilu agar berjalan langsung, umum, bebas rahasia, dan demokratis. Tapi ternyata pemilu hanya menghasilkan politikus yang tak becus bekerja, sehingga memburukkan kinerja parlemen. Mereka lalu berupaya memperbaiki pemilu dengan mengingatkan publik agar tidak memilih politikus busuk.
Ketika mereka mengumumkan daftar kuning—daftar sementara figur politikus bermasalah—beragam reaksi bermunculan. "Sama juga seperti di sini, pro-kontranya juga mirip," kata Luky Djani, Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW). Tapi masyarakat Korea relatif homogen, dengan pendidikan penduduk yang lebih tinggi dibanding Indonesia. Karena itu, mereka lebih mudah memahami dan peduli serta mau terlibat dalam gerakan ini. Masyarakat juga aktif memberikan informasi tentang para politikus busuk.
Hebatnya, koalisi itu juga memiliki tim screening untuk menyaring informasi dan data yang masuk serta menguji validitasnya. Tim ini melibatkan sekitar 500 pengacara dan 300 akademisi. Partisipasi masyarakat pun sangat besar sehingga bisa mengumpulkan dana kampanye hingga setengah miliar won (sekitar Rp 3,5 miliar). Setelah melakukan screening dan validasi, tahap berikutnya mereka membuat daftar merah dan meminta publik berjanji tidak memilih politikus yang tercantum di daftar.
Ternyata, hasil kampanye selama enam bulan itu menakjubkan. Publik mencerna materi kampanye. Di beberapa daerah, 80-85 persen politikus yang masuk daftar hitam tak terpilih. Bahkan di ibu kota Korea Selatan, Seoul, 90 persen politikus hitam tidak dipilih. Hanya ada satu politikus dari belasan orang yang tetap lolos ke parlemen.
Para politikus di sana ternyata juga punya kesadaran dan etika politik yang baik. Mereka tahu data-data yang diumumkan koalisi LSM itu cukup valid, sehingga umumnya memilih mundur teratur sebelum mulai berkampanye. Toh, kalaupun ngotot ikut kampanye, mereka yakin hanya akan membuang biaya karena peluang untuk terpilih sangat kecil.
Ada, memang, politikus bermasalah yang menuntut para aktivis LSM itu. Tapi hanya enam yang dikabulkan, dan pengadilan hanya memerintahkan mereka membayar ganti rugi 20 juta won (Rp 140 juta). Para aktivis itu semula harusnya dipenjara. "Tapi, karena dukungan publik begitu kuat, hakim takut menjatuhkan vonis itu," kata Luky.
Selain Korea, model lain yang dipelajari aktivis Indonesia adalah Filipina. Di sana yang menggerakkan kampanye adalah jurnalis, melalui Philippine Center for Investigative Journalism. Selama 10 tahun mereka melacak dan memetakan asal-usul politikus serta pertalian antar-pejabat atau politikus satu dengan yang lain. Datanya diambil dari pemilu pertama hingga terakhir sehingga patronase seorang tokoh ke tokoh yang lainnya terlihat.
Hasil pelacakan itu lalu dimasukkan ke database yang dipublikasi pada awal tahun 1990-an dan bisa diakses masyarakat. Meniru Filipina, selain kampanye anti-politikus busuk, aktivis Indonesia juga akan mengeluarkan kumpulan profil para politikus. Profil itu akan menyoroti masa lalu, kiprah, jasa, dan kesalahan para politikus. "Kita becermin dari Korea dan Filipina," kata Luky.
Repotnya, sampai kini cita-cita masyarakat Indonesia untuk mengeliminasi politikus bermasalah masih penuh tantangan. Membandingkan dengan Korea, rasanya masih jauh. Saat deklarasi di Tugu Proklamasi dua pekan lalu, panitia hanya mampu mengumpulkan dana Rp 3 juta. Tim juga baru mendapat sekitar 20 laporan tentang tokoh yang terindikasi cela. Tim klarifikasi pun belum tersentralisasi.
Karena itulah anggota Komisi Hukum Nasional, Frans Hendra Winarta, mewanti-wanti agar aktivis anti-politikus busuk memperkuat data dan menyiapkan bukti yang lengkap sebelum menyebut nama. Soalnya, di Indonesia, gerakan moral seperti ini bisa dilawan dengan tindakan hukum. "Apalagi aparat hukum kita masih mudah tergiur dengan uang," ujar Hendra.
Hanibal W.Y.W dan Sudradjat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo