Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI sudah larut. Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, yang biasanya hiruk-pikuk, kini sepi senyap. Di keheningan itu, seratusan pegawai Komisi Pemilihan Umum (KPU) suntuk bekerja. Mereka tekun meneliti 8.000 berkas calon anggota legislatif dalam Pemilu 2004 nanti. Tujuh hari nonstop, hampir 24 jam per hari: tim itu lembur saban malam. Ke kantor ketika fajar baru menyingsing, pulang ketika malam sudah tua. Waktu mengaso cuma sebentar.
Agar badan tak lekas rontok, para pegawai itu menelan aneka jenis vitamin dan obat kapsul pendongkrak tenaga. Vitamin itu ditelan pagi, siang, dan malam. Gizi juga ikut ditambal. Sebelumnya, menu makanan mereka cuma nasi bungkus, tapi saat lembur menu ditambah ikan, ayam, dan buah-buahan. "Pokoknya, menunya lebih bergizilah," kata Anas Urbaningrum, Ketua Kelompok Kerja Verifikasi.
Hasil lembur sepekan itu diumumkan Selasa pekan lalu. Dan publik pun tercengang: hampir 70 persen calon legislatif yang diverifikasi tidak memenuhi persyaratan. Ada yang ijazahnya belum dilegalisir, ada pula yang tidak mengantongi kartu tanda ikut pemilu, dan sederet kekurangan lainnya. Sejumlah petinggi partai uring-uringan dengan hasil itu, tapi komisi ini mengembalikan semua daftar calon itu ke partai asalnya. Silakan dilengkapi, lalu disetorkan lagi 19 Januari ini.
Kekurangan ijazah yang dilegalisir dan persyaratan administrasi tentu penting bagi KPU meski terkesan remeh-temeh. Tapi yang bakal rame dan berpotensi menjadi "busuk"—seperti yang diramaikan sejumlah LSM—adalah adanya caleg yang memalsukan ijazah dan disinyalir melakukan tindak pidana.
Cetak ijazah palsu itu misalnya terjadi di Palembang. Di kota empek-empek itu, komisi pemilu setempat mendata 12 caleg yang diduga menyetorkan ijazah aspal (asli tapi palsu). "Jumlahnya masih bisa bertambah, tergantung laporan masyarakat," kata Khoirul Mukhlis, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Palembang.
Cetak ijazah palsu diduga juga dilakukan sejumlah caleg di Pandeglang, Banten. Panitia pengawas pemilu di daerah itu menemukan ada tujuh caleg yang menyetor ijazah palsu. Ketujuh calon itu diusung oleh partai besar. Nama-namanya akan diumumkan oleh pengawas pemilu di sana. "Data lengkap dan nama orangnya belum kami umumkan secara terbuka. Sebab, tahap klarifikasi belum final," kata Hab Dimyati, ketua peng-awas pemilu Pandeglang. Kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Lebak, Banten.
Di Nusa Tenggara Barat, komisi pemilu setempat telah membentuk sebuah tim khusus yang akan menyelidiki sejumlah calon yang diduga menyetor ijazah aspal. Tiga ijazah yang diduga palsu kini sedang serius ditelisik. "Kami akan bekerja sama dengan sekolah yang mengeluarkan ijazah tersebut," kata Ketua KPU NTB, Tuan Guru Haji Mahally Fikri.
Selain mendata caleg yang menyetor ijazah palsu itu, KPU NTB juga meminta petunjuk KPU pusat soal dua caleg dari provinsi itu yang berstatus sebagai tersangka. Keduanya datang dari partai besar dan masuk dalam nomor jadi. Mereka menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana surat pemberitahuan perjalanan dinas kunjungan kerja ke sejumlah kota di Jawa. Senin pekan lalu, berkas kasus ini sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Mataram. "Jika KPU pusat mengatakan mereka tak memenuhi syarat, ya kami coret," kata Mahally.
Namun menjadi tersangka dalam kasus korupsi—berapa pun jumlah duit yang ditilep—tidak otomatis menutup peluang seseorang untuk duduk di kursi wakil rakyat. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tentang persyaratan calon anggota legislatif, menyebut hanya mereka yang sedang menjalani pidana penjara, berdasarkan kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih yang tidak bisa menjadi anggota parlemen. Jika belum memiliki kekuatan hukum tetap alias belum diputus bersalah oleh Mahkamah Agung, tersangka korupsi boleh melenggang ke kursi terhormat itu.
Itulah sebabnya di Sumatera Barat, sekitar 23 caleg yang berstatus tersangka asoi geboi menjadi caleg dalam urutan nomor jadi. Saat ini mereka memang telah menjadi anggota DPRD di provinsi itu untuk tahun kerja 1999-2004.
Kasus ini bermula dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumatera Barat Tahun 2002. Para wakil rakyat provinsi itu memasukkan dana Rp 5,9 miliar untuk biaya kesejahteraan anggota Dewan. Kejaksaan Negeri Padang menilai para wakil rakyat itu telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang kedudukan keuangan DPRD. Mereka dituding berupaya memperkaya diri sendiri. Buntutnya, 44 dari 54 anggota DPRD provinsi itu menjadi tersangka.
Ketika kasus ini sedang diproses di Pengadilan Negeri Padang, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan anggota DPRD itu atas judicial review terhadap PP Nomor 10 tersebut. Menurut MA, peraturan yang mengatur keuangan anggota dewan dianggap bertentangan dengan undang-undang otonomi daerah, yang memungkinkan DPRD mengatur anggarannya sendiri. Walau mahkamah telah mengetukkan palu, Kejaksaan Negeri Padang jalan terus. Alasan mereka, judicial review datang setelah kasus ini diproses.
Karena kasus ini belum rampung, Komisi Pemilihan Umum Sumatera Barat tidak bisa menghalangi para tersangka tersebut menjadi caleg. "Undang-undang cuma melarang tersangka yang tuntutan hukumannya lebih dari lima tahun dan telah mendapat putusan hukum tetap," kata Mufti Syafri, Ketua KPU Sumatera Barat.
Para anggota dewan yang dituding korupsi itu pun tenang-tenang saja. Henra Irawan Rahim, anggota DPRD dari Golkar yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini, optimistis bisa melaju terus hingga pemilu berlangsung. "Enggak masalah dengan status tersangka. Itu kan baru praduga, belum putusan tetap," katanya. Adapun Partai Amanat Nasional (PAN), yang calegnya juga menjadi tersangka, menyerahkan semuanya ke pengurus PAN pusat. "Keputusannya kami serahkan ke Dewan Pimpinan Pusat saja," kata Apris Yaman, Ketua PAN wilayah Sumatera Barat.
Yang repot tentu kalau putusan tetap Mahkamah Agung dikeluarkan setelah para caleg itu positif masuk parlemen. Bisa-bisa kantor legislatif dipenuhi tersangka.
Wenseslaus Manggut, Febrianti (Padang), Imron Rosyid (Jawa Tengah), Boby Gunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo