Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merumuskan 'Si Busuk'

Rawan gugatan, kampanye anti-politikus busuk disiapkan dengan ekstra-hati-hati. Tapi daftar nama "politikus bermasalah" yang dilansir Ikatan Alumni UI Jakarta telah bikin heboh.

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam semakin larut dan perdebatan tujuh orang di lantai tiga sebuah gedung di Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu pekan lalu, tak menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Tiba-tiba, brak..., seorang di antara mereka melempar setumpuk majalah ke atas meja rapat. Puluhan majalah TEMPO, Prospek, Warta Ekonomi, Tajuk, dan Editor tersebar di meja. "Ini kan bisa jadi bukti. Kenapa kita mesti takut?" kata Irawanto, alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia tahun 1980, si pelempar majalah.

Malam itu adalah kali ketiga aktivis Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) Jakarta membahas isu kampanye anti-politikus busuk. Lebih dari tiga jam mereka berdiskusi. Sebagian peserta rapat bersikeras agar Iluni Jakarta berani mengumumkan nama politikus busuk kepada publik agar mereka tak dipilih dalam Pemilu 2004 nanti. Sebagian lainnya berpendapat sebaiknya berhati-hati.

Aksi "lempar majalah" dalam rapat Iluni adalah kelanjutan dari deklarasi Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk, di Tugu Proklamasi, Jakarta, tiga pekan lalu. Ketika itu, ratusan aktivis lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, dan pemuda mendeklarasikan gerakan yang di antaranya diprakarsai oleh Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki itu. Tujuan gerakan ini adalah membangun kesadaran pemilih dalam Pemilu 2004 agar tak memilih kandidat anggota parlemen, dewan perwakilan daerah (DPD), dan calon presiden dengan latar belakang tercela.

Hampir bersamaan, deklarasi serupa meruap di daerah-daerah. Di Surabaya, 23 Desember lalu, penggiat 30 LSM mendeklarasikan Gerakan Masyarakat Anti Politisi Tercela. Pada hari yang sama, gerakan serupa diresmikan di Gedung Alumni Universitas Brawijaya, Malang. Di Semarang, aksi semacam diadakan dua hari sebelum malam pergantian tahun. Rencananya, Selasa pekan ini Badan Eksekutif Mahasiswa Bandung akan menggelar diskusi bertema "Membangun Demokrasi tanpa Korupsi" sebagai rangkaian dari gerakan serupa.

Sabtu lalu, Komite Persiapan Pergerakan Indonesia (KPPI) menggelar kampanye sejenis. Kata Ketua KPPI Faisal Basri, masyarakat bisa bersama-sama melakukan sebuah kampanye dan gerakan untuk tidak memilih politikus busuk pada Pemilu 2004 nanti. Tapi, seperti yang lain, KPPI belum melansir nama politikus yang dimaksud.

Kampanye anti-politikus busuk adalah reaksi terhadap sinyalemen maraknya korupsi yang dilakukan justru oleh anggota parlemen. Pemilu 1999, yang dipuji sebagai pemilu paling demokratis dalam 30 tahun terakhir, disinyalir melahirkan praktek kongkalikong di gedung legislatif. Karena itulah Teten dan kawan-kawan kemudian melansir ide kampanye anti-politikus busuk.

Gerakan semacam ini bukan tak ada presedennya. Di Korea Selatan, kampanye serupa pernah membuahkan hasil. Melalui kampanye yang intensif selama enam bulan, 80-85 persen politikus yang masuk daftar hitam tidak terpilih. "Di Ibu Kota Seoul, malah 90 persen tidak dipilih," kata Luky Djani, Wakil Koordinator ICW.

Tapi, dua pekan setelah deklarasi, para penggagas belum berhasil memutuskan siapa saja yang mereka tunjuk sebagai politikus busuk. Sebagian malah masih sibuk menyusun kriteria.

Delapan organisasi kepemudaan yang menggelar rapat pekan lalu di sekretariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, belum berhasil mengambil kata sepakat. "Kami masih berdebat alot soal kriteria," kata Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia, A. Malik Haramain. Demikian pula organisasi internal kampus semacam badan eksekutif mahasiswa.

Secara umum, gerakan Teten dan kawan-kawan menyusun lima kriteria, yakni korupsi, pelanggaran hak asasi manusia berat, perusakan lingkungan, kejahatan domestik, termasuk kejahatan seksual, dan terlibat narkotik. Kriteria lain yang dipertimbangkan adalah kehadiran mereka dalam rapat parlemen dan posisi mereka dalam menyikapi suatu kebijakan (voting record). Dua kriteria yang terakhir diberlakukan bagi mereka yang sebelumnya sudah menjadi anggota legislatif.

"Saat ini kami sedang melakukan political tracking untuk menyusun daftar politikus busuk," kata Teten, "Setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar tetap calon legislatif akhir Januari 2004, daftar itu akan diumumkan kepada publik."

Jika tak hati-hati, kampanye semacam ini memang bisa menjadi bumerang. Politikus yang disasar bisa saja menuntut aktivis gerakan.

Itulah sebabnya sejumlah kalangan berusaha "melembutkan" terminologi agar tak mudah digugat. "Misalnya, kita bisa memakai kata 'diduga kuat' atau tidak menyebutkan namanya secara vulger," kata Eko Arif Nugroho, mahasiswa Bandung yang menjadi bagian dari aktivis kampanye.

Mereka juga akan menggunakan daftar hadir di DPRD Jawa Barat untuk mengukur politikus yang sering mangkir. Kata Eko, pihaknya juga akan menggunakan kasus dana kapling untuk menjaring nama politikus bermasalah. Dana kapling merupakan kasus penyalahgunaan dana untuk perumahan anggota dewan yang sempat menghebohkan masyarakat Jawa Barat tiga tahun terakhir ini.

Di Jawa Timur, aktivis lokal akan memakai kasus penggunaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk anggota dewan sebagai salah satu kriteria. DPRD Jawa Timur memang sempat menyetujui anggaran kehormatan bagi anggota DPRD di sana sebesar Rp 43 juta per bulan. "Ini kan akal-akalan untuk mengeruk uang rakyat," kata Moch. Ma'ruf Syah, koordinator Gerakan Masyarakat Anti Politisi Tercela.

Sementara kelompok lain berhati-hati, Iluni Jakarta malah bergerak ekstracepat. Dalam pertemuan pertama, 35 nama politikus bermasalah terkumpul. Mereka beranggapan terlalu lama jika harus menunggu hingga Februari. "Nanti apinya keburu padam," kata Candra Wijaya Kadir, mantan Wakil Ketua Senat Fakultas Teknik UI (tahun 1988).

Semula Iluni Jakarta akan membatasi pembahasan pada politikus alumni Universitas Indonesia saja. Tapi, setelah dihitung-hitung, politikus alumni UI dinilai tak banyak dan pembatasan itu terkesan sektoral. "Kurang seru," kata mereka. Karena itu, mereka sepakat membahas semua calon anggota legislatif pusat, DPD, dan presiden.

Berdasarkan daftar itulah Iluni Jakarta kemudian melakukan uji publik. Caranya adalah dengan melempar nama politikus bermasalah pilihan mereka ke masyarakat melalui medium pesan pendek (SMS). Nama besar pun berhamburan. "Akbar Tandjung dan Nurdin Halid itu sudah jelas-jelaslah. Enggak usah ditutup-tutupi lagi," kata Irawanto. Nama calon presiden dari Partai Golkar, Wiranto, juga muncul—meski, kata seorang peserta rapat Iluni, sempat terjadi silang pendapat tentang nama ini. "Kita semua tahu ada (peserta rapat) yang jadi anggota tim sukses Wiranto," kata seorang sumber.

Yang juga masuk daftar adalah anggota Fraksi PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas, yang oleh Forum Komunikasi Massa—sebuah forum wartawan DPR—disebut malas ngantor. Iluni sendiri tidak secara tegas menerakan dosa apa saja yang telah dilakukan Taufiq. Hanya, menurut Irawanto, pihaknya menerima banyak laporan tentang tindak-tanduk suami Presiden Megawati itu.

Beberapa komisaris perusahaan negara yang kini dicalonkan menjadi anggota legislatif, seperti ekonom Dradjad Wibowo dan Didik J. Rachbini, juga menjadi bahan perbincangan. Keduanya memang tidak dikategorikan busuk, tapi "langkahnya harus diperingatkan agar tak menimbulkan vested interest." Iluni menyarankan agar keduanya mundur dari jabatan komisaris sebelum maju ke pencalonan legislatif.

Nama lain yang menjadi perdebatan adalah bekas Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja. Ia dimasukkan ke daftar karena pernah menjadi Sekretaris Jenderal Golongan Karya dan dinilai tidak melakukan apa-apa selama bermukim di markas Beringin.

Yang menarik, Sarwono sendiri diundang datang dalam deklarasi gerakan anti-politikus busuk. "Kalau busuk, mana mungkin saya diundang?" kata calon anggota dewan perwakilan daerah dari Provinsi DKI Jakarta itu.

Ada kesan daftar Iluni memang rada semrawut. Maklum saja, ini toh baru uji publik. Artinya, Iluni belum menyampaikannya dalam rilis terbuka—meski daftar itu belakangan juga disiarkan pers. Hal itu tampaknya disadari oleh pengurus ikatan alumni tersebut.

Soal menempelkan semua politikus dengan label "busuk", misalnya, sempat memancing debat. Dosa aktivis mahasiswa 1998 yang kini menjadi calon legislatif Golkar dianggap berbeda bobotnya dengan Akbar Tandjung, yang telah divonis pengadilan bersalah karena dugaan korupsi Bulog.

Tentang hal ini, Iluni menemukan jalan keluar. Terminologi "busuk" diberikan kepada politikus yang sudah tersohor bermasalah besar. Lalu ada politikus hitam untuk mereka yang tengah bermasalah dan politikus abu-abu untuk pendatang baru yang dikhawatirkan telah terkontaminasi. "Tapi kami sepakat 90 persen politikus DPR adalah politikus bermasalah," kata Candra.

Politikus yang dituding umumnya belum banyak bereaksi. Taufiq Kiemas memilih tak banyak bicara. "Maaf, Dik, saya sudah di kamar, saya tak ingin berkomentar," katanya ketika dihubungi TEMPO Jumat lalu. Akbar Tadjung kepada wartawan mengatakan gerakan anti-politikus busuk tak banyak gunanya. "Selama tidak ada kriterianya, ungkapan mereka masih sebatas pernyataan politik," kata Akbar.

Wiranto malah menantang pembuat daftar hitam itu untuk membuktikan kesalahan dirinya. "Saya menantang siapa pun yang menuduh saya untuk berdebat terbuka," katanya. Pengacara Nurdin Halid, Rudianto Asga, malah balik bertanya, "Apa sih maksudnya? Kriterianya sendiri sangat kabur."

Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti menyarankan agar lebih baik kampanye anti-politikus busuk hanya memaparkan kriteria. Ia yakin, meski samar, masyarakat bisa memahaminya. "Demokrasi memang tak bisa dibangun satu hari, Bung," ujarnya.

Tapi Iluni Jakarta tampaknya bersikukuh. Kata mereka, jika kasus para politikus tersebut telah dipublikasikan di media massa, itu berarti sudah menjadi rahasia umum. "Hakim dan jaksalah yang harus membuktikan," kata Irawanto.

Tak mudah memang merumuskan "si Busuk". Sementara itu, pemilu semakin dekat dan para pemilih harus segera disadarkan akan bahaya politikus bermasalah. Para aktivis kini berlomba dengan waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus