MAO Tse-tung pernah terbentur. Beberapa belas tahun yang lalu,
ia merasa RRT dalam bahaya.
Yang mengancam bukanlah sesuatu dari luar. Juga bukan pergolakan
dari dalam. Bukan kritik. Ia telah melampaui bahaya jenis ini.
Ia pernah mengundang kritik dan suara bebas dalam kampanye
"Biarkan Seratus Bunga Mekar Biarkan Seratus Pikiran Berlaga".
Kaget sendiri oleh sengitnya kecaman, ia memberangus kaum
intelektuil. Ia meningkatkan kekuasaan Partai di mana-mana, yang
memang sudah berkuasa sejak 1949. RRT tak kenal oposisi. RRT
tak kenal pers bebas atau kemerdekaan mimbar dalam arti
sebenarnya. RRT begitu stabil, selain sunyi.
Justru di situlah kemudian letak bahaya. Orang-orang Partai
sangat berkuasa. Ketika Mao sendiri, sebagai Ketua Partai, ingin
membersihkan Partai dari anasir yang dianggapnya menyeleweng, ia
tak bisa berbuat banyak. Bahkan usahanya buat mempergunakan
media massa yang dimiliki Partai dihambat. Orang orang Partai
telah mengalami proses "birokratisasi". Mereka kehilangan
dorongan serta kecekatan untuk mengadakan kontrol yang efektif
kepada tubuh sendiri. Mereka sibuk menjaga stabilitas,
ketertiban, kelangsungan mesin pemerintahan dan produksi. Maka
Mao pun mulai merasakan: partai para pejuang revolusi yang dulu
dibangunnya itu ternyata telah mandeg. Mungkin juga korup.
Terlampau berkuasa.
Tapi siapa yang bisa mengoreksi? Tiba-tiba Mao menempuh jalan
yang aneh buat seorang Marxis-Leninis: ia mengerahkan para
pemuda yang menyebut diri "Pengawal Merah", yang muak melihat
penguasa yang ada. Mao menggerakkan suatu oposisi. Juga sejenis
"pers bebas". Poster-poster di tembok dengan huruf-huruf besar
itu melantunkan kemerdekaan yang tak tersangka-sangka di negeri
kediktaturan itu. Itulah "Revolusi Kebudayaan" yang dalam buku
The Long Revolution Edgar Snow disebut sebagai "perang saudara
tanpa bedil".
Kampanye hari-hari ini untuk menyingkirkan Teng Hsiao-ping,
seorang Wakil Perdana Menteri, merupakan manifestasi yang lebih
tenang dari "perang" itu. "Stabilitas dan persatuan", kata Mao
menurut Harian Rakyat akhir Pebruari, "tak berarti pembungkaman
perjuangan klas". Itu berarti: stabilitas dan persatuan tak
seharusnya meniadakan tindakan pembersihan, juga di kalangan
atas.
Untuk itu huru-hara tak selalu perlu, tapi para administrator
saja tidak cukup. Seluruh bangsa perlu ikut belajar membersihkan
diri atau rusak oleh noda.
Bukankah pembersihan diri juga suatu ritus yang penting?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini