Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Jalan Saadoon, kawasan di pusat Kota Bagdad, satu taksi bergerak pelan. Ketika disetop, pengemudinya menelengkan kepala selama beberapa saat untuk meneliti calon penumpang. Sopir taksi itu tak serta-merta membuka pintu tatkala TEMPO menghampirinya. Dia malah bertanya dalam nada setengah menghardik, "Orang Jepang atau Korea, ha?" TEMPO terperangah dan buru-buru menjawab, "Saya wartawan, muslim dari Indonesia."
Tapi wajah si sopir belum juga "longgar". Maka salam susulan pun disegerakan, "Assalamualaikum." Mendengar ucapan ini, urat-urat di muka Hamed Kahfi, nama sopir itu, agak melentur. "Silakan naik," dia menyilakan. Alhamdulillah. Seulas senyum ramah terkembang di wajahnya. Saat kendaraan kami meluncur, Hamed bercerita mengapa dia sampai perlu "menyaring" penumpang.
Dua pekan sebelumnya, ayah empat anak ini mengantar sepasang warga Jepang berkeliling kota. Ketika mobilnya terjebak macet di daerah Mustansiria, sekelompok pemuda datang mengerumuni. Mereka mencaci-maki orang Jepang itu sembari menggoyang-goyang mobil tumpangannya. Beruntung, sang sopir segera banting setir dan selamatlah mereka berdua.
Karena itu, Hamed tak ingin mengulangi pengalaman pahit serupa. "Mata Anda sipit seperti orang Jepang," Hamed mengemukakan alasan. Bagi rakyat Irak, variasi etnis Asia kini tak lagi ada bedanya. Orang Jepang, Korea, atau Filipina, sama saja, dianggap sebagai musuh. Alasannya, negeri-negeri ini turut mengirim tentaranya ke Irak sebagai konco Amerika dan pasukan koalisi.
Bagdad. Kota Seribu Satu Malam itu menjadi begitu kaku dan kehilangan seri. Wajah kota itu seperti tak lagi menyisakan keramahan, kecerdikan, dan kearifan dalam dongeng tentang Syahrazad, gadis penutur kisah Seribu Satu Malam. Tersebutlah pada masa itu, Sultan Syahriar si penguasa negeri menaruh dendam bukan main kepada istrinya yang berselingkuh. Dendam itu dia lampiaskan dengan membunuh setiap gadis pada setiap malam setelah mengawini mereka.
Sampai akhirnya tiba giliran Syahrazad. Gadis yang cerdik dan arif ini membujuk Sultan agar mau mendengarkan dulu sebuah kisah sebelum membunuhnya. Sultan setuju. Dan dia mendengarkan kisah wanita muda itu dari malam sampai pagi. Dituturkan secara "serial", kisah ini berakhir dengan happy ending pada episode ke-264. Sultan Syahriar melupakan dendamnya kepada kaum hawa. Syahrazad pun selamat dari terpaan pedang algojo. Kearifan dan keramahan dalam kisah Seribu Satu Malam itu sepertinya sudah tinggal bayang-bayang masa lalu di Bagdad.
Coba Anda jalan-jalan sore di pusat-pusat keramaian. Alih-alih merasa santai, justru sikap waspada harus dilipatgandakan. Harap dicatat, tampang sebagai "orang asing" amat mudah memicu rasa curiga dan amarah dari penduduk setempat. Suasana ini amat berbeda dengan saat TEMPO mengunjungi kota ini pertama kalinya pada Maret hingga pertengahan April 2003.
Pada masa yang belum lama lewat itu, bahkan di tengah hawa perang yang mulai panas, penduduk masih gemar bercengkerama. Mereka meriung di sudut-sudut jalan. Dan bermodalkan ucapan "assalamualaikum", seorang wartawan asing bisa ikut berbaur di sudut-sudut jalan atau di kedai teh dalam suasana yang hangat. Dipancing satu pertanyaan, mereka berebut memberikan jawaban. Kini?
Mari kita lihat suasana pada akhir Juni 2004. Begitu TEMPO memasuki kawasan perdagangan Saadoon, aroma kebencian seperti menguap dari celah aspal, dari tiap pori kulit warga kota. Wajah-wajah asam melirik curiga kepada wajah TEMPO, yang jelas betul "warna asing"-nya. Dua pemuda langsung menguntit dan menggaet-gaet lengan. "Heh, dari mana kamu?" kata seorang di antaranya dengan nada tinggi. TEMPO buru-buru menjawab, "Wartawan muslim dari Indonesia. Assalamualaikum."
Mereka mengernyit. "Bohong! Kok, kamu mirip orang Korea?" Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, mereka makin agresif. "Coba lihat, ada berapa dolar di dompetmu?" Wah, bisa berabe kalau berurusan dengan Ali Babapenipu dan penodong pasar. Wartawan mingguan ini kontan mempercepat langkah. Beruntung, empat polisi Irak sedang meronda di perempatan Jalan Al-Nashr, tak jauh dari lokasi kejadian. Para berandal muda itu segera menghilang dalam keramaian.
Masih lekat di ingatan ketika meliput Bagdad sebelum kejatuhan Saddam Hussein. Suatu siang di daerah Kadhimiya. Di lokasi ini, terdapat makam seorang pemimpin Syiah bernama Imam Musa Kadhim. Saat TEMPO sedang menawar kaligrafi, seorang lelaki bersorbanrupanya dia juga tengah berbelanja di situmengambil dan menyerahkan barang itu kepada TEMPO. "Maaf, berapa saya harus membayar?" TEMPO bertanya. Si pria baik hati tadi menjawab, "Saya yang bayar. Anda tamu di Bagdad. Anda harus dimuliakan."
Memuliakan tamu. Kebiasaan dan keramahtamahan Timur Tengah itu kini langka. Akhlak Islami mereka anjlok ke titik terendah. Apa yang terjadi? "Agresor Amerika dan sekutunya dengan bengis telah meratakan rumah dan bangunan lainnya, membantai anak-anak, wanita, dan orang tua di Irak," begitu pengakuan beberapa warga kota kepada TEMPO. Salah satu dari mereka adalah Abu Ibrahim, kontraktor di zaman Saddam. Abu menuturkan, seusai perang, janji demokrasi (dari AmerikaRed.) ternyata hanya kedok untuk meneruskan penindasan. Mereka mengaku terpaksa melawan dalam berbagai bentuk, dari sekadar turun ke jalan untuk memprotes sampai melakukan peledakan membabi-buta. "Mereka sudah tak punya pilihan hidup," kata Abu.
Celaka tiga belas, yang menjadi sasaran balas dendam bukan hanya pasukan koalisi, tapi juga berbagai pihak yang bekerja sama dengan Amerika. Penculikan pun menghantui warga asing. Umumnya mereka menukar sandera dengan tebusan. Belakangan aksi itu efektif memecah belah pasukan koalisi. Ingat kasus sopir truk Angelo de la Cruz asal Filipina yang diculik belum lama ini? Presiden Filipina Gloria Arroyo terpaksa menarik mundur pasukannya dari Irak demi membarter nyawa De la Cruz.
Tentu saja tak semua warga kota kehilangan akal sehat. Sebagian masih mewarisi kearifan Syahrazad. Seorang penjual shawarmaburger ala Arabdi Pasar Rakyat Shorja sampai belasan kali berpesan kepada TEMPO agar berhati-hati. "Para penculik tak pandang bulu, beroperasi di tempat ramai ataupun sepi," kata Ali Karim. Perilaku pemuda ini terhitung istimewa. Dia tak kehilangan sikap ramah, padahal sebagian besar rekannya tak mau diajak untuk sekadar bertegur sapa. Di salah satu kedai, pemiliknya membentak ketika wartawan TEMPO meminta bon makanan, "Tidak punya. Sudah, pergi sana!"
Harus diakui, Bagdad, kota yang pernah membikin dunia tercengang oleh ribuan ikon sejarah dan peradaban tinggi, kini sudah pupus daya pikatnya. Reruntuhan bangunan di mana-mana. Wajah murung dan curiga bertebaran di berbagai sudut kota. Halte bus. Rumah makan. Pasar. Kedai teh. Penipuan di bidang servis jasa kepada orang asing sudah menjadi cerita pagi dan petang. Satu contoh, rata-rata taksi di sana tanpa argometer. Ongkosnya diputuskan melalui tawar-menawar. Tapi, ketika sampai ke tujuan, si sopir buru-buru menyangkal kesepakatan dan menuntut bayaran lebih.
Wajah kota lama yang dulu ramah sudah sulit dikenali kembali. Boyak-boyak oleh perang. Dan "panas" oleh hawa curiga dan permusuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo