Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang terjadi ketika sebuah negeri kehilangan orientasi? Ketika penguasa mengandalkan pembisik yang lebih mewakili kepentingan iblis? Ketika para penggantinya sibuk menutupi watak penjilat dan korupnya dengan wajah bijak resi? Bahkan cinta pun dikebiri, hingga putri tunggal raja, Parwita cantikaslinya Cornelia Agatha yang sungguhan cantikmengeluh sendu, "Mungkinkah cinta sudah tidak ada lagi?"
Jawabannya jelas: ada. Teater Koma, dengan kemeriahan dan kegemilangannya, menyuguhkan semua kisah itu dalam produksinya yang ke-103 (satu rekor untuk kelompok profesional sejenisnya), Republik Togog, di Gedung Kesenian Jakarta, 28 Juli- 6 Agustus 2004. Penuh gelak dan senda, memancing rasa getir dengan sindiran tajam pada situasi zaman, dan memberikan jawaban keras seperti di atas. Ada jawaban, setidaknya harapan, setidaknya pada pertunjukan seciamik Koma.
Kelompok yang dibangun 12 orang pada 1977 ini memang memiliki tradisi itu: well-made play. Penggarapan panggung yang cermat (kali ini Taufan S. Chandranegara, sang penata, tampak minimalis dengan dekor dan warna yang efektif), cerita yang komplet (alur kronologis, konflik, cinta, tragedi, komedi, dan solusi), lagu dan musik, serta aktor-aktor Stanislavskian yang baik terdidik. Misalnya, Sri Dadi Adhipurnomo, aktor bertubuh makmur, memainkan monolog Betari Durga dengan energi kreatif yang dapat menciutkan dan mengembangkan panggung, juga emosi penonton. Juga tentu Priyo S.W., sang Togog, aktor senior yang kini tampil begitu meriah dan ganjen.
Lebih dari 300 penonton, sebagian korban catutan, tertanam di kursinya tiga setengah jam lebih tanpa mengeluh. Mereka menemukan diri sebagai masyarakat carut-marut di balik hipokrisi para penguasa. Semua dalam kemasan penuh warna, penuh canda, penuh dengan katarsis ala Aristophanes dan Moliere. Sebelum harapan itu terwujud, setidaknya Anda bisa tertawa.
N. Riantiarno, sutradara dan sang pemimpin, telah berkelindan bersama Homerus, Shakespeare, Chin Yung, Empu Wyasa, hingga Wali Sanga. Sebuah perjalanan dengan semangat interkultural yang tinggi. Semangat yang kini menguasai "ideologi" teater dunia, dari Ariane Mnouchkine-Peter Brook di Eropa, Wole Soyinka di Afrika, Tadashi Suzuki-Rendra di Asia, hingga Richard Schechner-Robert Wilson di Amerika. Dengan strategi ini, Teater Koma meracik bentuk pertunjukannya untuk bungkus pesan-pesan kegelisahan sutradaranya pada keadaan.
Republik Togog, kisah yang diambil dari carangan, Sudamala, berisi riwayat Pandawa yang harus menumbalkan Sadewa, si bungsu, untuk keselamatan Kerajaan Amartapura. Namun ternyata itu melulu akal-akalan Betari Durga, yang melakukan konspirasi tak sengaja dengan Togog, spion Kerajaan Gilingwesi, untuk bisa menguasai Amartapura. Durga (yang diprotes intelektual muda Hindu Dharma karena digolongkan setan/rakseksi), melalui asistennya Kalkali, merasuki jiwa Samiaji, sulung Pandawa, dan Togog melakukan penghasutan, mengendalikan takhta.
Maka jadilah negeri itu seperti terlukis di atas. Entah itu kerajaan entah republik, ketika ia dirasuki dengki, nafsu, dan akal bulus, jadilah ia togog, makhluk setengah hidup setengah mati. Secara medis, koma. Republik yang togog adalah republik koma. Dalam arti positif, ia adalah perjalanan yang tak pernah usai, memperbarui diri. Dalam arti lain, ia adalah krisis yang permanen, sehingga semua standar tak mampu mencegah kedegilan, kepalsuan, dan kemunafikan.
Jalan keluarnya? Carilah Sri Kresna dan Semar yang hilang. Tapi, "Di mana?" tulis sutradaranya. Riantiarno agak pesimistis karena menunggu datangnya dua tokoh itu "bagai menunggu garuda beranak singa," tulisnya menutup katalog.
Sesungguhnya mudah saja. Jika jawabannya adalah dua kata, bisa kita telusuri asal-muasalnya. Sri Kresna dari belahan barat negeri ini, sedangkan Semar warisan lokal. Mengikuti Ronggowarsito yang dikutip Semar dalam tembangnya, orang yang bahagia adalah orang yang berkesadaran (eling) dengan dasar rasio (kebijakan Barat) dan yang berkepekaan (waspada) dengan dasar spiritual (kearifan Timur).
Apakah kesadaran itu bentuknya ilmu atau demokrasi dan kepekaan itu agama atau tradisi, terserah tafsir pribadi. Yang pasti, kita merayakan bersama pesta ini, krisis ini, kegetiran dan tragik, komedi dan tawa ini, katarsis dan kecermatan detail panggung ini, bersama Koma, koma selamanya. (Atau juga togog selamanya?)
Radhar Panca Dahana, pemerhati budaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo