Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat Dari Redaksi
TAHUN Monyet 2004 rupanya tahun ?berhadiah? untuk Grup Tempo. Pada pertengahan Juni lalu, Nezar Patria, staf redaksi majalah ini, berhasil memenangi Southeast Asia IFJ (International Federation of Journalist) Journalism for Tolerance Award di Manila, Filipina. Selain Nezar, tulisan Karaniya Dharmasaputra, redaktur majalah, juga berhasil menjadi finalis lomba yang diadakan organisasi wartawan internasional itu. Pada waktu yang hampir bersamaan, Dwi Wiyana, Koordinator Liputan Jawa Barat, juga berhasil meraih Journalism Award 2004 dari Yayasan Cinta Anak Bangsa dan United Nations Information Center.
Belum hilang rasa gembira kami, pekan ini Tomi Aryanto, 26 tahun, staf redaksi majalah ini, terpilih sebagai salah satu penerima penghargaan BNI Press Award. Bank milik pemerintah yang baru saja mengubah logo itu melakukan seleksi yang ketat melalui tiga tahap atas 160 harian dan 200 majalah dan tabloid nasional. Penilaian dilakukan oleh dewan juri yang antara lain adalah Ichlasul Amal, Ketua Dewan Pers dan guru besar di Universitas Gadjah Mada. Tomi, lulusan FISIP Universitas Indonesia yang bergabung dengan Tempo News Room tahun 2001, menerima penghargaan untuk kategori ?jurnalis majalah?. Sebuah penghargaan yang layak. Tomi dikenal sebagai wartawan yang punya ?daya tembus sumber? tinggi, tekun, dan rendah hati. Sejak tahun yang lalu Tomi memang meliput untuk Rubrik Ekonomi & Bisnis.
Penghargaan untuk Tomi, yang kini diposkan sebagai staf redaksi majalah ini, terasa lebih lengkap dan menggembirakan karena ?saudara muda? Majalah TEMPO, yaitu Koran Tempo, juga menerima penghargaan kali ini. Koran Tempo mendapat penghargaan dari BNI bersama harian Bisnis Indonesia dan Media Indonesia.
Tentu kami sangat menghargai BNI yang memberikan apresiasi atas karya jurnalistik para wartawan Indonesia ini. Kami percaya bahwa lembaga itu sadar betul bahwa kritik dan pemberitaan yang kerap kali ?tak menyenangkan? adalah ?obat? dan sekaligus cermin untuk memperbaiki diri.
Penghargaan demi penghargaan yang kami terima tentu tidak akan membuat kami lupa diri. Sebaliknya, kami akan terus mempertahankan mutu pemberitaan kami, untuk memenuhi kebutuhan informasi yang jujur, akurat, dan tidak memihak bagi Anda, para pembaca.
Tuntutan Atas Wartawan TEMPO (1)
SAYA sampaikan rasa duka yang sangat dalam atas tuntutan jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Pak Bambang Harymurti dan rekan-rekannya.
Sebagaimana rekan-rekan di Majalah TEMPO, saya pun ingin melihat masa depan Indonesia yang lebih jujur, lebih bermoral, lebih beretika, dan lebih berkualitas. Saya merasa sangat sedih, tanah air yang tercinta ini bertekuk lutut kepada preman, penyelundup, perampok, dan ?pengisap darah?.
Semakin hari kita juga semakin berduka menyaksikan oportunis-oportunis politik yang memperebutkan emas di tanah air ini, tapi buta mata dan buta mata hati untuk melihat diri, melihat derita, dan merasakan lara.
Kita semua berkelahi bukan untuk memperebutkan telur emas sang angsa, melainkan untuk membunuh sang angsa, hanya untuk segenggam daging dan sejumput tulang.
Karena itulah, saya sampaikan rasa duka saya kepada Pak Bambang Harymurti khususnya, dan kepada seluruh saudara-saudara saya di TEMPO. Saya hanya mampu berdoa kepada Allah SWT. Dia yang paling berhak atas kita semua dan atas segala alam beserta isinya, semoga dengan izin dan kuasa-Nya segala kegelapan ini akan tersingkap dan cahaya benderang kebenaran akan bersinar selamanya. Amin?.
TEMPO, tetaplah maju dengan dada tegak. Kita akan selalu berjuang bersama, dengan peran kita masing-masing, demi merah dan putihnya negeri yang kita cintai ini.
Saya sangat mengimani bahwasanya Allah SWT pasti menciptakan manusia yang baik jauh lebih banyak daripada manusia yang jahat. Kalau kegelapan masih menyelimuti, ini berarti para orang baik hanya berdiam diri. Ayo TEMPO, kita himpun semua yang masih berniat baik untuk negeri ini, kita berjuang bersama....
Selamat berjuang?.
ERNEST PATRIA RAIHAN
Direktorat Jenderal Anggaran,
Departemen Keuangan RI
Jalan Budi Utomo 6, Jakarta
Tuntutan Atas Wartawan TEMPO (2)
Semoga Mas Bambang, Mas Ahmad Taufik, dan Bang Tengku Iskandar Ali tetap sabar dan tegar dalam menghadapi tantangan ini dan terus berjuang untuk mempertahankan kebenaran.
M. NATSIR KONGAH M.S.
Public Relations Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Jalan Kebon Sirih 82-84, Jakarta 10010
Salut pada Amien Rais
Pernyataan calon presiden Partai Amanat Nasional, Amien Rais, dalam concession speech-nya, yang mengatakan tulus menerima hasil pemilu 5 Juli 2004, benar-benar patut diapresiasi dan diberi salut. Sikap Pak Amien yang juga mengucapkan selamat kepada kandidat presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-K.H. Hasyim Muzadi, yang berhasil maju ke putaran kedua, benar-benar mencerminkan kelegawaannya sebagai seorang politisi sekaligus seorang pemimpin bangsa. Bagaimanapun dalam setiap kompetisi selalu ada yang menang dan kalah, tak terkecuali dalam kompetisi politik seperti dalam pemilu presiden ini.
Saya sependapat dengan penilaian Pak Amien bahwa pelaksanaan pemilu presiden kali ini telah membuktikan bangsa Indonesia telah mantap membangun demokrasi. Lebih bersyukur lagi kepada Allah karena telah berhasil mengukuhkan demokrasi pada era reformasi. Dalam masa-masa transisi demokrasi yang sangat krusial seperti sekarang ini, pernyataan Pak Amien sungguh positif dan menyejukkan. Kelegawaan Pak Siswono, yang juga mengakui hasil pemilu, pun patut dihargai. Bahkan tindakannya menemui semua kandidat dan wakilnya yang maju pada putaran kedua mencerminkan bahwa pasangan dari PAN memang menjunjung tinggi sportivitas dalam berpolitik.
Walaupun dalam pemilu kepresidenan yang baru lalu saya bukanlah pendukung pasangan Amien-Siswono, sportivitas mereka hendaknya menjadi teladan bagi politisi-politisi lain dalam berkompetisi politik. Tampil sebagai kandidat atau menjadi pendukung salah satu kandidat secara habis-habisan memang hak setiap warga negara dalam sistem demokrasi. Namun, demokrasi pun mensyaratkan kedewasaan dan sportivitas layaknya olahraga.
Pasangan calon yang tampil sebagai pemenang dituntut memenuhi segala komitmennya selama berkampanye. Mereka mesti mengimplementasikan platformnya secara konsisten dan konsekuen. Jelas ada tanggung jawab dunia-akhirat.
Sementara itu, jika kebetulan menjadi pecundang pun harus legawa menerima realitas tersebut apa adanya. Jangan malah menjadi preman politik, yang menghasut rakyat untuk ikut-ikut memboikot atau jadi golput. Tak kalah parah jika ikut melakukan sabotase politik dengan menggugat keabsahan pemilu.
Sikap Amien-Siswono, yang tetap akan berpartisipasi dalam pemilu kepresidenan putaran II dan menganjurkan pengikutnya untuk bebas memilih berdasarkan nuraninya, patut dicontoh.
MURTHADA SA?ALI
Jalan Harmoni 33, Medan
Amien Rais Sebaiknya Jadi Oposisi
AMIEN Rais secara sportif sudah resmi menyatakan kekalahannya sebagai calon presiden. Sikap terpuji ini memunculkan simpati bagi saya yang bukan pendukung Amien Rais. Kekalahan di pemilu sekarang bukanlah akhir dari perjuangan. Dan alangkah indahnya jika Amien Rais bersedia menjadi oposisi yang baik. Yang berani mengawasi pemerintahan dan siap ?bertarung? jikalau kebijakan pemerintah melenceng dari kehendak rakyat.
Menjadi oposisi jauh lebih mulia dibanding melakukan kongkalikong politik dengan calon penguasa baru.
ASEP SAEPULOH
Kecamatan Marwati, Cianjur
Kenapa Golput?
Golongan putih atau yang sering disebut dengan golput adalah suatu fenomena di alam demokrasi. Golput sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu pilihan bagi para penganutnya untuk tidak memilih. Gejala ini di Indonesia muncul sejak 1971, saat negeri kita tengah melaksanakan proses demokrasi pemilihan umum (pemilu). Saat itu, golput dicetuskan atas gagasan Arief Budiman, ketika ia menganggap bahwa kediktatoran fasis Orde Baru dan militerisme tengah berkecamuk di negeri kita.
Namun, memasuki dekade terakhir ini, semenjak Pemilu 1999 dilaksanakan, dalam tonggak sejarah telah tercatat bahwa pemilu tersebut jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Lebih demokratis tentunya. Bahkan pada 2004 rakyat Indonesia memilih secara langsung calon presidennya melalui pemilu. Itu sebabnya si penggagas golput sendiri, Arief Budiman, tidak lagi melaksanakan aksinya. Ia dengan terus terang menyatakan telah memilih salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Bagaimana dengan para penganut golput sekarang? Tengok saja tokoh seperti mantan presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dia beserta keluarganya telah memilih untuk tidak mencoblos karena merasa disakiti oleh Komisi Pemilihan Umum. Soalnya, ia dinyatakan tidak lolos dalam tes kesehatan oleh lembaga ini.
Ada juga pernyataan Din Syamsuddin (Wakil Ketua PP Muhammadiyah). Ia dan pengikutnya merasa bahwa jagonya tidak mungkin lolos di pemilu putaran ke-2, sehingga ada kemungkinan menjadi golput.
Kalau kita runut lebih dalam, pandangan penganut golput sekarang sangatlah jauh berbeda dengan cara berpikir dan antusiasme rakyat kita. Tengok saja, mereka yang berada di perantauan di kota rela berdesak-desakan dengan angkutan umum layaknya Lebaran, demi mencoblos di kampung halaman. Belum lagi, kita lihat betapa tertibnya rakyat kita ?berpemilu?. Ketika banyak kalangan memprediksi pemilu bakal rusuh, ternyata pemilu berjalan lancar. Justru para elite dan yang tahu politik itulah yang harus belajar dari rakyat.
Untuk itu, bagi para penganut golput dengan berbagai alasannya, ada baiknya menengok para rakyat. Mereka dengan antusiasme dan kejujurannya telah ikut dalam pemilu.
R. WISANGGENI
Jalan Satrio Wibowo 54A
Surakarta
Penghentian Perkara Korupsi
BARU-baru ini Kejaksaan Agung memberikan ?kado? SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) kepada beberapa pengusaha yang selama ini menjadi tersangka kasus korupsi, seperti Sjamsul Nursalim. Pengumuman tersebut dikeluarkan bersamaan dengan peringatan Hari Bhakti Adhyaksa. Ini semakin menunjukkan bahwa lembaga kejaksaan bukan merupakan garda depan dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN. Dengan tanpa malu-malu lagi, Kejaksaan Agung memberikannya pada hari jadinya yang ke-44. Hal itu justru mengumandangkan ?prestasinya? melepas para koruptor kakap dan jerat hukum untuk kesekian kalinya.
Pemberian SP3 kepada Sjamsul Nursalim dan lain-lain tersebut dengan menggunakan landasan Inpres No. 8/2002. Ini berarti Jaksa Agung lebih menghamba pada inpres tersebut ketimbang melandaskan pada Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi, yang sebagian pasalnya berlawanan dengan inpres tersebut.
Konsekuensinya, hal itu menyuburkan praktek korupsi. Presedennya sudah disemai oleh Kejaksaan Agung. Orang akan ramai-ramai melakukan korupsi. Sebelum dijerat hukum, mereka bisa lari ke luar negeri yang tidak ada perjanjian ekstradisi dengan RI, sambil mengembalikan bertahap uang hasil korupsinya. Setelah itu, ia bebas dari hukum dan dapat leluasa melakukan korupsi lagi.
Selama ini presiden memilih Jaksa Agung dari kalangan internal Kejaksaan Agung dengan alasan bahwa merekalah yang paling tahu seluk-beluk instansi kejaksaan. Padahal, jika presiden mau sedikit lebih memahami kritik-kritik masyarakat, selama ini justru internal kejaksaan yang menjadi bagian dari masalah yang harus dibersihkan terlebih dahulu.
Orang dari luar internal kejaksaan yang berjarak dengan birokrasi kejaksaan mungkin bisa membersihkan mereka. Soalnya, ia tidak akan mengalami hambatan-hambatan yang sifatnya psikologis. Yang jelas, mustahil lantai kotor dibersihkan dengan sapu kotor.
HENDARDI
Ketua Perhimpunan Bantuan
Hukum Indonesia
Penjelasan Bank Mandiri
Majalah TEMPO edisi 26 Juli-1 Agustus 2004 lalu memuat surat pembaca dengan judul Keluhan Nasabah Bank Mandiri, yang dikirim oleh Bapak David Ferdinand. Dengan ini kami informasikan bahwa permasalahan mengenai transaksi penarikan ATM tersebut telah diselesaikan dengan baik dengan yang bersangkutan.
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami dan terima kasih atas kepercayaannya kepada ATM Bank Mandiri. Perbaikan-perbaikan pelayanan terus kami lakukan untuk kepuasan nasabah.
BAMBANG ARI PRASODJO
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Layanan Lion Air
Saya percaya dengan semboyan di maskapai penerbangan Lion Air untuk memberi pelayanan terbaik bagi penumpangnya. Apalagi ada lampiran isian di lembar tiket untuk menampung penilaian dari penumpang. Bukan saja menyangkut harga tiket, tapi juga pelayanan penumpang di kabin.
Hanya, saya mengalami kejadian yang kurang mengenakkan. Pada bulan lalu saya pergi dari Jakarta ke Makassar menumpang Lion Air dengan tiket pulang-pergi. Pada tiket, tercatat kepulangan saya pada 23 Juli 2004. Karena suatu hal, saya mesti pulang lebih cepat. Saya minta tolong rekan saya untuk menelepon Lion Air, karena saya sibuk memberi pelayanan kerja seni untuk peserta kongres para dokter anestesi di Hotel Sahid. Dari teman saya, saya mendapat kabar bahwa untuk penerbangan pada 18 Juli masih terdapat satu tempat duduk. Tapi, saya mesti membayar uang tambahan Rp 400 ribu dan saya harus segera memberi kepastian lewat telepon.
Karena sempat memakan waktu untuk berpikir dalam mengambil keputusan, saya mendapat telepon ulang dari kawan yang mengurus tiket. Dia mengatakan bahwa seat sudah diambil orang! Jadi, harus mundur pada 19 Juli. Itu pun juga dinyatakan tinggal satu kursi yang mesti saya setujui segera. Akhirnya, tanggal tersebut saya naik pesawat. Tepat waktu pukul 9, pesawat berangkat mengudara. Namun, saya terhenyak ketika pergi ke kabin belakang. Di sana ada tiga baris kursi yang kosong, bahkan ada satu penumpang yang tidur membujur.
Kekagetan saya persis seperti yang dialami seorang penumpang yang duduk di sebelah saya saat berangkat ke Makassar. Dia mengeluhkan tingginya harga tiket. Saat itu, katanya, dibilang juga oleh petugas Lion Air bahwa kursi yang tersedia tinggal satu. Nyatanya, ketika itu juga ada tiga kursi yang kosong. Itu terjadi pada tanggal 13 Juli dengan jadwal penerbangan pukul 15.00, yang sempat mundur selama 45 menit.
Setahu saya, di maskapai penerbangan lain, untuk perubahan jadwal tidak dikenakan biaya tambahan. Itu sebabnya saya berusaha menanyakan ke pihak Lion Air setiba di Jakarta. Keluhan saya ditanggapi oleh seorang petugas. Dia mengatakan bahwa tiket saya perlu biaya tambahan karena telah diubah dari kelas M ke kelas H. Padahal, di pesawat, saya tidak merasakan perbedaan fasilitas.
Atas kejadian yang saya alami tersebut, saya minta penjelasan dari Lion Air.
PRIADJI KUSNADI
Pelukis Siluet
Pasar Seni Ancol, Jakarta
Teknologi Pembuangan Limbah
Melalui surat terbuka ini, saya ingin meminta perhatian Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) serta Departemen Energi dan Sumber Daya dan Mineral. Ini menyangkut penggunaan teknologi oleh suatu perusahaan minyak dalam menangani limbah lumpur berminyak (oily viscous fluids, OVF). Seperti diketahui, setiap penggunaan suatu teknologi oleh suatu perusahaan minyak di Indonesia harus sepengetahuan dan izin dari BP Migas sebagai representasi pemerintah Indonesia.
Atas dasar itu, saya ingin bertanya tentang dasar yang digunakan BP Migas dalam penentuan dan pemberian izin kepada perusahaan minyak dalam penggunaan suatu teknologi penanganan atau pembuangan limbah lumpur berminyak alias OVF. Hal ini perlu, mengingat betapa lingkungan darat, perairan, dan udara kita sudah tercemar.
Selama ini, dalam penanganan OVF di industri perminyakan di Indonesia ada beberapa macam cara. Dari yang sederhana, sekadar ditampung, ditumpuk, dan dibakar, sampai ada yang menggunakan teknologi modern. Cara yang sederhana sudah bisa dipastikan membahayakan lingkungan.
Sekarang proyek Caltex di Duri, Riau, menggunakan teknologi penyuntikan ke dalam perut bumi. Dari berita dan informasi yang saya baca, teknologi ini mampu menempatkan kembali limbah lumpur berminyak ke dalam perut bumi pada kedalaman 700 meter. Dengan kedalaman seperti itu, dan limbah ditempatkan pada formasi yang stabil, tentunya akan aman bagi lingkungan. Teknologi ini juga tidak menghasilkan residu atau limbah lanjutan.
Ada juga sejumlah teknologi lain yang berupaya mendaur-ulang limbah lumpur berminyak. Namun, tampaknya teknologi ini masih kurang aman bagi lingkungan, karena dalam prosesnya menghasilkan residu dan dapat mencemari lingkungan.
Karena itu, sebagai warga yang mendambakan lingkungan yang bebas dari pencemaran, saya mengimbau kepada BP Migas agar mewajibkan penggunaan teknologi yang aman bagi lingkungan dalam menangani limbah minyak.
ANI SURYANI
Sukabumi, Jawa Barat
Hipermarket di IPB
SEBENARNYA persoalan yang hendak saya sampaikan ini sudah didiskusikan dan dibicarakan di berbagai kesempatan, namun hasilnya tak memuaskan. Tidak ada perubahan niat baik dari pimpinan Institut Pertanian Bogor (IPB). Persoalannya sederhana, yakni pemanfaatan aset negara di kampus yang berada di Baranangsiang, Bogor, tersebut.
Beberapa bulan yang lalu, IPB membuat iklan penawaran kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan di kampusnya. Institut ini mungkin hendak menampilkan citra adanya transparansi kepada publik.
Tapi iklan tersebut terkesan formalitas saja. Soalnya, tak lama berselang tiba-tiba telah diputuskan bahwa di kampus IPB akan dibangun suatu kawasan ?campur sari?. Di situ ada convention center, super-bookstore, hipermarket, dan hotel. Tak jelas konsepnya. Yang pasti, akan menambah kesemrawutan Kota Bogor.
Saya ingin bertanya, apakah civitas akademika IPB tidak lagi peduli dengan kampusnya? Apakah tidak cukup IPB membangun mal di atas tanah bekas asrama mahasiswa Ekalokasari? Apakah proyek tersebut akan mampu memberikan citra IPB sebagai lembaga pendidikan ataupun lembaga ilmiah di Indonesia?
Mari kita berpikir lebih jernih. IPB adalah lembaga pendidikan dan penelitian dalam bidang pertanian dalam arti luas. Kota Bogor sendiri pada dasarnya merupakan ?kota ilmiah?, terutama dalam bidang pertanian. Lihat saja begitu banyak lembaga penelitian pertanian baik dalam negeri maupun luar negeri terdapat di Bogor, termasuk Kebun Raya-nya yang sangat terkenal. Seharusnya IPB memberikan dukungan agar citra kota ini lebih berkembang.
Sebenarnya kita bisa membangun lahan tersebut menjadi kawasan ilmiah yang dikelola secara komersial. Sekali-kali, jalan-jalanlah ke Prancis. Di pinggiran Kota Paris ada satu wilayah yang disebut Cite de la Science (Kota Ilmu Pengetahuan). Anda akan melihat di sana bagaimana sebuah kawasan ilmiah dapat menghasilkan duit. Ini tentu hasil kemauan berpikir dan bekerja keras.
AGUS SUPRIONO
Jalan Padat Karya, RT/RW 003/005
Kelurahan Cimahpar, Bogor
Ralat
PADA Majalah TEMPO edisi 26 Juli-1 Agustus lalu dimuat tulisan berjudul Aliran yang Didiamkan, pada halaman 107. Di situ tertulis Hartono (Tjahjadjaja) sendiri mendapat jatah yang cukup besar, Rp 31,5 miliar. Angka yang benar adalah Rp 13,5 miliar. Kami minta maaf atas kesalahan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo