Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Dini hari di sungai siak

Perahu cangkok yang merapat ke ferry untuk menjemput /mengangkut barang-barang bawaan para inang-iang dari ferry tersebut supaya lolos dari intaian petugas bea cukai di pelabuhan pakanbaru, riau. sulit diberantas. (ils)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINI hari yang dingin, di Sungai Siak yang kelam. Para penumpang ferry jurusan Selatpanjang-Pakanbaru atau Tanjungpinang-Pakanbaru, sehagian sedang tidur lelap. Tapi tiba-tiba terdengar suara benturan di lambung kapal itu, susul menyusul. Kandas? Atau ada pembajakan? Bukan. Perahu-perahu dengan awak 6-7 orang, sedang merapat ke ferry. Salah seorang awak perahu-perahu itu sedang melemparkan alat pengait untuk menggandengkan perahu mereka pada ferry. Begitu pengait melekat di salah satu bagian ferry, perahu-perahu itu pun bagai dicangkok menempel di tubuh ferry -- dan membentur-bentur lambung. Dan memang itulah yang namanya perahu cangkok. Para awaknya, begitu perahu menempel di ferty, akan segera disambut para penggaleb, istilah di daerah ini untuk menyebut inang-inang. Artinya, barang-barang bawaan para penggaleb pun berpindah ke perahu-perahu tadi. Setelah berisi muatan, cangkok-cangkok tadi segera melepaskan diri dari ferry. Mereka akan segera menyelusup ke semak-semak atau anak-anak sungai, menuju tempat penumpukan barang-barang yang sudah ditentukan. Dan itu berarti pula, barang-barang eks luar negeri itu pun lolos dari intaian petugas Bea-cukai di Pelabuhan Pakanbaru. Besoknya, para penggaleb pun dengan riang akan mendapatkan kembali barang-barang mereka di tempat yang telah ditentukan -- tanpa berkurang atau cacat sedikit jua. Para awak cangkok segera meninggalkan tempat itu, setelah mereka menerima pemhayaran sebagai upah. Besarnya tergantung jumlah koli barang --akhir-akhir ini tiap koli antara Rp 1.500 hingga Rp 3.000, tergantung nilai barang itu. Di sepanjang Sungai Siak terdapat lebih dari 100 buah perahu cangkok. Perahu-perahu itu umumnya mereka sewa dari penduduk yang berdiam di Sepanjang sungai dengan tarif Rp 5.000 sehari-semalam. Operasi mereka setiap hari dimulai sejak ferry bertolak dari Pelabuhan Pakanbaru menuju Tanjungpinang dan Selatpanjang. Ada 3 buah ferry yang setiap hari membawa penumpang dan barang menghubungkan tempat-tempat itu. Berangkat dari Pakanbaru sekitar pukul 3 sore. Mulai saat inilah perahu-perahu tadi mencangkokkan diri. Biasanya di sekitar Desa Perawang dan Okura, sekitar 40 km dari Pakanbaru, mereka melepaskan diri dari ferry. Jarak Pakanbaru sampai di muara Sungai Siak sekitar 200 km. Di tempat menunggu itu mereka menghabis-habiskan waktu. Bernyanyi, main gitar dan mereguk minuman keras. "Agar hantu sungai takut," kelakar seorang awak cangkok, Burhan. Selebihnya mereka tidur. Ferry yang mereka ikuti tadi, akan sampai lagi di tempat mereka menunggu sekitar subuh Nakoda ferry rupanya sudah mengenali tempat cangkok-cangkok itu menunggu dan membunyikan klakson kapal beberapa ratus meter sebelum mencapai tempat itu. Dan begitu sampai di tempat cangkok-cangkok tadi, ferry pun mengurangi kecepatannya. Malahan tak sedikit awak ferry yang membantu para penggaleh menurunkan barang-barang mereka ke perahu. Kapal penumpang itu sudah paham benar berapa menit waktu terbuang untuk memindahkan barang-barang tanpa dokumen tadi ke cangkok. Lepas waktu itu, kapal pun kembali berjalan cepat. Dan di Pelabuhan Pakanbaru, ferry itu bebas dari beban barang-barang yang lazimnya digolongkan selundupan. Sekali menembak, begitu istilah di sana untuk menyebut beroperasinya armada cangkok, setiap perahu dapat menghasilkan puluhan ribu. Bahkan kalau sedang hari baik, bisa lebih dari Rp 100.000. Sebaliknya jika sedang sial, paling-paling hanya mengantungi Rp 10.000. Malahan akan hampa tangan sama sekali jika ternyata tak ada penggaleh yang muncul, lantaran barangnya tertangkap di Tanjungpinang atau Selatpanjang. Hal serupa itu terjadi misalnya akhir Februari lalu. Dua buah ferry, "Safari" dan "Harapan Baru", dicegat Satuan Polisi Perairan tak lama setelah kedua kapal itu memasuki muara Sungai Siak dalam perjalanan menuju Pakanbaru. Lebih dari 1000 koli barang berasal dari Singapura tanpa dokumen, disita. Perkaranya telah diserahkan kepada pihak Bea-cukai awal Maret ini untuk diproses lebih lanjut. Satuan Polisi Perairan maupun petugas-petugas Bea-cukai, bukan sekali itu saja menyita barang-barang selundupan di perairan Sungai Siak. Tapi para penggaleb maupun armada cangkok tetap tak terberantas. Komandan Koresta 401 Pakanbaru sendiri, Letkol Pol. Sumitro, mengakui instansinya sudah cukup kewalahan membabat armada cangkok maupun penggaleb. Sudah berkali-kali dijaring dan barang-barang mereka ditahan, kata Sumitro, namun muncul terus. Padahal, tambah Kepala Inspeksi Bea-cukai Pakanbaru, Bustaman Rasad, kalau dibiarkan terus, para importir resmi dapat bangkrut. Buktinya, menurut Bustaman, setiap hari ribuan koli barang lolos dari jangkauan Bea-cukai dan memasuki pasaran Pakanbaru secara gelap. "Barang-barang itu murah pula," tambah Bustaman "dan sebagian diangkut dengan pesawat terbang ke Jakarta." Bustaman mengungkapkan, bea masuk yang berhasil dikutip dari impor resmi di Pelabuhan Pakanbaru tahun lalu mencapai Rp 2 milyar. Pihak kapal ferry juga rupanya melihat armada cangkok sebagai gangguan bagi kelancaran lalu-lintas di sungai itu. Tapi seorang nakoda menyebut tak mungkin memberantas mereka begitu saja. Malahan, tambahnya, kalau mereka tak diberi kesempatan mencangkok pada ferry, "salah-salah kapal bisa mereka rusak. " Nakoda itu membantah awak kapalnya turut membantu kegiatan para awak cangkok. "Semata-mata agar kami tidak diganggu," kilah nakoda itu. Klakson Namun menurut para awak cangkok, "hampir semua awak ferry ikut makan dari kerja menembak barang-barang gelap itu." Buktinya, awak ferry sering membantu para penggaleb memindahkan barang mereka. Lagi pula, tambah seorang awak cangkok yang lain, ferry selalu memberi klakson sebagai tanda agar perahu-perahu segera mencangkok. Yang pasti, beberapa orang di Kepolisian dan Bea-cukai Pakanbaru, mengungkapkan ada semacam sindikat yang lengkap dengan deking-dekingnya di belakang armada cangkok itu. Pimpinan sindikat itulah yang dihubungi para penggaleb untuk mengambil barang mereka. Si boss itu menjamin barang-barang tadi akan aman, artinya tak mungkin berkurang atau digelapkan oleh para awak cangkok. Dan memang selama ini para penggaleb tak pernah mengeluh perihal keselamatan barang-barang mereka. Tapi mengapa pihak berwajib tak menangkap boss itu? Sumber kepolisian mengakui jejaknya sulit diikuti di antara sekitar 20.000 jiwa penduduk Riau yang hidup di sepanjang Sungai Siak. Pihak Bea-cukai sendiri rupanya belum mampu berbuat apa-apa. "Usaha armada cangkok itu sudah merupakan satu jaringan dan satu ancaman buat petugas pelabuhan," itu saja kata Bustaman Rasad dengan cemas. Apalagi pihak Satuan Polisi Perairan di sini, hanya memiliki satu kapal patroli untuk sungai yang panjang itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus