DINI hari yang dingin, di Sungai Siak yang kelam. Para penumpang
ferry jurusan Selatpanjang-Pakanbaru atau
Tanjungpinang-Pakanbaru, sehagian sedang tidur lelap. Tapi
tiba-tiba terdengar suara benturan di lambung kapal itu, susul
menyusul. Kandas? Atau ada pembajakan?
Bukan. Perahu-perahu dengan awak 6-7 orang, sedang merapat ke
ferry. Salah seorang awak perahu-perahu itu sedang melemparkan
alat pengait untuk menggandengkan perahu mereka pada ferry.
Begitu pengait melekat di salah satu bagian ferry, perahu-perahu
itu pun bagai dicangkok menempel di tubuh ferry -- dan
membentur-bentur lambung.
Dan memang itulah yang namanya perahu cangkok. Para awaknya,
begitu perahu menempel di ferty, akan segera disambut para
penggaleb, istilah di daerah ini untuk menyebut inang-inang.
Artinya, barang-barang bawaan para penggaleb pun berpindah ke
perahu-perahu tadi.
Setelah berisi muatan, cangkok-cangkok tadi segera melepaskan
diri dari ferry. Mereka akan segera menyelusup ke semak-semak
atau anak-anak sungai, menuju tempat penumpukan barang-barang
yang sudah ditentukan. Dan itu berarti pula, barang-barang eks
luar negeri itu pun lolos dari intaian petugas Bea-cukai di
Pelabuhan Pakanbaru.
Besoknya, para penggaleb pun dengan riang akan mendapatkan
kembali barang-barang mereka di tempat yang telah ditentukan --
tanpa berkurang atau cacat sedikit jua. Para awak cangkok
segera meninggalkan tempat itu, setelah mereka menerima
pemhayaran sebagai upah. Besarnya tergantung jumlah koli barang
--akhir-akhir ini tiap koli antara Rp 1.500 hingga Rp 3.000,
tergantung nilai barang itu.
Di sepanjang Sungai Siak terdapat lebih dari 100 buah perahu
cangkok. Perahu-perahu itu umumnya mereka sewa dari penduduk
yang berdiam di Sepanjang sungai dengan tarif Rp 5.000
sehari-semalam. Operasi mereka setiap hari dimulai sejak ferry
bertolak dari Pelabuhan Pakanbaru menuju Tanjungpinang dan
Selatpanjang. Ada 3 buah ferry yang setiap hari membawa
penumpang dan barang menghubungkan tempat-tempat itu. Berangkat
dari Pakanbaru sekitar pukul 3 sore. Mulai saat inilah
perahu-perahu tadi mencangkokkan diri. Biasanya di sekitar Desa
Perawang dan Okura, sekitar 40 km dari Pakanbaru, mereka
melepaskan diri dari ferry. Jarak Pakanbaru sampai di muara
Sungai Siak sekitar 200 km.
Di tempat menunggu itu mereka menghabis-habiskan waktu.
Bernyanyi, main gitar dan mereguk minuman keras. "Agar hantu
sungai takut," kelakar seorang awak cangkok, Burhan. Selebihnya
mereka tidur.
Ferry yang mereka ikuti tadi, akan sampai lagi di tempat mereka
menunggu sekitar subuh Nakoda ferry rupanya sudah mengenali
tempat cangkok-cangkok itu menunggu dan membunyikan klakson
kapal beberapa ratus meter sebelum mencapai tempat itu. Dan
begitu sampai di tempat cangkok-cangkok tadi, ferry pun
mengurangi kecepatannya. Malahan tak sedikit awak ferry yang
membantu para penggaleh menurunkan barang-barang mereka ke
perahu.
Kapal penumpang itu sudah paham benar berapa menit waktu
terbuang untuk memindahkan barang-barang tanpa dokumen tadi ke
cangkok. Lepas waktu itu, kapal pun kembali berjalan cepat. Dan
di Pelabuhan Pakanbaru, ferry itu bebas dari beban barang-barang
yang lazimnya digolongkan selundupan.
Sekali menembak, begitu istilah di sana untuk menyebut
beroperasinya armada cangkok, setiap perahu dapat menghasilkan
puluhan ribu. Bahkan kalau sedang hari baik, bisa lebih dari Rp
100.000. Sebaliknya jika sedang sial, paling-paling hanya
mengantungi Rp 10.000. Malahan akan hampa tangan sama sekali
jika ternyata tak ada penggaleh yang muncul, lantaran
barangnya tertangkap di Tanjungpinang atau Selatpanjang.
Hal serupa itu terjadi misalnya akhir Februari lalu. Dua buah
ferry, "Safari" dan "Harapan Baru", dicegat Satuan Polisi
Perairan tak lama setelah kedua kapal itu memasuki muara Sungai
Siak dalam perjalanan menuju Pakanbaru. Lebih dari 1000 koli
barang berasal dari Singapura tanpa dokumen, disita. Perkaranya
telah diserahkan kepada pihak Bea-cukai awal Maret ini untuk
diproses lebih lanjut.
Satuan Polisi Perairan maupun petugas-petugas Bea-cukai, bukan
sekali itu saja menyita barang-barang selundupan di perairan
Sungai Siak. Tapi para penggaleb maupun armada cangkok tetap
tak terberantas.
Komandan Koresta 401 Pakanbaru sendiri, Letkol Pol. Sumitro,
mengakui instansinya sudah cukup kewalahan membabat armada
cangkok maupun penggaleb. Sudah berkali-kali dijaring dan
barang-barang mereka ditahan, kata Sumitro, namun muncul terus.
Padahal, tambah Kepala Inspeksi Bea-cukai Pakanbaru, Bustaman
Rasad, kalau dibiarkan terus, para importir resmi dapat
bangkrut.
Buktinya, menurut Bustaman, setiap hari ribuan koli barang lolos
dari jangkauan Bea-cukai dan memasuki pasaran Pakanbaru secara
gelap. "Barang-barang itu murah pula," tambah Bustaman "dan
sebagian diangkut dengan pesawat terbang ke Jakarta." Bustaman
mengungkapkan, bea masuk yang berhasil dikutip dari impor resmi
di Pelabuhan Pakanbaru tahun lalu mencapai Rp 2 milyar.
Pihak kapal ferry juga rupanya melihat armada cangkok sebagai
gangguan bagi kelancaran lalu-lintas di sungai itu. Tapi seorang
nakoda menyebut tak mungkin memberantas mereka begitu saja.
Malahan, tambahnya, kalau mereka tak diberi kesempatan
mencangkok pada ferry, "salah-salah kapal bisa mereka rusak. "
Nakoda itu membantah awak kapalnya turut membantu kegiatan para
awak cangkok. "Semata-mata agar kami tidak diganggu," kilah
nakoda itu.
Klakson
Namun menurut para awak cangkok, "hampir semua awak ferry ikut
makan dari kerja menembak barang-barang gelap itu." Buktinya,
awak ferry sering membantu para penggaleb memindahkan barang
mereka. Lagi pula, tambah seorang awak cangkok yang lain, ferry
selalu memberi klakson sebagai tanda agar perahu-perahu segera
mencangkok.
Yang pasti, beberapa orang di Kepolisian dan Bea-cukai
Pakanbaru, mengungkapkan ada semacam sindikat yang lengkap
dengan deking-dekingnya di belakang armada cangkok itu. Pimpinan
sindikat itulah yang dihubungi para penggaleb untuk mengambil
barang mereka. Si boss itu menjamin barang-barang tadi akan
aman, artinya tak mungkin berkurang atau digelapkan oleh para
awak cangkok. Dan memang selama ini para penggaleb tak pernah
mengeluh perihal keselamatan barang-barang mereka.
Tapi mengapa pihak berwajib tak menangkap boss itu? Sumber
kepolisian mengakui jejaknya sulit diikuti di antara sekitar
20.000 jiwa penduduk Riau yang hidup di sepanjang Sungai Siak.
Pihak Bea-cukai sendiri rupanya belum mampu berbuat apa-apa.
"Usaha armada cangkok itu sudah merupakan satu jaringan dan satu
ancaman buat petugas pelabuhan," itu saja kata Bustaman Rasad
dengan cemas. Apalagi pihak Satuan Polisi Perairan di sini,
hanya memiliki satu kapal patroli untuk sungai yang panjang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini