Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kota versi geertz

Cliford geertz, dalam peddlers and princes, bercerita tentang model kota mojokuto: kota yang mendirikan pusat pertokoan dengan nenggusur pasar lama. model geertz hampir dikuasai kapitalis. (fk)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Mojokuto bukanlah kota khayalan. Tapi lebih dulu barangkali kita harus membaca lagi Peddlers and Princes, karya Cliftord Geertz yang 3 tahun yang lalu telah disalin ke bahasa Indonesia dengan judul Penjaja dan Raja. Siapa saja yang pernah berkunjung ke Jawa akan gampang mengenalnya: "Mojokuto kelihatannya serupa saja dengan setiap kota kecil di Jawa yang: pohon beringin, dengan patung Hindu di bawah naungannya, tumbuh di tengah alun-alun sekelompok kantor pemerintahan di sekitar rumah wedana dengan pendapa dan halamannya yang luas sederetan gudang-gudang dan toko-toko Cina yang terbuka bagian depannya dan berkain tenda- pasar terbuka yang luas dengan bangsa-bangsal seng yang karatan dan kedai-kedai kayu .... " Tak ada yang aneh. Juga bila Geertz berbicara tentang "ekonomi tipe pasar" dan "ekonomi tipe firma" di Mojokuto. Geertz, dengan "Mojokuto"nya, pada dasarnya melukiskan prototipe kota-kota yang beberapa tahun ini mencoba mendirikan pusat pertokoan -- well, shopping centre -- seraya menggusur pasarnya. Para pembangun kota mungkin mendesakkan "modernisasi" itu karena pasar begitu kuno dan menjijikkan. Tapi sekaligus agaknya ada hasrat untuk memperlihatkan pola kegiatan ekonomi yang lebih efektif. Ekonomi tipe pasar yang "hiruk-pikuk, campur baur dan individualistis" itu hendak-ditinggalkan. Ekonomi tipe firma akan diperkenalkan. Tapi, pasar bukan cuma tempat, seperti juga ditunjukkan Geertz. Ia adalah sistem kegiatan menjajakan dan membeli barang dan jasa dalam ukuran kecil. Ia juga tempat tenaga kerja -- pedagang cabe, tukang angkut dan lain-lain -- muncul dan dimanfaatkan hampir tanpa batas. Ia tempat bagi mereka yang, seandainya kegiatan itu hilang, akan terhempas sebagai buangan yang liat. Dengan pasar, lumpen-proletariat di kota belum sepenuhnya terdesak menjadi "segerombolan tikus" yang betapapun disepak dan dilempari batu, akan terus "melohangi akar sang pohon" -- seperti kata Fanon, pemikir revolusioner Aljazair, dalam lem Damnes de la Terre. Kira-kira 5 tahun yang lalu dua ahli menulis risalah yang berjudul Kevolutionary Change and the Third World City. Mereka, Amstrong dan McGee, berbicara tentang "model Indonesia" dan "model Kuba". Yang pertama didasarkan pada "Mojokuto"nya Geertz: kota yang masih belum sepenuhnya dirasuki sistim kapitalisme. Yang kedua berdasarkan Kuba sebelum Fidel Castro, akhir 50-an, di mana perembesan ekonomi kapitalis nyaris sempurna. Akan punahkah "Mojokuto" -- untuk digantikan "model Kuba" yang ditunggu revolusi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus