DI sela berita pemberantasan penyelundupan, tiba-tiba perhatian
diajak berpaling ke pasar. Bukan karena naiknya harga beras
atau 8 bahan pokok lainnya. Tapi kali ini karena pemerintah mau
menurunkan dana untuk pembangunan pasar-pasar baru. Pekan lalu
Menteri Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro mengumumkan penyediaan
dana Inpres Pasar sebanyak Rp 20 milyar. Dengan dana itu
pemerintah akan membantu pembangunan pasar di ibukota
kabupaten. kotamadya-kotamadya dan Jakarta. Dana Inpres Pasar
itu berwujud kredit bank. Ini dijelaskan kemudian oleh Wakil
Ketua Bappenas I JB. Sumarlin untuk membedakannya dengan
subsidi Rp 5 milyar yang tercantum dalam APBN 76/77. Subsidi
Rp 5 milyar itu diberikan kepada pemda-pemda yang menerima
Inpres Pasar, agar mereka tidak perlu membayar bunga kredit itu
kepada BRI. Masa pengembaliannya 10 tahun dengan masa tenggang
(grace period) 2 tahun.
Tujuan Inpres Pasar itu membantu pedagang kecil yang lemah
ekonominya. Makanya Menteri Widjojo memberikan petunjuk agar
pembangunan pasar Inpres itu sederhana konstruksinya dan murah.
Supaya sewa kios atau karcisnya pun murah. Widjojo juga
mengingatkan supaya tidak dibangun pusat pertokoan alias
shopping centres seperti yang tampak di kota-kota besar. Dan
untuk mencegah jual-beli hak menempati pasar seperti sering
terjadi, penyewaan kembali ruang pasar kepada pedagang yang
lebih kuat akan dilarang.
Ali Sadikin
Pengumuman itu segera mengundang sambutan Gubernur DKI. Ali
Sadikin mengusulkan supaya 50 dari dana Inpres Pasar itu
diperuntukkan bagi Jakarta. Alasannya: DKI lah yang sejak lama
memperjuangkan keluarnya Inpres itu. Namun menurut mentri
Sumarlin pembagian jatah Inpres Pasar itu masih perlu
diteliti oleh staf berbagai instansi. "Kalau ditanya mana yang
kebutuhannya paling mendesak. Semua daerah tentunya akan
mencalonkan diri. Bukan cuma Jakarta" katanya pada pers di
Istana Merdeka. "Yang penting sekarang adalah menentukan
ukuran-ukuran mana yang perlu dipakai dalam soal mendesak itu".
Tapi debat belum berhenti di situ. Ketika menyerahkan 10 super
helicak di Bapindo Sabtu lalu, Bang Ali membantah tuduhan bahwa
dia serakah, sebab 90% penduuk Jakarta adalah pendatang. "Pada
hakekatnya saya ingin memberi hidup bagi orang daerah. Saya
berjuang bukan hanya untuk orang Betawi asli semata-mata, tapi
juga untuk orang daerah yang terlanjur hidup senang di Jakarta.
Saya juga memperjuangkan pedagang lemah", katanya menanggapi
para teknokrat. Bagaimana cara perjuangannya, diperincinya lebih
lanjut. Katanya Jakarta yang berpenduduk 5 juta jiwa membutuhkan
150 hektar pasar. Pasar yang ada sekarang baru 80 hektar. 60
hektar dibangun selama 10 tahun belakangan ini, dan 20 hektar
selama Orde Lama. Untuk membangun 70 hektar pasar lagi, DKI
setiap tahun butuh Rp 10 milyar. Makanya gubernur Ali Sadikin
berkeras bahwa "wajar 50 Inpres Pasar untuk Jakarta".
Kendati belum ada kata sepakat di tingkat atas, kebutuhan akan
ruang pasar untuk menampung pedagang-pedagang "pribumi" di
Jakarta memang sudah lama terasa. Malah tiap tahun makin
mendesak akibat tersisihnya wajah-wajah lama dari pasar-pasar
yang dirombak. Sebab di pusat pertokoan (shopping centre) baru
dan bertingkat majemuk yang didirikan di atas puing-puing pasar
lama, muncul banyak pendatang baru -- kebanyakan "non pribumi"
-- yang sanggup membayar sewa pasar dengan tarif tinggi.
Contoh paling akhir adalah Pasar Tanah Abang yang dulu dikenal
sebagai bursa tekstil utama di Jakarta, dan dijuluki benteng
terakhir pedagang pribumi setelah pembangunan Pasar Senen, Pasar
Glodok, Pasar Blok M dan lain-lainnya. Di sana sejak pertengahan
tahun lalu sudah berdiri bangunan baru bertingkat 4, terbagi
dalam 4 blok, dan seluruhnya berisi 4000 kios. Tiga blok khusus
disediakan untuk penghuni lama Pasar Tanah Abang. Namun oleh PD
Pasar Jaya yang membangun dan mengelola pasar itu, untuk
menempati salah satu kios itu kini ditentukan keharusan mencicil
Rp 90 ribu sebulan selama 2 tahun. "Berat, oom", kata seorang
pedagang daging yang nongkrong di kaki lima di luar kompleks
pasar. Walhasil, sebagian besar kios di blok A, B dan C kini
dihuni pedagang pribumi.
Bukittinggi
Pasar Senen yang sudah direhabilitir dengan biaya Rp 1,5 milyar
juga belum terisi seluruhnya. Lantai dua di bawah tempat parkir
mobil masih banyak yang kosong. "Hasilnya payah", kata seorang
pedagang. Dia heran mengapa lantai itu tidak laku, padahal
menurut logikanya lantai itulah yang pertama diinjak oleh tamu
yang bermobil. Sebenarnya itu tidak perlu diherankan, sebab
tingkat 1 dan 2 sudah terlanjur terisi oleh pedagang-pedagang
yang lebih kuat umuLmnya non pribumi dan asal Minang -- dengan
koleksi barang-barang yang jauh lebih luas.
Lagi pula, seperti yang segera kelihatan di hampir semua pasar
bertingkat yang baru dibangun, pengunjung agak malas naik
tangga ke tingkat III dan IV. Belakangan ini di Pasar Senen
lantai III dan IV ditawarkan khusus pada pedagang pribumi,
dengan tarif khusus pula: Rp 45 ribu sebulan. Tapi toh kurang
yang berminat (atau tidak mampu? ) Blok III Pasar Senen yang
dibuka pertengahan 1974 dengan luas 42 ribu m2 dan 3216
penghuni, biayanya Rp 2,5 milyar. Dan uang untuk membangun pasar
itu pun mahal harganya, karena harus dipinjam dari bank dengan
bunga yang tinggi.
Begitulah. Selama ini kebanyakan peremajaan pasar bertingkat
dibangun dengan kredit komersiil yang mahal. Banyak kotamadya
pun ikut latah membangun pusat pertokoan modern. Misalnya Pasar
Bukittinggi dan Medan. Pasar Bukittinggi misalnya yang hanya
bertingkat dua harganya Rp 2,5 milyar, sedang sewa kiosnya Rp 1
juta setahun. Makanya banyak pedagang lama protes. Karena
pemborong terpaksa membangun dengan uang mahal -- begitulah
argumentasi selama ini -- harga sewa kios pun ikut melambung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini