Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pasar, Yes ! Pusat Pertokoan, No !

Pemerintah membantu pembangunan pasar di ibu kota kabupaten, kotamadya dan jakarta, berupa kredit bank tanpa bunga, yang bertujuan untuk membantu pedagang kecil yang lemah ekonominya. (nas)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sela berita pemberantasan penyelundupan, tiba-tiba perhatian diajak berpaling ke pasar. Bukan karena naiknya harga beras atau 8 bahan pokok lainnya. Tapi kali ini karena pemerintah mau menurunkan dana untuk pembangunan pasar-pasar baru. Pekan lalu Menteri Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro mengumumkan penyediaan dana Inpres Pasar sebanyak Rp 20 milyar. Dengan dana itu pemerintah akan membantu pembangunan pasar di ibukota kabupaten. kotamadya-kotamadya dan Jakarta. Dana Inpres Pasar itu berwujud kredit bank. Ini dijelaskan kemudian oleh Wakil Ketua Bappenas I JB. Sumarlin untuk membedakannya dengan subsidi Rp 5 milyar yang tercantum dalam APBN 76/77. Subsidi Rp 5 milyar itu diberikan kepada pemda-pemda yang menerima Inpres Pasar, agar mereka tidak perlu membayar bunga kredit itu kepada BRI. Masa pengembaliannya 10 tahun dengan masa tenggang (grace period) 2 tahun. Tujuan Inpres Pasar itu membantu pedagang kecil yang lemah ekonominya. Makanya Menteri Widjojo memberikan petunjuk agar pembangunan pasar Inpres itu sederhana konstruksinya dan murah. Supaya sewa kios atau karcisnya pun murah. Widjojo juga mengingatkan supaya tidak dibangun pusat pertokoan alias shopping centres seperti yang tampak di kota-kota besar. Dan untuk mencegah jual-beli hak menempati pasar seperti sering terjadi, penyewaan kembali ruang pasar kepada pedagang yang lebih kuat akan dilarang. Ali Sadikin Pengumuman itu segera mengundang sambutan Gubernur DKI. Ali Sadikin mengusulkan supaya 50 dari dana Inpres Pasar itu diperuntukkan bagi Jakarta. Alasannya: DKI lah yang sejak lama memperjuangkan keluarnya Inpres itu. Namun menurut mentri Sumarlin pembagian jatah Inpres Pasar itu masih perlu diteliti oleh staf berbagai instansi. "Kalau ditanya mana yang kebutuhannya paling mendesak. Semua daerah tentunya akan mencalonkan diri. Bukan cuma Jakarta" katanya pada pers di Istana Merdeka. "Yang penting sekarang adalah menentukan ukuran-ukuran mana yang perlu dipakai dalam soal mendesak itu". Tapi debat belum berhenti di situ. Ketika menyerahkan 10 super helicak di Bapindo Sabtu lalu, Bang Ali membantah tuduhan bahwa dia serakah, sebab 90% penduuk Jakarta adalah pendatang. "Pada hakekatnya saya ingin memberi hidup bagi orang daerah. Saya berjuang bukan hanya untuk orang Betawi asli semata-mata, tapi juga untuk orang daerah yang terlanjur hidup senang di Jakarta. Saya juga memperjuangkan pedagang lemah", katanya menanggapi para teknokrat. Bagaimana cara perjuangannya, diperincinya lebih lanjut. Katanya Jakarta yang berpenduduk 5 juta jiwa membutuhkan 150 hektar pasar. Pasar yang ada sekarang baru 80 hektar. 60 hektar dibangun selama 10 tahun belakangan ini, dan 20 hektar selama Orde Lama. Untuk membangun 70 hektar pasar lagi, DKI setiap tahun butuh Rp 10 milyar. Makanya gubernur Ali Sadikin berkeras bahwa "wajar 50 Inpres Pasar untuk Jakarta". Kendati belum ada kata sepakat di tingkat atas, kebutuhan akan ruang pasar untuk menampung pedagang-pedagang "pribumi" di Jakarta memang sudah lama terasa. Malah tiap tahun makin mendesak akibat tersisihnya wajah-wajah lama dari pasar-pasar yang dirombak. Sebab di pusat pertokoan (shopping centre) baru dan bertingkat majemuk yang didirikan di atas puing-puing pasar lama, muncul banyak pendatang baru -- kebanyakan "non pribumi" -- yang sanggup membayar sewa pasar dengan tarif tinggi. Contoh paling akhir adalah Pasar Tanah Abang yang dulu dikenal sebagai bursa tekstil utama di Jakarta, dan dijuluki benteng terakhir pedagang pribumi setelah pembangunan Pasar Senen, Pasar Glodok, Pasar Blok M dan lain-lainnya. Di sana sejak pertengahan tahun lalu sudah berdiri bangunan baru bertingkat 4, terbagi dalam 4 blok, dan seluruhnya berisi 4000 kios. Tiga blok khusus disediakan untuk penghuni lama Pasar Tanah Abang. Namun oleh PD Pasar Jaya yang membangun dan mengelola pasar itu, untuk menempati salah satu kios itu kini ditentukan keharusan mencicil Rp 90 ribu sebulan selama 2 tahun. "Berat, oom", kata seorang pedagang daging yang nongkrong di kaki lima di luar kompleks pasar. Walhasil, sebagian besar kios di blok A, B dan C kini dihuni pedagang pribumi. Bukittinggi Pasar Senen yang sudah direhabilitir dengan biaya Rp 1,5 milyar juga belum terisi seluruhnya. Lantai dua di bawah tempat parkir mobil masih banyak yang kosong. "Hasilnya payah", kata seorang pedagang. Dia heran mengapa lantai itu tidak laku, padahal menurut logikanya lantai itulah yang pertama diinjak oleh tamu yang bermobil. Sebenarnya itu tidak perlu diherankan, sebab tingkat 1 dan 2 sudah terlanjur terisi oleh pedagang-pedagang yang lebih kuat umuLmnya non pribumi dan asal Minang -- dengan koleksi barang-barang yang jauh lebih luas. Lagi pula, seperti yang segera kelihatan di hampir semua pasar bertingkat yang baru dibangun, pengunjung agak malas naik tangga ke tingkat III dan IV. Belakangan ini di Pasar Senen lantai III dan IV ditawarkan khusus pada pedagang pribumi, dengan tarif khusus pula: Rp 45 ribu sebulan. Tapi toh kurang yang berminat (atau tidak mampu? ) Blok III Pasar Senen yang dibuka pertengahan 1974 dengan luas 42 ribu m2 dan 3216 penghuni, biayanya Rp 2,5 milyar. Dan uang untuk membangun pasar itu pun mahal harganya, karena harus dipinjam dari bank dengan bunga yang tinggi. Begitulah. Selama ini kebanyakan peremajaan pasar bertingkat dibangun dengan kredit komersiil yang mahal. Banyak kotamadya pun ikut latah membangun pusat pertokoan modern. Misalnya Pasar Bukittinggi dan Medan. Pasar Bukittinggi misalnya yang hanya bertingkat dua harganya Rp 2,5 milyar, sedang sewa kiosnya Rp 1 juta setahun. Makanya banyak pedagang lama protes. Karena pemborong terpaksa membangun dengan uang mahal -- begitulah argumentasi selama ini -- harga sewa kios pun ikut melambung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus