KOTAMAKSUM bukan semata-mata daerah slum yang suram. Kampung
tertua di tengah Kodya Medan itu juga terkenal sebagai sarang
bandit.
Tapi itu saja rupanya belum cukup. Sebab karena ulah tiga
pembajak Garuda DC-9 Woyla baru-baru ini, secara tak langsung
telah menobatkan Kotamaksum sebagai kampung pembajak. Tiga dari
lima pembajak Woyla memang berasal dari Kotamaksum, yaitu
Zulfikar, Wemdy dan Abu Sofyan. Juga Imran, yang gencar dituding
sebagai otak pembajakan, melewatkan masa remajanya di sana.
Sementara itu dalam arsip polis dan Laksusda tercatat banyak
nama penjahat yang bermukim, sekaligus beroperasi di Kotamaksum,
antara lain Usman Botak dan Buyek. Menjelang akhir tahun 1980,
Laksusda Sum-Ut menggasak mereka dan sejak itu angka-angka
kriminalitas turun secara menyolok.
Sarang penodongan di Jalan Sutrisno misalnya, kini sudah tidak
begitu angker lagi. Penduduk pun sudah berani pulang ke rumah
sekitar tengah malam. "Kalau pun ada penodongan satu dua di
sini, itu bukan dilakukan anak-anak Kotamaksum, tapi
bandit-bandit dari luar," ujar Bambang Irsyad SH, Direktur
Perguruan Widyasana yang tinggal di Jalan Rahmatsyah di bilangan
Kotamaksum. "Kalau dulu, sehabis magrib lewat di sini, saya
ngeri," ia menambahkan.
Pendatang
Tapi sejak peristiwa pembajakan pesawat Garuda baru-baru ini,
Kotamaksum masih belum lepas dari intaian petugas-petugas
keamanan. Sebab diduga, masih ada penjahat yang bersembunyi di
kawasan ini.
Jika dibandingkan wilayah lain, apalagi Medan Baru, Kotamaksum
tak ubahnya seperti bagian bopeng dari seraut wajah yang mulus.
Dalam masa duapuluh tahun terakhir, sementara wilayah Medan yang
lain bersolek, Kotamaksum di Kecamatan Medan Kota itu,
sebaliknya menjadi daerah slum, bobrok dan rawan. Barulah pada
Januari 1980, Kotamaksum ditetapkan sebagai proyek percontohan
dari Program Perbaikan Kampung yang biayanya sebagian besar
disediakan oleh Bank Dunia.
Untuk survei dan perencanaan proyek, Pemerintah Pusat telah
menyetujui dana sebesar US$ 1.260.00 ditambah Rp 400 juta dari
dana daerah -- dari biaya keseluruhan yang berjumlah Rp 15
milyar.
Dari luas 131 hektar, hampir 90% dikategorikan sebagai daerah
slum. Di sini rumah-rumah penduduk berdiri sangat tak teratur.
Kawasan Kotamaksum seluas 131 hektar itu, terbagi atas
Kotamaksum I (39 hektar), Koumaksum II (61 hektar) dan
Kotamaksum III (31 hektar).
Karena ada perbaikan kampung Kotamaksum II daerah asal Zulfikar
dan Abu Sofyan yang dulu merupakan tempat pelarian dan sarang
penjahat, sekarang tampak berwajah lumayan. Ini menurut
penilaian lurahnya sendiri, Abdul Rahman Harahap, 51 tahun, yang
berkantor di Jalan Cemara.
Di kampung ini terdapat 3959 rumah dengan perincian 1600 rumah
darurat 1029 rumah setengah tembok, 1020 rumah kayu, dan 310
rumah tembok. "Penduduk di kelurahan saya umumnya miskin," ujar
Harahap kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO. "Walau
perbaikannya baru tingkat selokan dan jalan setapak, kampung ini
mulai teratur. Hanya kalau disiram hujan agak lebat, banjir tak
dapat dielakkan lagi. Parit besar sebagai tempat pelimpahan air
masih sering tumpat."
Hal yang. sama ditemukan pula di Kotamaksum 1. Menyrut
pengamatan Bambang Irsyad SH, "parit besar di situ sudah setahun
tak dibersihkan lumpur di dalamnya sudah setinggi satu meter."
Kotamaksum I, daerah asal Wemdy dan lmran itu, dihuni 2000
keluarga, terdiri dari mayoritas Minang. Tapi menurut lurahnya,
Syamsuddin, 61 tahun, di wilayahnya "sedikit tokoh politik".
Sebaliknya, kegiatan pengajian berjalan lancar di sini. Keamanan
juga sudah pulih, terutama sesudah Laksusda membabat para
penjahat.
Seorang pejabat Pemda Kodya Medan mengeluh, bahwa penduduk
Kotamaksum I, II, dinilai sulit diatur. "Apalagi sebelum adanya
proyek KIP, kepala desa hampir tidak berkutik dan tidak dapat
berbuat apa-apa." kata pejabat tadi. Dan ketika perbaikan
kampung dilaksanakan, ada pemborong yang mengeluh kepada
walikota, karena bahan bangunan seperti semen, pasir, batubata,
selalu hilang. Kalau petugas keamanan protes, mereka diancam
pemuda-pemuda berandalan di sana.
Hanya Kotamaksum III boleh dibilang lumayan, bahkan sulit untuk
digolongkan sebagai slum. Daerahnya tampak lebih bersih, dengan
penduduk yang berpenghasilan menengah ke atas. Rumah-rumah juga
tidak terlalu padat. Sejak sebelum kemerdekaan, kawasan ini
dikuasai keluarga Sultan Deli, tapi sekarang di situ nampak
berdiri apotek, rumah sakit, pertokoan, stasiun bis, bahkan
hotel pun ada. Sampah-sampah pun tak banyak terlihat di sini.
Pemuda berandalan, pemuda yang menganggur, morfinis, atau bandit
kampung, merupakan gejala kehidupan kota, yang tidak mungkin
teratasi semata-mata dengan proyek perbaikan kampung. Benar
bahwa akhir-akhir ini angka kejahatan menurun sampai 80%, dan
"bandit-bandit sudah dilumpuhkan oleh Pak Sanif, Pangdam Bukit
Barisan," seperti dituturkan Haji Ruslan Samad bendahara LKMD
Kotamaksum III. Tapi itu semua belum tentu merupakan jaminan,
bahwa Kotamaksum berhenti memproduksi "anak-anak berandal", di
masa mendatang. Lebih-lebih bila tidak disediakan sarana untuk
menyalurkan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini