HARI Paskah 17 April lalu rupanya hari bencana bagi Desa Rerer.
Ketika sebagian besar penduduk desa sedang menghadiri kebaktian
di sebuah gereja yang ada di sana, di bagian lain desa itu tujuh
buah rumah tiba-tiba lenyap dari permukaan bumi. Dan paling
sedikit 25 orang terkubur hidup-hidup.
Dalam sekejap penduduk desa di Kecamatan Kombi, Minahasa
(Sulawesi Utara) itu pun bubar dari gereja. Tapi yang mereka
lihat di tempat kejadian tak lebih dari sebuah tebing yang
sebagian tanahnya telah mengelupas lalu menimbun ke-7 rumah yang
ada di bawahnya. Bahkan sebuah di antara rumah tadi langsung
terjun ke dasar sungai yang mengalir di kaki bukit. Sungai itu
sedang banjir.
Bukit itu, Goulang namanya, dipenuhi pohon cengkih. Karena hujan
teramat deras yang turun sejak pagi hari, tanahnya longsor dan
langsung menimbun ke-7 rumah yang berdiri di kakinya Tak seorang
pun penghuni rumah-rumah tadi sempat menyelamatkan diri. Dari 25
orang terkubur, kemudian dua orang di antaranya dapat
diselamatkan dalam keadaan hidup. Keduanya ternyata berhasil
keluar dari timbunan tanah, tapi nyaris dihanyutkan sungai yang
banjir.
Hutan Lindung
Selain terhalang oleh hujan deras, usaha penggalian terhambat
karena luas areal timbunan tanah tak kurang dari 50 x 60 meter.
Sehingga baru keesokannya berbagai peralatan dikerahkan untuk
mencari korban. Sampai hari ke-4, hanya ditemukan 11 mayat. Tapi
yang masih tetap terkubur diperkirakan lebih dari 12 orang
--seperti catatan resmi. Sebab beberapa saat sebelum peristiwa
itu terjadi, seorang penduduk melihat sekitar delapan orang
numpang berteduh di kolong salah satu rumah yang kemudian
longsor itu. Mereka diperkirakan pendatang dari Gorontalo
sebagai buruh kebun atau pembantu rumah tangga.
Desa Rerer terkenal makmur, karena hampir semua penduduknya
memiliki kebun cengkih yang tersebar di sekitar desa itu.
Berpenduduk 2.000 jiwa lebih (547 KK), setiap musim, desa ini
menghasilkan sekitar 1.000 ton cengkih. Karena itu tak heran di
desa yang dikelilingi beberapa bukit ini terdapat 97 buah mobil
pribadi, 270 buah sepeda motor dan 231 pesawat televisi,
sebagian berwarna.
Tapi desa ini ternyata miskin hutan. Beberapa tahun lalu,
bukit-bukit yang mengitari Rerer masih berhutan lebat. Tapi
rupanya penduduk masih merasa tanaman cengkih mereka yang
berjumlah tak kurang dari 300.000 batang dan telah berbuah itu,
masih kurang. Untuk memperluasnya, beramai-ramailah mereka
membabati hutan di bukit-bukit tadi. "Padahal semua itu hutan
lindung," tutur seorang pejabat dari Ketertiban Umum kantor
Gubernur Sul-Ut, Drs Boy Londa. Dan lebih celaka lagi, di
lereng bukit-bukit itu penduduk juga mendirikan rumah.
Bahkan Gubernur G.H. Mantik pun ketika beberapa bulan yang lalu
singgah di Rerer pernah termenung melihat bukit-bukit gundul itu
sambil menegur hukum-tua (kepala desa). "Bukit-bukit gundul itu
dapat menyebabkan bahaya longsor," kata Mantik. Hukum-tua Desa
Rerer, Andrie Sumampouw, mengakui hal itu. Namun kepada Mantik
juga ia mengeluh, "karena saya tak mampu mencegah rakyat
merombak hutan itu. Saya sudah berusaha mencegah mereka. "
Yang pasti ucapan Mantik akhirnya terbukti juga. Tapi yang belum
pasti tentulah ucapan beberapa orang penduduk Rerer yang
menyebut-nyebut nama hukum-tua mereka sebagai orang yang
merestui perombakan hutan lindung itu. Dan untuk itu harus
dibayar dengan sekian banyak korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini