TANPA harus berdesak-desakan dan bergantung di tangga, warga
Jakarta sekarang mulai dapat mengenyam bis kota dengan nyaman.
Bahkan dengan tidak terlalu sering berkipas-kipas, mereka yang
memakai dasi pun akan merasa santai berada di atas angkutan kota
yang baru ini.
Itulah bis Patas -- cepat dan terbatas - yang mulai meluncur ke
jalan raya Jakarta Sabtu lalu setelah tertunda-tunda hampir
sebulan dari rencana semula. Sesuai dengan namanya, bis PPD ini
hanya akan mengangkut penumpang sejumlah tempat duduk yang ada,
yaitu 50 buah.
Sepuluh buah bis Patas yang telah beroperasi, tak banyak berbeda
dengan bis-bis kota umumnya. Kecuali: sekali naik Rp 150 per
penumpang dan hanya untuk trayek Kebayoran Baru - Kota puang
pergi. "Bis ini terutama untuk menampung masyarakat golongan
menengah dari sudut penghasilan dan untuk yang rasional dari
sudut pendidikan," kata Dirut PPD, R. Soekresno Hardjopranoto.
Berangkat dari samping bioskop New Garden Hall Kebayoran Baru
dan berhenti di depan BNI '46 Kota, pada hari-hari permulaan bis
Patas masih sepi penumpang. Bahkan tempat duduk yang terisi
belum mencapai sepertiga. Namun itu tak berarti di kemudian hari
kendaraan ini tak akan menarik bagi para penumpang.
Sebab Dirjen Perhubungan Darat dan Gubernur DKI, sebagai
pemrakarsa bis Patas, jauh sebelumnya telah membuat berbagai
persiapan. Misalnya, bis ini diperkenankan melalui jalur cepat
dan tidak berhenti di satu halte pun kecuali di depan Bank Exim
dan di muka BNI '46 (Jakarta Kota) untuk kembali lagi ke
Kebayoran Baru.
Suasana di dalam bis Patas memang diakui nyaman dan aman oleh
beberapa penumpang. Heri, 22 tahun, pedagang kelontong di
Melawai, Kebayoran Baru, misalnya. "Naik bis Patas aman dan
pasti dapat tempat duduk," katanya. Seminggu sekali ia harus
berbelanja di Pasar Pagi, Jakarta Kota, kini ia enggan naik bis
kota lainnya, "karena harus berdesak-desak dan takut copet."
Pendapat serupa juga diungkapkan Nyonya Sukarno, petugas rontgen
di Lembaga Kesehatan Candranaya yang berkantor di Jalan Gajah
Mada. "Tapi saya akan lebih senang kalau bis ini berhenti di
Jalan Gajah Mada," kata nyonya itu "apalagi karena penumpang
banyak turun di Glodok untuk berbelanja."
10 Menit
Seperti halnya beberapa penumpangyang lain, Ny. Sukarno pun
berpendapat, sebaiknya bis Patas berhenti di beberapa halte, di
depan Sarinah dan Duta Merlin, misalnya. "Begitu lebih baik dari
pada bis dibiarkan kosong seperti sekarang. Kalau kosong seperti
ini bis justru menjadi tidak efisien," katanya.
Drs. Sukirman, 37 tahun, yang sedang menjalani job-training di
BNI '46 Kota, sependapat dengan Ny. Sukarno tentang halte itu.
"Asalkan tidak untuk menunggu penumpang," tambahnya. Dia tidak
menyembunyikan rasa senangnya, karena bis Patas memungkinkan
tiap penumpang "menghemat waktu, menghemat uang, dapat tempat
duduk dan baju tidak kotor."
Waktu menunggu di pangkalan dibatasi 10 menit, lewat dari itu
bis sudah harus jalan. Akan hal berhenti di depan Sarinah atau
Duta Merlin, Soekresno agaknya masih mempertimbangkan. "Baik
juga dipikirkan terminal antara, tapi hanya untuk menurunkan
penumpang saja," ujarnya hati-hati. Mengapa? "Jika untuk
menaikkan penumpang juga, sulit mengontrolnya -- dan nanti apa
bedanya dengan bis biasa?" Sebab menurut Dirut PPD itu,
kelebihan Patas justru karena hanya menaikkan dan menurunkan
penumpang di terminal, bukan di halte, sehingga suasana tertib
aman bisa diciptakan. Dia khawatir, kalau-kalau penjaja koran
dan penganan ikut naik sehingga kenikmatan penumpang bisa
terganggu.
Tapi Soekresno mendukung usul beberapa penumpang agar trayek
Patas diperluas, jadi tidak terbatas hanya melayani trayek
Kebayoran Baru - Kota seperti sekarang. "PN PPD sudah
memikirkannya," ujar Soekresno "terutama bagaimana
menghubungkan daerah pemukiman dengan tempat perkantoran.
Misalnya Cililitan - Kota lewat Salemba. Atau Cililitan - Tg.
Priok." Yang pasti tambah Soekresno, bis Patas punya prospek
baik.
Keluhan Sopir
Prospek baik ini agaknya tidak sampai dirasakan oleh Suwito
(nama samaran), seorang pengemudi bis kota Patas. "Kalau saya
boleh memilih," katanya "lebih baik saya jadi sopir bis kota
biasa." Karena, tambah Suwito, status pengemudi Patas telah
menyebabkan ia kehilangan penghasilan tambahan. Mengapa? "Untuk
trayek biasa, ada target yang harus dicapai yaitu 450 karcis
sehari. Kalau ada kelebihan target, semuanya menjadi milik awak
bis," tuturnya pula.
Dari kelebihan ini sopir rata-rata tiap hari memperoleh Rp 3.000
dan kondektur Rp 2.000. Dengan demikian ia bisa membawa pulang
Rp 75.000 di samping gaji yang Rp 50.000 dan uang TKO (tunjangan
kerja operasional) Rp 25.000 sebulan. Dan ini masih ditambah
beras 50 kg beras, jatah suami istri dan 3 anak. Ahmad (juga
nama samaran), seorang kondektur Patas, juga mengatakan bahwa
penghasilannya berkurang. "Tapi mau apa, ini kan perintah,"
katanya pasrah.
Dirut PPD Soekresno membantah keterangan dua karyawannya tentang
kelebihan target. "Tidak ada sistem target di PPD," ucapnya
mantap. Lalu apa maksudnya 450 karcis itu? "Yang ada
perhitungan. Pada rute tertentu menurut perhitungan, mesti habis
450 karcis" Soekresno menjelaskan. "Tapi kan tidak sama untuk
semua trayek, karena ada trayek yang banyak penumpang, ada yang
kurang banyak. Jadi tidak benar ada sistem target."
Bagaimana dengan keluhan sopir dan kondektur? "Menurut saya
penghasilan mereka cukup, jika dibanding pendidikan mereka yang
umumnya hanya lulusan SD," jawab Soekresno singkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini