Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Dari denmark sampai cipulir

Wanita-wanita indonesia yang pernah menjadi dubes (ny. supeni, laili roesad), dan pelantikan sukadiyah pringgohardjoso menjadi dubes ri untuk denmark. di mana ia baru satu-satunya sejak orba. (tk)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH wartawan menantikan kedatangannya malam itu di ruang umunya yang penuh dengan buket anggrek ucapan selamat. Dan Sukadiyah Pringgohardjoso, 55 tahun, baru muncul 45 menit dari waktu yang dijanjikan. "Maaf, terlambat," kata Duta Besar RI untuk Denmark itu sambil merapikan selendang ungu yang berjulai di kebayanya. Ia dilantik Presiden, 12 April lalu, bersama 7 orang duta besar lain yang semuanya pria. Menarik perhatian, karena dia adalah duta besar wanita pertama pada era Orde Baru. Kebetulan, pelantikannya pun berdekatan dengan 21 April, Hari Kartini. Lulus Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada (1958), memilih karir diplomat, Kadiyah masuk Departemen Luar Negeri. Mula-mula ia ditempatkan di KBRI London sebagai Sekretaris II. Kemudian di Kopenhagen sebagai Minister Councellor. Diangkat sebaai duu besar di tempat yang sama Kadiyah tidak merasa bersaing dengan pria. Hanya karena kemampuan sajalah. Tapi, "ibu sekarang kok mulai berpikir-pikir, ya. Apa nantinya akan ada persaingan pria dan wanita? " Diplomat karir ini banyak mencurahkan perhatiannya pada urusan dinas. Organisasi wanita tidak banyak menarik perhatiannya. Apakah nanti hadir, kalau istri-istri di kedutaannya merayakan Hari Kartini? Biasanya, yang hadir adalah istri duta besar atau istri kepala perwakilan -- bukan duta besar sendiri. "Saya jadi kikuk, kalau harus hadir," katanya. Kulitnya yang coklat, matanya yang besar, tubuhnya yang sedang-sedang lemah gemulai. Dia tidak mengenakan kain-kebaya sebagai baju kerjanya. Cukup rok biasa dari bahan corak Indonesia. "Saya senang memakai segala model, " ujarnya. Dengan catatan "Identitas nasional tidak perlu ditunjukkan lewat pakaian," tambahnya lagi. Remote Control Urusan wanita ada pula dikerjakannya. "Saya gemar sekali menjahit," dia mengaku, "tetapi saya tidak punya waktu banyak sekarang." Bagaimana dengan memasak? "Tidak bisa," jawabnya, "jelek ya, wanita kok 'ndak bisa masak. Mungkin karena waktu kecil itu selalu memaksa saya belajar bahasa, sehingga tidak ada kesempatan belajar masak." Ibunya, Siti Widyawati, adalah anggota Wanita Oetomo, perkumpulan sosial di Yogya dan Jawa Tengah, yang giat melancarkan pendidikan kewanitaan. Ayahnya pegawai Kasultanan Yogyakarta yang masih memanjangkan dan menggelung rambutnya. Pergi jauh, tidak membuatnya gentar -- Kopenhagen jauh di ujung utara dunia. "Hanya setan dan gelap yang saya takuti," ujarnya. Tak ada yang menemani? Ia tidak marah kalau ada yang bertanya mengapa tetap single. "Tenaga seseorang bisa dicurahkan ke karir atau ke rumah tangga," katanya. "Dan lihat, saya pilih yang mana." Tetapi bagaimana kalau seorang ibu juga duta besar? Bekas Duta Besar Keliling, Supeni, mengingat masa lalu: "Begitu meninggalkan anak-anak, saya percayakan seluruhnya kepada kekuasaan Tuhan." Pada setiap perjalanan keliling, "saya tidak lepas berdoa, jadi semacam remote control antara naluri keibuan dan anak-anak saya." Supeni, atau teman-temannya biasa memanggilnya Peni, Duta Besar Keliling sejak tahun 1960 sampai 1966. Wanita ini cukup terkenal sejak 1945. Waktu itu sebagai Ketua Cabang Kowani di Madiun. Ketika pindah ke Yogya, dia mewujudkan Konperensi Antar Wanita Indonesia. Dan pada Pemilu pertama (1955), lewat PNI, Peni jadi anggota parlemen dan duduk sebagai Ketua Komisi Luar Negeri serta Ketua Inter Parliamentary Union untuk Indonesia. Resolusinya yang terkenal dulu menyokong nasionalisasi terusan Suez. Pernah, pers Barat memuat berita tentang Indonesia (1957). Waktu itu, Supeni memimpin delegasi Indonesia ke Inter-Parliamentary Union di London. Ketika dia naik mimbar, ada tokoh RMS yang berteriak: "Jangan percaya omongannya! Indonesia mau menjajah Maluku." Nyonya Supeni ternyata meladeninya. "Saya berpendapat teriakan itu harus dijawab pula di depan khalayak yang sama," katanya. Dan jawabannva mendapat tepuk-tangan yang hebat. "Mungkin karena yang pidato seorang wanita," kata Supeni. Yang jelas, meski waktu itu masih di-blackout oleh pers Barat, berita tentang Indonesia mendapat tempat di halaman satu koran Inggris. Itu berkat Supeni. Dan karena kelincahannya di dunia internasional itulah, Supeni kemudian diangkat jadi Duta Besar Keliling oleh Presiden Sukarno. "Saya sebenarnya tidak senang dengan jabatan itu," kata Supeni sekarang. Sebab, katanya, "saya tidak bisa mengamati perkembangan di dalam negeri." Usia Supeni kini 64 tahun. Nenek dari 7 orang cucu ini tampak lebih muda dari usia yang sebenarnya. Belum banyak kerut-kerut mengganggu wajahnya. Dan apa kerja Supeni sekarang? "Alhamdulillah, kini saya tinggal momong cucu," ujarnya. Namun, kata ibu dari 5 orang anak ini, "secara resmi, tugas sebagai orangtua telah selesai." Rumah Mungil Di sebuah rumah mungil dengan pekarangan luas penuh pohon buah-buahan dan bunga, tinggallah Laili Roesad SH, bekas Dubes RI untuk Belgia dan Austria. Rumah berukuran 7 x 10 m di atas tanah 600 m2 dan dikelilingi pagar tembok tinggi itu terletak di Ulujami, Cipulir, Jakarta Selatan. Selain Laili Roesad, penghuni rumah itu adalah seorang gadis kemenakan eks diplomat itu dan seorang wanita setengah baya sebagai pembantu rumah tangga. "Tapi kalau Sabtu dan Minggu, di sini ramai, banyak kemenakan yang datang," kata Laili, 65 tahun. Sebelum memasuki Departemen Luar Negeri pada 1947, wanita kelahiran Padang itu sebelumnya dikenal sebagai pegawai Pengadilan Tinggi Padang. Sebab, katanya, waktu itu sebagai wanita ia tak diizinkan memegang jabatan hakim maupun jaksa. Tapi 1946/1947 ia sempat memasuki dinas ketentaraan RI di bidang kehakiman. Karirnya sebagai diplomat dimulai ketika ia diangkat sebagai councellor di PBB (1953). Kemudian berturut-turut jabatannya adalah Dubes RI untuk Belgia (1959/1964), Kepala Direktorat Hukum Deplu, Kepala Direktorat Eropa Barat Deplu dan pada 1967-1970 sebagai Dubes RI untuk Austria. Ia mengundurkan diri dari Deplu dengan status pensiun sejak Oktober 1972. "Dan saya bergembira sekali ketika mendengar Sukadiah diangkat juga jadi Dubes untuk Denmark," kata Laili yang sampai sekarang tetap berstatus nona "itu membuktikan wanita kita tetap tidak ketinggalan dengan kaum pria." Laili Roesad yang lulus Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta pada 1941, kini sehari-hari menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan mendengarkn musik klasik. Sesekali ia tampak mengelilingi halaman rumahnya sambil memeriksa pohon-pohon bunga yang ditanamnya. Kepada TEMPO ia tak mau mengungkapkan keadaan dirinya lebih banyak. Beberapa orang tetangganya mengaku jarang sekali melihat Laili keluar dari pintu pekarangan rumahnya yang selalu terkunci rapat itu. Bahkan para tetangganya tak tahu persis siapa penghuni rumah mungil di balik tembok tinggi itu. Wanita dengan rambut penuh uban itu agaknya ingin menikmati masa tuanya dengan tenang, dengan kesendiriannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus