SEJUMLAH wartawan menantikan kedatangannya malam itu di ruang
umunya yang penuh dengan buket anggrek ucapan selamat. Dan
Sukadiyah Pringgohardjoso, 55 tahun, baru muncul 45 menit dari
waktu yang dijanjikan. "Maaf, terlambat," kata Duta Besar RI
untuk Denmark itu sambil merapikan selendang ungu yang berjulai
di kebayanya.
Ia dilantik Presiden, 12 April lalu, bersama 7 orang duta besar
lain yang semuanya pria. Menarik perhatian, karena dia adalah
duta besar wanita pertama pada era Orde Baru. Kebetulan,
pelantikannya pun berdekatan dengan 21 April, Hari Kartini.
Lulus Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada (1958),
memilih karir diplomat, Kadiyah masuk Departemen Luar Negeri.
Mula-mula ia ditempatkan di KBRI London sebagai Sekretaris II.
Kemudian di Kopenhagen sebagai Minister Councellor.
Diangkat sebaai duu besar di tempat yang sama Kadiyah tidak
merasa bersaing dengan pria. Hanya karena kemampuan sajalah.
Tapi, "ibu sekarang kok mulai berpikir-pikir, ya. Apa nantinya
akan ada persaingan pria dan wanita? "
Diplomat karir ini banyak mencurahkan perhatiannya pada urusan
dinas. Organisasi wanita tidak banyak menarik perhatiannya.
Apakah nanti hadir, kalau istri-istri di kedutaannya merayakan
Hari Kartini? Biasanya, yang hadir adalah istri duta besar atau
istri kepala perwakilan -- bukan duta besar sendiri. "Saya jadi
kikuk, kalau harus hadir," katanya.
Kulitnya yang coklat, matanya yang besar, tubuhnya yang
sedang-sedang lemah gemulai. Dia tidak mengenakan kain-kebaya
sebagai baju kerjanya. Cukup rok biasa dari bahan corak
Indonesia. "Saya senang memakai segala model, " ujarnya. Dengan
catatan "Identitas nasional tidak perlu ditunjukkan lewat
pakaian," tambahnya lagi.
Remote Control
Urusan wanita ada pula dikerjakannya. "Saya gemar sekali
menjahit," dia mengaku, "tetapi saya tidak punya waktu banyak
sekarang." Bagaimana dengan memasak? "Tidak bisa," jawabnya,
"jelek ya, wanita kok 'ndak bisa masak. Mungkin karena waktu
kecil itu selalu memaksa saya belajar bahasa, sehingga tidak ada
kesempatan belajar masak."
Ibunya, Siti Widyawati, adalah anggota Wanita Oetomo,
perkumpulan sosial di Yogya dan Jawa Tengah, yang giat
melancarkan pendidikan kewanitaan. Ayahnya pegawai Kasultanan
Yogyakarta yang masih memanjangkan dan menggelung rambutnya.
Pergi jauh, tidak membuatnya gentar -- Kopenhagen jauh di ujung
utara dunia. "Hanya setan dan gelap yang saya takuti," ujarnya.
Tak ada yang menemani? Ia tidak marah kalau ada yang bertanya
mengapa tetap single. "Tenaga seseorang bisa dicurahkan ke karir
atau ke rumah tangga," katanya. "Dan lihat, saya pilih yang
mana."
Tetapi bagaimana kalau seorang ibu juga duta besar? Bekas Duta
Besar Keliling, Supeni, mengingat masa lalu: "Begitu
meninggalkan anak-anak, saya percayakan seluruhnya kepada
kekuasaan Tuhan." Pada setiap perjalanan keliling, "saya tidak
lepas berdoa, jadi semacam remote control antara naluri keibuan
dan anak-anak saya."
Supeni, atau teman-temannya biasa memanggilnya Peni, Duta Besar
Keliling sejak tahun 1960 sampai 1966. Wanita ini cukup terkenal
sejak 1945. Waktu itu sebagai Ketua Cabang Kowani di Madiun.
Ketika pindah ke Yogya, dia mewujudkan Konperensi Antar Wanita
Indonesia.
Dan pada Pemilu pertama (1955), lewat PNI, Peni jadi anggota
parlemen dan duduk sebagai Ketua Komisi Luar Negeri serta Ketua
Inter Parliamentary Union untuk Indonesia. Resolusinya yang
terkenal dulu menyokong nasionalisasi terusan Suez.
Pernah, pers Barat memuat berita tentang Indonesia (1957). Waktu
itu, Supeni memimpin delegasi Indonesia ke Inter-Parliamentary
Union di London. Ketika dia naik mimbar, ada tokoh RMS yang
berteriak: "Jangan percaya omongannya! Indonesia mau menjajah
Maluku."
Nyonya Supeni ternyata meladeninya. "Saya berpendapat teriakan
itu harus dijawab pula di depan khalayak yang sama," katanya.
Dan jawabannva mendapat tepuk-tangan yang hebat. "Mungkin karena
yang pidato seorang wanita," kata Supeni. Yang jelas, meski
waktu itu masih di-blackout oleh pers Barat, berita tentang
Indonesia mendapat tempat di halaman satu koran Inggris. Itu
berkat Supeni.
Dan karena kelincahannya di dunia internasional itulah, Supeni
kemudian diangkat jadi Duta Besar Keliling oleh Presiden
Sukarno. "Saya sebenarnya tidak senang dengan jabatan itu," kata
Supeni sekarang. Sebab, katanya, "saya tidak bisa mengamati
perkembangan di dalam negeri."
Usia Supeni kini 64 tahun. Nenek dari 7 orang cucu ini tampak
lebih muda dari usia yang sebenarnya. Belum banyak kerut-kerut
mengganggu wajahnya. Dan apa kerja Supeni sekarang?
"Alhamdulillah, kini saya tinggal momong cucu," ujarnya. Namun,
kata ibu dari 5 orang anak ini, "secara resmi, tugas sebagai
orangtua telah selesai."
Rumah Mungil
Di sebuah rumah mungil dengan pekarangan luas penuh pohon
buah-buahan dan bunga, tinggallah Laili Roesad SH, bekas Dubes
RI untuk Belgia dan Austria. Rumah berukuran 7 x 10 m di atas
tanah 600 m2 dan dikelilingi pagar tembok tinggi itu terletak di
Ulujami, Cipulir, Jakarta Selatan.
Selain Laili Roesad, penghuni rumah itu adalah seorang gadis
kemenakan eks diplomat itu dan seorang wanita setengah baya
sebagai pembantu rumah tangga. "Tapi kalau Sabtu dan Minggu, di
sini ramai, banyak kemenakan yang datang," kata Laili, 65 tahun.
Sebelum memasuki Departemen Luar Negeri pada 1947, wanita
kelahiran Padang itu sebelumnya dikenal sebagai pegawai
Pengadilan Tinggi Padang. Sebab, katanya, waktu itu sebagai
wanita ia tak diizinkan memegang jabatan hakim maupun jaksa.
Tapi 1946/1947 ia sempat memasuki dinas ketentaraan RI di bidang
kehakiman.
Karirnya sebagai diplomat dimulai ketika ia diangkat sebagai
councellor di PBB (1953). Kemudian berturut-turut jabatannya
adalah Dubes RI untuk Belgia (1959/1964), Kepala Direktorat
Hukum Deplu, Kepala Direktorat Eropa Barat Deplu dan pada
1967-1970 sebagai Dubes RI untuk Austria. Ia mengundurkan diri
dari Deplu dengan status pensiun sejak Oktober 1972. "Dan saya
bergembira sekali ketika mendengar Sukadiah diangkat juga jadi
Dubes untuk Denmark," kata Laili yang sampai sekarang tetap
berstatus nona "itu membuktikan wanita kita tetap tidak
ketinggalan dengan kaum pria."
Laili Roesad yang lulus Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta pada
1941, kini sehari-hari menghabiskan waktunya dengan membaca
buku dan mendengarkn musik klasik. Sesekali ia tampak
mengelilingi halaman rumahnya sambil memeriksa pohon-pohon
bunga yang ditanamnya. Kepada TEMPO ia tak mau mengungkapkan
keadaan dirinya lebih banyak.
Beberapa orang tetangganya mengaku jarang sekali melihat Laili
keluar dari pintu pekarangan rumahnya yang selalu terkunci rapat
itu. Bahkan para tetangganya tak tahu persis siapa penghuni
rumah mungil di balik tembok tinggi itu. Wanita dengan rambut
penuh uban itu agaknya ingin menikmati masa tuanya dengan
tenang, dengan kesendiriannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini