TAK banyak orang yang bisa melupakannya. Film Kramer vs. Kramer
yang mengagumkan jutaan penonton itu -- juga di Indonesia
hari-hari ini -- memang berhasil karena banyak hal. Tapi di atas
semuanya, inilah film dengan seni peran yang tinggi. Dan jika
penghargaan harus diberikan, orang cenderung untuk tidak
mengabaikan Justin Henry, si bocah yang waktu itu, 1979, berumur
delapan setengah. Justin bermain sebagai anak Dustin Hoffman
(pemegang peran Ted Kramer, sang ayah) dan Meryl Streep
(pemegang peran Joanna Kramer, sang ibu).
Justin Henry tak terlupakan memang: ia, sebagai Billy, si anak
yang diperebutkan ayah dan ibunya yang bercerai, bermain dengan
efektif.
Dia bukan bintang profesional. Dia murid sekolah dasar di Rye,
sebuah daerah perumahan yang nyaman agak di luar New York City.
Pada hari itu, sejumlah orang yang dikirim produser Kramer vs.
Kramer datang untuk mencari tokoh Billy yang tepat. Malamnya
kepala sekolah datang ke rumah orang tua Justin. Anak itu
diminta ikut ke Manhattan, untuk diwawancara, bersama 200 anak
yang lain.
"Saya waktu itu tak begitu bersemangat sebenarnya," kata Justin
kemudian. "Tapi saya datang juga."
Di Manhattan, sutradara Robert Benton menanyai anak-anak itu
dengan sejumlah pertanyaan, satu demi satu. Misalnya, "Kamu
punya adik perempuan? Suka nonton film?" Sementara itu para
pembantunya mengamati.
40 anak terpilih setelah seleksi pertama. Aktor Dustin Hoffman
-- seorang perfeksionis, ia menginginkan hasil kerjanya
sempurna -- ikut dilibatkan dalam memilih bintang cilik yang
akan bermain sebagai anaknya. Hoffman memang menuntut ikut. Dan
ia serta dalam membikin rekaman video ke-40 anak yang jadi
"finalis". Ia ikut menilai. Ikut memilih.
Dan Justin terpilih dari semua anak yang lain, karena -- salah
satu sebabnya -- anak ini dalam hidup sehari-hari punya hubungan
yang sangat dekat dengan ayahnya, Cliff Henry, seorang manajer
perusahaan swasta. Alasan lain: Justin belum punya pengalaman
dalam film apa pun. Kata sutradara Robert Benton, "Kami tidak
kepingin mendapat seorang anak yang sudah punya kebiasaan
buruk."
Kebiasaan buruk memang biasa terjadi pada anak-anak yang sering
muncul dalam film atau pun televisi: akting mereka sudah dicetak
oleh para "pembimbing" mereka, dalam menafsirkan setiap kalimat,
setiap tokoh. Cara Benton menyutradarai Justin justru
membebaskannya. Dan sang sutradara punya penolong yang tak
mungkin diabaikan: Dustin Hoffman sendiri.
Aktor film jempolan ini, bukan orang yang mudah diajak
kerjasama. Tapi laki-laki berumur 44 tahun ini sangat senang
pada anak-anak. "Dia salah seorang bapak yang alamiah," kata
sutradara Benton. "Anak-anak hanyut kepadanya secara naluriah
dan langsung. Karena itu saya atur begini: tiap kali saya harus
menyutradarai Justin, saya serahkan pengarahannya kepada Dustin.
Lalu ia akan meneruskannya kepada anak itu. Justin percaya penuh
kepada Dustin, yang memang teman sejati. Dan Dustin seorang
pelatih akting yang luar biasa. Dia tahu tombol mana yang persis
harus dipencet."
JUSTIN tak disodori teks. Dustin hanya membilanginya: ini
adegan yang bagaimana -- lalu dibiarkannya anak itu mengucapkan
apa saja yang diinginkannya. Sudut pengambilan kamera dijaga
tetap bersahaja, agar si ayah dan anak, yang melakukan -- peran
secara improvisasi -- tanpa direncanakan dulu -- bisa bergerak
ke mana mereka mau.
Bila suatu adegan menghendaki agar Justin menangis, bocah ini
akan menyingkir sebentar -- lantas membayangkan hal-hal yang
sedih, misalnya kecelakaan pada anjing kesayangannya, Chipper.
Suatu kali ia meniru Hoffman: pergi ke sebuah kamar gelap
sejenak, untuk bersiap menunjukkan air mata. Benton menunggu.
Beberapa puluh orang lain, petugas produksi dan para aktor, ikut
menunggu Baru kemudian Justin muncul. "Saya tercengang betapa
banyak yang telah ia pelajari tanpa diajar lebih dulu," kata
Benton.
Hubungannya dengan Dustin Hofman memang intim selama dalam
pembuatan film itu. "Dia lucu," komentarnya tentang si aktor
besar. Justin sendiri sama sekali belum pernah mendengar nama
Dustin Hoffman sampai beberapa bulan menjelang pembikinan
Kramer vs. Kramer. Tapi segera ia -- yang oleh para awak
produksi dipanggil J.H., sedang Dustin di panggil D.H. --
seperti sahabat lama. Dalam satu adegan, diceritakan Billy
jatuh. Sang ayah dengan panik mengangkutnya berlari ke rumah
sakit terdekat. Serampungnya adegan ini Dustin Hoffman
terhempas kepayahan. Ia membaringkan diri di rumput. J.H.
memandang sebentar D.H. Dengan tanpa bicara, dilepaskannya
jaketnya, lalu ditaruhnya sebagai bantal di bawah kepala teman
sekerjanya yang berumur 34 tahun lebih tua. "Saya tak akan
pernah melupakan itu," kata Hoffman.
Justin sendiri, dalam perjalanan hidupnya nanti, mungkin akan
melupakan banyak hal. Termasuk masa pendeknya sebagai bintang
cilik. "Aku tahu semua hal tentang perlengkapan pakaian dan
bagaimana rasanya jadi bintang film. Tapi apa yang mentereng tak
sebaik seperti nampaknya," kata anak SD ini. "Bisa membosankan,
lho. Aku kira aku nggak akan ingin main sepanjang waktu. Tak
cukup waktu untuk ketemu tman-teman."
Lalu Justin Henry, alias J.H., alias anak Kramer, kembali ke
sekolahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini