ORANG Pasuruan menamakannya ampibi. Mungkin nama ini -- tak ada
hubungannya dengan kendaraan yang bisa jalan di air maupun darat
-- menyesatkan. Tapi itulah tebu unggul, suatu harapan baru
dalam usaha Indonesia meningkatkan produksi gula.
Di BP3G (Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula),
Pasuruan, para ahli tanaman tebu rupanya mulai berhasil menjawab
tantangan pemerintah. Tapi BP3G, sesuai dengan sifat
pekerjaannya, belum mau gembar-gembor atas hasil penemuannya
terakhir. Apalagi masyarakat sedang skeptis melihat harga gula
yang semakin naik.
Belakangan ini pemerintah terpaksa membeli semua produksi gula
dalam negeri -- 1,4 juta ton setahun -- untuk mengendalikan
harganya di pasaran. Kebutuhan dalam negeri akan gula jauh lebih
besar ketimbang produksinya, hingga tahun lalu, misalnya,
Indonesia harus mengimpor 400.000 ton.
Sudah ada rencana memperluas kapasitas semua 55 pabrik gula di
Jawa. Akibatnya ialah areal persawahan mungkin akan berkurang,
jika kebutuhan pabrik itu harus dipenuhi. Di Jawa Tengah saja,
menurut Dinas Pertanian provinsi itu pekan lalu, areal
persawahan tahun ini akan berkurang 15.000 ha untuk keperluan
penanaman tebu.
Ps 41
Sementara itu ada pula rencana mendorong pembangunan pabrik gula
di luar Jawa. Persoalan ialah mencari bibit tebu yang cocok.
Kebun tebu di luar Jawa, sebagian besar tanah tegalan, banyak
memakai jenis F (Formosa) 154 atau M (Mauritius) 442, dengan
produktivitas rendah -- hanya 1/3 dari bibit yang sama bila
ditanam di Jawa. Tanah tegalan di Jawa kini banyak menggunakan
bibit Ps (Pasuruan) 41.
Bibit Ps 41 sebetulnya kurang tahan kering, walaupun tebunya
dikenal paling komersial lantaran tinggi kadar gulanya (12%) dan
bisa menghasilkan 865 kwintal tebu/ha. Ps 41, yang kini ditanami
di sekitar 1/3 areal kebun tebu yang ada, merupakan suatu
penemuan BP3G yang paling berhasil. Tapi ia dianggap tak cocok
untuk penanaman di luar Jawa.
"Kita harus mencari bibit tebu yang cocok untuk tanah tadah
hujan/tegalan di luar Jawa yang umumnya punya kadar kemasaman
yang tinggi," ujar Ir. Soedjono Darmodjo, Kepala Bagian Genetika
dan Pemuliaan di Pasuruan itu. Tak gampang, tentunya.
Dengan program gerak cepatnya, BP3G menyilang beberapa jenis
tebu. Tujuan utamanya ialah memperoleh bibit yang penanamannya
tidak begitu perlu air, sekaligus tahan lama. Pilihannya jatuh
pada tebu jenis Co (Coimbatore, India) 975 sebagai induknya dan
Ps 41 sebagai pejantan.
Co 975 dipilih karena batangnya yang keras -- diduga lebih tahan
hama dan rumpunnya yang banyak. Jenis ini konon di India
sendiri sudah tidak banyak dikenal, tapi tetap dalam koleksi
balai penelitian di sana.
Setelah dilakukan percobaan tiga tahap selama tiga tahun,
ditemui ampibi yang unggul itu. BP3G memberikan jenis baru ini
kode sementara: BO 653. "Sebentar lagi ia akan diresmikan jadi
Ps 56," kata Ir. Mirzawan Puri Dwi Nurtjahjo, staf Bagian
Genetika dan Pemuliaan BP3G.
Percobaannya dilakukan di 10 tempat, di dan luar Jawa. Di tanah
tadah hujan dengan tiada bandar irigasi, atau pun di sawah.
Karena itu pula orang Pasuruan menamakannya tebu ampibi.
Warna tebu baru ini ungu kemerah-merahan. Bisa diperoleh 90.350
batang per ha dari jenis baru itu, dibanding dengan Ps 41 yang
hanya 70.000-an batang. Ia tidak berbunga, sesuatu yang dianggap
baik. Hal yang paling mengejutkan para ahli di Pasuruan ialah
jenis ampibi bisa menghasilkan 1605 kwintal tebu/ha, dibanding
dengan Ps 41 yang hanya 865 kwintal/ha.
"Kami sendiri jadi heran," kata Soedjono lagi. "India dikawinkan
dengan Pasuruan kok bisa menghasilkan mutu begitu bagus. Semoga
bisa jadi kejutan. Dalam percobaan, jenis tebu ampibi per hektar
bisa menghasilkan gula 22,4/ ton. Padahal jenis lain dengan
hasil 10 ton/ha saja sudah bagus."
Jangka waktu tanam sampai panennya lebih singkat. Jenis
Mauritius berusia 18 bulan, misalnya, sedangkan ampibi 12 - 14
bulan.
Ampibi lebih cocok lagi buat daerah luar Jawa karena
penanamannya bisa saja dengan sistem mekanis. Bandingkan,
bibit tebu ditanam di sawah selama ini dengan sistem Reynoso
yang harus memakai banyak parit pematus yang hanya bisa
dikerjakan oleh tenaga manusia.
Mengingat areal penanaman tebu yang direncanakan di luar Jawa
demikian luas, penggunaan ampibi mungkin terbanyak di antara
semua jenis bibit tebu yang ada. Dengan ini, kata Soedjono,
"swasembada gula yang diharapkan Indonesia tampaknya semakin
dekat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini