Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Harga eceran air bersih pedagang keliling di Muara Angke sekitar Rp 5.000 per jeriken.
PAM Jaya dan Pertamina memasok air bersih ke tandon-tandon besar di sejumlah titik di pesisir utara.
Warga Rawa Badak dan Kampung Marlina Elektro hanya mendapat pasokan air yang minim dari pipa air bersih.
JAKARTA — Warga pesisir utara Jakarta masih kesulitan mendapatkan akses air bersih. Janji pemerintah meningkatkan cakupan instalasi pipa ke wilayah tersebut masih belum ditepati. Mayoritas warga masih harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah untuk membeli air bersih dari pedagang keliling. Warga lainnya mencoba menekan pengeluaran dengan mengebor dan menyedot air tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bisa digali hingga 120 meter untuk ketemu air bersih. Kami tahu air tanah bisa menurunkan permukaan tanah. Tapi apa kami diberi pilihan oleh pemerintah?” kata warga Kampung Nelayan Blok Eceng, Muara Angke, Muslimin, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, satu keluarga yang berisi lima orang bisa menghabiskan uang Rp 500 ribu hingga nyaris Rp 1 juta untuk membeli air bersih. Saat ini, pendorong gerobak mematok harga air bersih Rp 5.000 per jeriken. Sedangkan masyarakat membutuhkan air tersebut untuk memasak, mandi, dan keperluan sanitasi lainnya.
Akhirnya, kata dia, beberapa keluarga yang memiliki dana lebih menyewa penggali sumur untuk menimba air tanah. Kombinasi antara penggunaan air bersih dari tanah dan pedagang keliling bisa menekan pengeluaran rumah tangga Rp 200-300 ribu per bulan.
Padahal Ketua Koperasi Nelayan Blok Eceng tersebut mengklaim PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sudah pernah mengukur dan melakukan survei lokasi untuk pembangunan instalasi pipa air bersih di kawasan tersebut pada pertengahan 2019. Namun proses tersebut juga mandek tanpa kepastian hingga sudah berjalan tiga tahun. Informasi terakhir, Palyja mengklaim tak bisa melakukan pembangunan karena belum ada kesepakatan dengan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) PAM Jaya.
Alih-alih membangun perpipaan, PAM Jaya justru mengirim tiga tandon air dengan kapasitas total 15 ton ke Kampung Blok Eceng pada pertengahan 2020. Setiap pekan, 2-3 mobil tangki badan usaha milik daerah (BUMD) tersebut mengantar air bersih untuk mengisi ulang tandon air tersebut. PAM Jaya menyerahkan pengelolaan air ini kepada beberapa warga yang kemudian menjual dengan harga lebih murah, yaitu Rp 2.000 per jeriken.
Pekerja melakukan pemasangan pipa air bersih di Jalan M.T. Haryono, Jakarta, 12 November 2021. TEMPO/Ridho Fadilla
Namun, menurut Muslimin, minat masyarakat untuk mendapatkan air bersih dari fasilitas PAM Jaya juga terus menurun. Pasalnya, masyarakat harus datang membawa jeriken yang ingin diisi. Setelah itu, pembeli yang mayoritas adalah ibu rumah tangga harus mengangkat dan membawa jeriken penuh tersebut puluhan hingga ratusan meter menuju kediaman masing-masing. “Jalannya pun berupa tanah urukan, bergelombang dan susah dilewati. Ditambah dengan jeriken penuh yang berat,” kata dia.
Anggota Solidaritas Perempuan DKI Jakarta, Suripah, mengatakan warga binaan di RT 06 RW 22 Muara Angke pun masih mengeluh kesulitan mendapatkan air bersih. Berdasarkan informasi, saat ini pemerintah mendapat bantuan dari PT Pertamina untuk penyediaan tangki air bersih bagi warga. Bantuan yang sudah berjalan dua tahun ini cukup memberikan keringanan bagi warga untuk pemenuhan air bersih. “Tergantung jumlah anggota keluarganya, kira-kira tiap keluarga itu dikenakan biaya Rp 100-300 ribu per bulan,” ujar Suripah.
Meski demikian, menurut dia, bantuan badan usaha milik negara (BUMN) ini hanya akan berlangsung dalam hitungan waktu. Selain itu, bantuan tersebut tak menjawab persoalan utama warga di utara Jakarta soal hak mendapatkan air bersih. Hingga saat ini, kata dia, tak ada tanda-tanda PAM Jaya ataupun dua mitra swastanya, Aetra dan Palyja, berencana membangun perpipaan.
Permukiman padat dan miskin di Ibu Kota di lokasi lain pun masih kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan sejumlah wilayah di Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara, tak bisa menikmati air bersih meski sudah memiliki instalasi perpipaan. Selama berbulan-bulan, warga setempat mendapatkan air yang keluar dari pipa dalam jumlah kecil, berwarna, dan berbau. Warga Kampung Marlina Elektro, Muara Baru, pun sudah 10 bulan mendapatkan aliran air bersih yang sangat minim.
“Ini aneh, kenapa air bersih di perumahan dan wilayah yang elite sepertinya tak pernah ada laporan bermasalah. Sejak awal memang ada pengecualian bagi masyarakat miskin,” ujar Suripah.
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air, kata Suripah, sebenarnya menyambut positif rencana pengambilalihan pengelolaan air bersih dari Aetra dan Palyja kepada PAM Jaya. Menurut dia, dua perusahaan tersebut hanya mampu menambah cakupan air bersih sekitar 20 persen atau dari 44 persen menjadi 64 persen selama hampir 25 tahun masa kontrak kerja sama, Juni 1997 hingga Februari 2023. Padahal DKI mematok target perpipaan air bersih bisa mencapai 82 persen hingga akhir masa perjanjian.
Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS), Syaiful Jihad, menilai dua perusahaan swasta tersebut juga hanya mengeluarkan dana investasi pengelolaan air bersih sebesar Rp 4 triliun. Padahal PAM Jaya saja tercatat butuh dana Rp 30 triliun untuk menuntaskan cakupan 100 persen air bersih di Ibu Kota. “Mereka (swasta) minim investasi, tapi selama masa kerja sama banyak meraup keuntungan,” kata Syaiful.
FRANSISCO ROSARIANS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo