Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dicari: Pahlawan Sejati!

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

N. Riantiarno Budayawan

SIAPA berhasil memperkecil jumlah utang negara, mengatasi bahaya teror, meringkus dan menghukum pelaku pengeboman Bali, dialah pahlawan. Siapa mampu membuat rakyat tidak miskin lagi, tak menderita lagi, tidak bingung lagi, dialah pahlawan. Begitu banyak yang harus ditanggulangi, begitu sedikit tindakan. Para pelaku politik sudah bersiap mencuri start Pemilu 2004. Tak ada waktu bagi rakyat.

Siapa sanggup menangkap hantu-hantu yang menggoda para pejabat melakukan korupsi, dialah pahlawan. Masalah TKI, Nunukan, banjir—yang bakal datang sebentar lagi—preman di setiap perempatan jalan, adalah persoalan berkuasa yang kena perkara, wakil rakyat memanipulasi harta kekayaannya, dan aparat yang memukuli demonstran.

Daftar masih sangat panjang. Persoalan hak asasi manusia, rupiah yang semakin anjlok, amplop anggota MPR/DPR, standar upah buruh, pengangguran, narkoba yang mengancam masa depan anak-anak muda, astaga, terlalu banyak untuk disebut. Yang mutakhir, dan mulai terasa, pengucilan masyarakat dunia terhadap Indonesia.

Berminat jadi pahlawan? Pejuang gagah berani yang rela berkorban demi membela kebenaran? Masih ada lowongan.

Tapi lawan bukan penjajah lagi. Dan bambu runcing tak banyak gunanya. Teriak "Merdeka atau Mati!" bukan lagi mantra yang ampuh. Surabaya dan Palagan Ambarawa tinggal kenangan. Hanya dongeng ajaib bagi cucu-cucu yang tak punya PlayStation-1, PlayStation-2, atau komputer.

Calon pahlawan masa kini juga harus mampu kasih mulut, telinga, dan hati kepada para penguasa. Itu tugas tambahannya. Tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi (aman tenteram damai bahagia, subur makmur) dari dulu masih tetap impian. Harga bahan kebutuhan pokok terus bergerak naik. Daya beli merosot. PHK. Ancaman bom di mana-mana. Beberapa sudah meledak, makan banyak korban jiwa. Teror menjadi penguasa yang ditakuti.

Panggung kita penuh darah. Kecurigaan merebak. Paranoia. Dalam tempo amat pendek kita berubah menjadi egoistis, serakah, tidak jujur, dan kanibal. Tapi siapa tahu sejak dulu memang sudah begitu, hanya tak ada kesempatan untuk mempertontonkannya.

Kita tengah melakukan tindakan bunuh diri. Berkali-kali. Pemerintah menyalahkan pemerintah. Para pejabat negara lebih sering bersikap sebagai pengamat. Jika terjadi musibah, tak ada yang berani bertanggung jawab. Gemar menyiarkan pernyataan keliru dan tanpa ralat. Suka berwisata atas biaya negara. Jika terbentur masalah gawat, hanya diam, tersenyum. Atau menangis.

Tak ada pemimpin yang bisa didengar. Tak ada kekompakan dalam kebijakan. Tak ada lagi wibawa.

Pahlawanlah dia jika sanggup mengatasi segala permasalahan itu. Dia yang kita butuhkan bukan mereka yang hanya bisa berjanji. Main politik "akan" dan "nanti" dan "sedang dalam proses". Cepat tepat, tegas adil benar. Sekarang! Itulah tindakan kepahlawanan. Jika mampu. Tapi, kalau tak mampu, mengapa masih terus memimpin?

Kita bagaikan sedang "Menunggu Godot". Apa akan datang? Kapan? Kalau tak ada perubahan, tak akan terwujud impian itu. Bahkan bayangan atau baunya pun tidak. Kita berteriak-teriak sampai hilang suara. Memohon dengan segala cara. Marah hingga lelah. Dan akhirnya masa bodoh lantaran putus asa. Mana pemimpin yang hatinya tergerak?

Bokong lengket di kursi gedung wakil rakyat. Menyadari nasib kekuasaan mungkin hanya sampai 2004, perlombaan menumpuk harta pun dipertontonkan tanpa malu-malu. Mendadak kaya setelah dipercaya rakyat, bukan rahasia lagi. Hitamlah hati. Dan anyir.

Hakim-hakim kukuh mencengkeram palu. Memelototi perkara yang dibikin jadi seperti karet. Sehingga KUHP berubah jadi nyanyian jalanan yang dipelesetkan, "Keluar Uang Habis Perkara". Para jaksa saling melindungi, karena kena satu kena semua. Polisi diajari oleh intelijen asing. Pariwisata dapat ujian berat. Ada pejabat, yang mungkin karena bingung, bikin aturan aneh mengenai libur nasional.

Dan kita dicap dunia sebagai sarang teroris.

Rakyat menonton itu semua. Prihatin, bingung, geram, mengelus dada. Mengeluh setiap saat, "Semoga diberkahi kesabaran." Mengapa keliru memilih pemimpin? Tapi siapa sesungguhnya yang memilih pemimpin? Bukan rakyat. Antara mereka sendiri. Atas dasar politik penjatahan. Bukan karena kemampuan.

Dicari: pahlawan sejati! Masih ada lowongan. Tapi jangan terlalu lama. Argometer terus berdetak. Matahari sudah di titik tengah.

Jangan lupa, dicari Pahlawan sejati! Ya, sejati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus