Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah pihak menyesalkan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengintervensi kegiatan nongkrong anak-anak muda di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, atau yang lebih dikenal dengan Citayam Fashion Week. Melalui Dinas Sosial, DKI disebut bakal mengedukasi pria-pria yang tampil dengan pakaian perempuan. Pemerintah provinsi beralasan hendak menyelamatkan anak-anak muda Citayam Fashion Week dari risiko paham lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Rainy Hutabarat, menyebutkan rencana itu bertentangan dengan konstitusi dan instrumen hak asasi manusia internasional. Sejatinya, dia melanjutkan, pria yang berpakaian ala perempuan di Citayam Fashion Week (CFW) tak lebih dari ekspresi berbusana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada dasarnya, kata Rainy, pakaian tak memiliki gender. Gender merupakan konstruksi sosial tentang kelayakan perilaku, bertindak, berbicara, termasuk berbusana, bagi laki-laki dan perempuan. "Padahal busana merupakan ruang ekspresi diri seseorang yang dijamin UUD 1945 dan instrumen HAM internasional," ujarnya kepada Tempo pada Rabu lalu.
Undang-Undang Dasar 1945 mengatur beragam hal tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pada Pasal 28 E ayat 3, ada hak atas rasa aman, termasuk bebas dari perundungan.
Selanjutnya, Pasal 28 G ayat 1 mengatur soal hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya yang dijamin Konstitusi dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sosial Politik dan Kovenan Internasional tentang Sosial-Budaya.
Citayam Fashion Week di Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, 17 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Anggota Staf Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Adelita Ayas, menyebutkan penertiban gaya berpakaian ala Pemprov DKI tersebut jauh di luar nalar. Menurut dia, pemerintah provinsi seakan-akan lupa bahwa Citayam Fashion Week sekadar wadah ekspresi anak muda. Walhasil, wajar para peserta CFW berkreasi untuk tampil unik. "Akal-akalan untuk menangkap (mengedukasi pria berpakaian perempuan) justru akan membatasi hak yang mereka miliki," kata dia.
Adelita menduga ada kecenderungan sikap homofobia di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jika ada pria yang bergaya kemayu, itu dianggap sebagai sebuah kesalahan yang harus dibenahi. "Padahal, balik lagi, itu hanya bentuk ekspresi mereka yang tidak bisa langsung dikaitkan dengan orientasi tertentu yang dianggap salah oleh konstruksi sosial kita," kata Adelita.
Kepala Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, juga menyinggung pemikiran pejabat Pemprov DKI Jakarta. "Kalau cowok seperti cewek, apakah dilegitimasi tidak normal?" ujar dia dalam sebuah diskusi virtual, kemarin.
Luluk menyebutkan Pemprov DKI seakan-akan tutup mata akan fakta bahwa dunia fashion punya konteks yang lebih cair dibanding sekadar pakem konsep pria dan perempuan. Dia menambahkan, tak adil jika Pemprov DKI serta-merta mencurigai adanya perkembangan LGBT dari pria-pria berpenampilan seperti perempuan di Citayam Fashion Week. Menurut Luluk, DKI harus bisa membuktikan tudingan tersebut.
Walhasil, Luluk berharap Pemprov DKI tak perlu turun tangan mengamankan dan mengedukasi para pria berpenampilan perempuan di Citayam Fashion Week. "Lagi pula, dibawa Dinas Sosial itu mau diapakan orang-orangnya?" kata Luluk.
Luluk menambahkan, tak ada hal yang dilanggar oleh peserta Citayam Fashion Week yang memakai busana unik, termasuk pria yang berpakaian seperti perempuan. Sebab, ajang tersebut memang dijadikan anak muda sebagai lingkungan mereka untuk mengekspresikan fashion. Terlebih selama ini dunia fashion seperti dilegitimasi sebagai lingkungan kelas atas yang selama ini tak terjangkau oleh anak-anak Citayam Fashion Week. "Seharusnya pemerintah mewadahi, mendampingi, bahkan mempromosikan kegiatan mereka. Bukan malah memberikan pengertian buruk," kata Luluk.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. TEMPO/Imam Sukamto
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut rencana Pemprov DKI menindak pria yang berbusana perempuan di Citayam Fashion Week sebagai bentuk diskriminasi. Celakanya, pernyataan Pemprov DKI itu justru bisa memunculkan ruang persekusi terhadap kelompok minoritas, termasuk para pria yang dianggap berpenampilan seperti perempuan.
Usman menegaskan bahwa mengungkapkan identitas dan ekspresi gender bukan merupakan tindakan kriminal. Kegiatan tersebut tak jauh dari sebuah upaya mengekspresikan diri yang dilindungi hukum nasional dan internasional.
"Semua warga, terlepas dari gender, etnis, agama, orientasi seksual, atau status lainnya, mempunyai hak yang setara dengan warga lainnya," kata Usman dalam keterangannya, kemarin.
Usman mengatakan hak atas kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang selanjutnya dijelaskan dalam Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 ICCPR. Pasal 26 ICCPR juga menyatakan bahwa semua orang setara di mata hukum dan harus dilindungi dari segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul, ataupun status lainnya.
Usman mengingatkan bahwa pemerintah telah meratifikasi ICCPR melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang berarti Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dalam kovenan tersebut. Terlebih, Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun serta berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo