FEBRUARI 1935, ayahku, Adam Kaufman, melintas batas. Memakai perangkat ski yang tak diketahuinya cara menggunakannya, Ayah tergelincir dan jatuh terguling - menggelinding dari daerah kelahirannya, Polandia, ke kawasan yang waktu itu masuk wilayah Cekoslovakia. Lima puluh tahun kemudian, setelah berusia 82, Ayah datang mengunjungiku di Warsawa. Demikian Michael T. Kaufman, kepala biro The New York Times di Warsawa, yang ia tuangkan dalam The New York Times Magazine 25 Agustus lalu. Mari kita ikuti kisahnya. Dalam masa setengah abad kepergian Ayah, perbatasan Polandia telah bergeser 200 mil ke arah barat. Kewarganegaraan ayahku, Yahudi Polandia, telah dicoret atau dianggap tidak ada. Kaum komunis yang dulu diburu dan dipenjarakan sebagai pembangkang, kini, setelah berkuasa, mendapat giliran memburu dan memenjarakan pihak lain. Kendati batas-batas negara telah banyak bergeser dan wajah negeri telah dipermak perang dan dikikis waktu, Ayah masih menemukan banyak unsur romantik lama dan tradisional dalam budaya modern Polandia yang dikunjunginya. Cerita ini baiknya dimulai dari diriku sendiri - dari kisah intim sebuah keluarga yang menumpang kereta api bawah tanah pada 1946. Saat itu, Ayah, Ibu, dan aku sendiri, sedang dalam perjalanan pulang dari mengunjungi teman-teman di Brooklyn. Pada petang itu Ayah terbiasa memakai sebuah kata kerja Polandia - "duduk" - dengan cara yang belum pernah kudengar sebelumnya. "Ya, aku duduk dengannya," katanya, atau "Kami duduk di sana selama dua tahun." Dalam perjalanan pulang dengan kereta, dengan malu-malu kutanya Ayah, apakah yang dimaksudkannya bahwa ia telah mendekam dua tahun di penjara. Dengan lembut ia menjawab, ya. Pada waktu lain, di tempat lain, ia telah menjadi komunis revolusioner, yang menghabiskan usia selama sembilan setengah tahun di penjara, yaitu antara umur 22 dan 33. Aku baru berusia delapan tahun waktu itu, dan dengan teratur menguping acara radio "Pembekuk Penjahat". Aku yakin bahwa orang jahat tempatnya di penjara, dan orang baik yang menempatkan mereka di sana. Dan inilah orang terbaik yang kukenal, yang menyelamatkanku dari Prancis yang diduduki musuh dan dari tungku peperangan. Ia sudah beberapa kali mendekam di balik jeruji. Pada saat itulah, kukira, aku menerima darinya warisan Polandia, yang di dalam pengertiannya yang luas termasuk kesadaran bahwa, di dunia ini, orang baiklah yang justru terjerembab ke dalam kerangkeng. Ada seorang penyair Polandia, Tomasz Jastrun, orang dekat gerakan Solidaritas yang terlarang dan juga putra penyair bagus dari masa perang perlawanan Polandia. Belum lama ini ia menulis sajak pendek berjudul Rantai. Sebuah baitnya berbunyi begini: Kakeknya menunggui Polandia Yang belum lagi ada Ayahnya menunggui Polandia Yang telah bangkit Kini ia menunggui Polandia Yang sebentar lagi tiada Bertahun-tahun setelah kejadian di kereta itu, aku baru mengetahui lebih banyak detail lebih awal riwayat kehidupan Ayah. Sekali, ketika ia berusia 70 dan aku 35 tahun, ia memberikan kepadaku naskah ketikan 100 halaman - yang mengisahkan hampir tak memihak apa-apa yang ia lakukan dan rasakan pada tahun-tahun sebelum kelahiranku, pada 1938. Ketika aku bersiap diri menyambutnya di Warsawa, di tahun 1985 ini, aku mengulang baca kisah tentang pemeriksaan, interogasi, pengkhianatan, kelaparan, usaha bunuh diri, dan perjuangan hidup mati di seberang perbatasan. Apa yang tampak sebagai romantika yang sayup-sayup dan kuno ketika aku membaca pertama kalinya di New York itu, kini - di Polandia hari ini - menjadi kenyataan yang kasat mata. Kini ayahku sering memperolok-olok sendiri masa mudanya yang naif, salah jalan, dan selama hampir lima dekade menjadi orang swasta. Ia memperbo-lehkan aku menulis kunjungannya ke Polandia dengan ogah-ogahan - dan sekali lagi ia harus menurutkan kehendak anak tunggalnya ini. * * * Dari saat-saat pertama kunjungan terakhir ayahku yang berlangsung sebulan itu, kedua kami luluh oleh kenyataan-kenyataan yang sangat ironis. Tak lama setelah ia tiba, aku harus pergi ke Gdansk untuk meliput penyidangan perkara Adam Michnik dan dua aktivis Solidaritas lainnya yang kemudian dijatuhi hukuman penjara - dituduh menganjurkan pemogokan umum 15 menit sebagai protes terhadap penaikan harga barang-barang. Sekembaliku, Ayah bertanya pasal mana yang dikenakan terhadap tertuduh. Setelah kujawab, ia berkata, "Pada masaku dulu, pasal yang dikenakan adalah Ayat 102." Ia mengutip dari ingatan, "Keanggotaan dalam organisasi terlarang yang bertujuan mengganggu orde masyarakat yang berlaku." Ia menambahkan, "Waktu itu berarti kaum komunis, sekarang kaum Solidaritas." Ada lagi persamaan yang lain. Saat terakhir ia dituduh melawan hukum adalah ketika ia diadili bersama 19 orang lain, di antaranya almarhum ayah Michnik, Osjasz Szechter. Penyidangannya dilakukan di Lvov, waktu itu kota Polandia, kini bagian Uni Soviet, pada 1929. Semua terdakwa anggota Partai Komunis Ukraina Barat, cabang otonom Partai Komunis Provinsi Polandia, dengan sebagian besar penduduknya orang Ukraina. Ayahku, waktu itu 27 tahun, menjadi sekretaris - (ketua)-nya. Ia menjadi terdakwa utama dan menerima hukuman penjara paling lama, empat tahun. Ketika berniat kembali ke Polandia, ayahku ingin sekali bertemu dengan Michnik, putra rekannya yang berusia 38 tahun, yang memakai marga ibunya. Ia sangat mengagumi esai-esai antitotaliter Michnik, dan menghargai aktivitas politik dan kemanusiaan yang oleh banyak kalangan oposisi di Polandia dianggap kampiun yang tajam pikiran dan lidahnya. Sejak ditahannya Februari silam, Michnik tidak diperbolehkan menerima tamu. Tapi beberapa hari setelah ia dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara, kekasih sejarawan Polandia itu, Barbara Szwedowska, datang berkunjung - dan berbincang-bincang dengan ayahku beberapa jam lamanya. Ayah menyambut kedatangannya penuh respek. Ia bercerita tentang istrinya, ibuku, yang meninggal di New York lima tahun lalu, yang menunggunya seluruhnya selama delapan tahun. Pengorbanan Ibu, katanya, yang didasari cinta yang dalam, lebih berbunga ketimbang cintanya sendiri, dan itu menjadi semacam dogma. Szwedowska bertanya pada Ayah tentang kesan pertamanya. Banyak, katanya. Tapi ada satu yang paling ironis. Kata Ayah, ketika ia menjadi penggerak komunis muda pada 1920-an, penduduk Polandia mempunyai banyak cara dalam mengutarakan kesengsaraan dan ketidakpuasannya. "Banyak sasaran tudingan," katanya. "Seorang buruh dapat mempersalahkan pemilik pabrik. Kelompok anti-Yahudi dapat menuding Yahudi kaya. Orang Yahudi berkata bahwa permasalahannya terletak pada kaum anti-Yahudi. Sedangkan petani menunjuk hidung para pedagang sebagai biang keladi ketidakberesan. Sementara itu, kami, kaum komunis, sekelompok kecil, pergi ke mana-mana untuk mengatakan: tidak, jangan menuding pribadi-pribadi, tetapi sistem-lah yang harus dipersalahkan. Sekarang, setelah 50 tahun, aku kembali. Dan apa yang kusaksikan? Seluruh bangsa tahu persis bahwa masalahnya memang terletak pada sistem - dan hanya para pemimpin yang berkata, tidak adanya kesulitan karena kesalahan pribadi-pribadi, para pemimpin yang terdahulu, para politisi yang bejat, atau, seperti pada masa kampanye anti-Semit 1968, kaum Yahudi." Puan Szwedowska tergelak. Ia lalu bercerita kepada Ayah, bagaimana ia telah merawat ayah Michnik selama satu tahun ketika sedang sekarat diganyang kanker. Saat itu putranya sedang ditahan, menanti penyidangan khianat yang tak pernah berlangsung. Katanya, Szechter telah duluan aktif menentang komunisme - bahkan aktif dalam mogok makan yang dilakukan di gereja-gereja Katolik yang pernah ia anggap sebagai benteng penyamaran. Ayah mengungkapkan kenangannya sendiri tentang ayah kekasih Szwedowska itu, Szechter, yang, katanya, pernah menjadi musuh politiknya dan menjadi faksi paling pro-Moskow dalam Partai. "Aku ingat lagu yang pernah dengan baiknya diajarkan padaku oleh Szechter," kata Ayah. "Judulnya Sebuah Surat kepada Ibu, karangan penyair Rusia bernama Sergei Yesenin. Saat itu hampir tak seorangpun bicara denganku." Terungkap kemudian, beberapa tahun setelah itu, Szechter juga mengajarkan lagu itu kepada Puan Szwedowska. Dan di ruang duduk rumahku, kini ia dan Ayah menyanyikannya bersama-sama. Ayah kemudian bercerita mengapa ia menghargai Szechter yang mengajarkan kepadanya lirik lagu itu. Itu terjadi bertepatan dengan penyidangan di Lvov. Pengadilan menghukumnya empat tahun penjara, dan kemudian ketika ia mulai menjalaninya, Partai Komunis Polandia - yang pernah menugasinya bekerja di organisasi Partai di Ukraina - menudingnya melakukan "penyimpangan patriotis". Ia juga dikecam karena mengungkapkan di depan sidang masa tugasnya sebagai sukarelawan dalam Tentara Polandia pimpinan Marsekal Josef Pilsudski yang gemilang pada pertempuran Perang Bolsyewik 1920. Ia juga diserang karena dengan bangga membawa-bawa dua nama pengarang "borjuis" Polandia. Ditimbang-timbang, pemecatannya dari Partai mungkin menyelamatkan hidupnya. Karena hal itu menjauhkannya dari kemungkinan dipanggil ke Moskow dan dihabisi ketika, beberapa tahun kemudian, Stalin melakukan pembersihan pertama - yang sekaligus membuat Partai Komunis Polandia terdorong lebih nasionalis. Bagaimanapun, dengan sisa masa hukuman yang harus dijalaninya, ayahku, veteran yang mematuhi disiplin Partai selama satu dasawarsa, beralih kecewa. Ia memimpin cabang Partai dalam penjara, tapi kini ditinggalkan teman-teman lamanya dan bekas pengikutnya, yang ramai-ramai merendahkannya melebihi paria. Ia mencoba membunuh diri, tapi dapat ditolong dokter penjara. Setelah beberapa lama dalam isolasi, ia kemudian ditempatkan di sel yang juga dihuni Szechter. "Kami secara politik bermusuhan. Tapi ia manusiawi, atau sejenisnya. Kami tidak bicara terlalu banyak tentang Partai," kata Ayah kepada Szwedowska. "Ia mengajariku lagu itu. Dan aku merasa tidak bijaksana mengatakan padanya, betapa aku telah begitu dikecewakan ketika berkunjung ke Moskow pada saat berlangsungnya Kongres Komintern 1928." Szwedowska bercerita pada ayahku tentang hari-hari dan malam-malam ketika berbincang-bincang dengan Szechter sebelum meninggalnya. Saat itu Szechter mengungkapkan, keraguannya yang pertama terhadap komunisme muncul di dalam sel di penjara Brigidka, Lvov, ketika ia bicara dengan seorang laki-laki yang pernah ke Moskow menghadiri Kongres Komintern pada 1928 - dan, menurut Szwedowska, yang dimaksudkannya tentu ayahku. Ayah orangnya keras dan tidak mudah menangis, tapi setelah mendengar cerita perempuan itu terlihat matanya berkaca-kaca. * * * Perasaan bahwa di jantung sejarah Polandia terdapat silsilah atau kisah keluarga dibuktikan kembali pada suatu petang ketika ayahku dan aku dikunjungi Janusz dan Joanna Onyszkiewicz. Janusz adalah ahli matematika di Universitas Warsawa, juga juru bicara pers Solidaritas ketika organisasi buruh bebas itu belum dilarang. Joanna, yang bersosok jangkung, adalah arsitek kelahiran Inggris, juga kebetulan cucu Marsekal Pilsudski - yang memerintah di Polandia sebelum Perang, mula-mula sebagai pemimpin terpilih dan kemudian selaku diktator militer. Cewek ini pertama kali datang ke Polandia ketika aksi-aksi Solidaritas sedang tangguh-tangguhnya. Dan ketika memutuskan menikah dan menetap di Polandia, ia ingin melepaskan kewarganegaraan Inggrisnya. Kakeknya, dewasa ini, dihormati luas - hampir-hampir menyerupai pemujaan terhadap guru suatu aliran kepercayaan. HUT ke-50 meninggalnya, awal tahun ini, diperingati di gereja-gereja seluruh negeri. Dan, walaupun Pemerintah tampaknya kurang berminat terhadap peristiwa ini, kopi lama buku-bukunya yang tidak dicetak lagi sangat dicari-cari, dan sosoknya yang berjanggut panjang dapat dilihat dalam foto-foto atau patung-patung ukuran dada yang sering dipajang di ruang duduk kebanyakan rumah orang Polandia. Dalam tahun-tahun keterpenjaraan Ayah, Pilsudski, tentu saja musuh yang dibencinya - pemimpin otoriter yang menjadikan polisi, pengadilan, dan penjara alat pembungkamnya. Pada tahun-tahun itu, ia barangkali tiap hari mengecam dan mencaci-maki Marsekal. Dan kini, dalam ironi yang justru ia nikmati, ia bersantap siang dengan cucu tokoh itu. "Anda sendiri tahu, kami menyebutnya fasis," katanya tentang Marsekal. "Tapi kami tak tahu persis apa itu fasisme. Tiada yang dapat membayangkan bagaimana sebenarnya rezim totaliter Hitler atau Stalin dan horor yang mereka ciptakan kemudian." Ia berhenti mendadak, tapi belakangan ia berkata padaku, "Aku yakin kini, Pilsudski masih lebih baik dari yang kini terjadi di Polandia." Onyszkiewicz, yang aktif di senat Universias Warsawa, mengemukakan dalam suatu santap siang: betapa kebebasan akademis sedang terancam oleh peraturan yang dipaksakan, sehingga, antara lain, dituntut semacam sumpah setia dari para pengajar. Sekali lagi Ayah teringat pengalaman lama. Ia bercerita tentang penangkapannya yang pertama - tapi setelah pembebasannya, salah seorang profesornya menyarankan agar ia kembali ke bangku kuliah. Senat Universitas hanya bertanya apakah ia pernah menerima bayaran dari suatu kekuatan asing. Dan ketika ia menjawab tidak, Ayah diterima kembali. Ayahku mempertanyakan apakah sekarang mahasiswa yang ditahan karena aktif dalam kegiatan Solidaritas, atau ikut dalam kampanye publikasi bawah tanah, diperlakukan dengan cara itu. Nyatanya, terjadi peristiwa pemecatan terhadap dosen yang terlibat kegiatan Solidaritas, dan baru-baru ini seorang dosen Sejarah Zaman Pertengahan, bernama Bronislaw Geremek, ditendang dari kedudukannya di Akademi Ilmu Pengetahuan karena pandangan politiknya dan hubungannya dengan Solidaritas. Dalam berbagai percakapan kami di Warsawa, Ayah beberapa kali mengungkapkan tindakan brutal yang terjadi di zaman mudanya. Sekali, di dalam tahanan, ia dipaksa berbaring bersama empat orang lainnya di dalam ruangan yang sempit selama 48 jam, dan hampir saja mati lemas. Ia babak belur, dan mendengar perlakuan yang sama juga dialami orang-orang lain. Ia mempunyai teman-teman yang mendekam di Bereza Kartuzka, kamp konsentrasi sebelum Perang, yang keadaannya sangat parah. Namun, dalam beberapa hal, menurut dia, masih terdapat sejumlah keringanan di sana. Untuk satu hal, tahanan politik, besar atau kecil, ditempatkan bersama. Mereka mendapat buku-buku dan membentuk kelompok studi. Suatu ketika, Ayah bercerita, ia mendapat izin memberikan pidato pada perayaan Hari Buruh 1 Mei yang diadakan di antara sesama rekan tahanan. Lebih jauh, berbeda mencolok dengan penyidangan di Gdansk sekarang - ketika suara Michnik sendiri diberangus oleh Jaksa - Ayah dan teman-temannya dapat menggunakan wisma tahanan sebagai mimbar politik. Pada salah satu sidang, ia malah dipuji Jaksa karena keahliannya berpidato. * * * Jika hal-hal menyenangkan itu tidak lagi dapat ditemukan kini, orang Polandia dapat mengemukakan kejadian-kejadian yang mencengangkan pada saat-saat pembangkangan dan penangkapan. Praktis semua karya sastra dan film menyinggung soal penjara. Cukup mengherankan bahwa kata Polandia untuk "pembangkang" tidak mengandung pengertian negatif sedikit pun. Dalam pengalaman sejarah Polandia, penahanan, pembuangan, dan pengasingan selalu mempertinggi kredibilitas dan otoritas bagi yang menjalaninya. Dan, seperti yang ditunjukkan ayahku, pemerintah Polandia sekarang Dzierzhinski, orang Polandia yang belakangan mendirikan polisi rahasia Soviet. Sel-sel lainnya pernah dihuni pria dan wanita yang turut membentuk sejarah negeri ini. Beberapa hari kemudian kami mengunjungi penjara tua lainnya yang kini menjadi museum satu di antara rumah bui yang sangat dikenal Ayah. Kami bermobil ke Lodz kota terbesar kedua Polandia. Mula-mula berhenti di rumah di Jalan Piotrkowska 17, tempat ayahku dilahirkan dan menghabiskan 10 tahun pertama usianya. Dalam liputan kenangan masa lalu yang mengharu-biru, ia menunjuk ke balkon yang - menurut cerita keluarga - menjadi tempat ia dilindungi ibunya ketika, dalam masa revolusi yang gagal pada 1905, ia keluar menyaksikan pasukan Cossack menembak dari pabrik tekstil Schultz ke arah para pekerja yang mogok yang berserakan mungkin kelompok penguasa pertama - sejak berdirinya negara itu pada 1795 - yang tidak pernah dipenjarakan atau melakukan komplotan gelap-gelapan. Ia menyingkapkan hal itu ketika kami melintasi Citadel, benteng kuno tzar di Warsawa. Di sini berada sel yang pernah dihuni oleh sosialis muda Pilsudski, yang terletak di dekat salah satu sel yang pernah pula ditempati Feliks di halaman bawah. Ia tenggelam dalam kenangan yang ditimbulkan oleh jalan-jalan masa kanaknya - jalan-jalan dan rumah-rumah yang hanya dikenali dengan baik, katanya, kalau keadaannya lebih bersih dan dihuni oleh orang-orang yang tampak lebih sehat dan berpakaian lebih bagus, tidak seperti sekarang ini. Saluran kenangan masa mudanya lenyap sudah. Kami melanjutkan berkunjung ke Museum Gerakan Revolusioner, yang menempati bagian sebuah penjara tempat ayahku dalam berbagai kesempatan menghabiskan masa-masanya yang tak terlupakan. Sebuah tulisan di pintu menyatakan, tempat itu terbuka untuk umum. Tapi seorang pengawal berseragam mengisyaratkan kepada kami agar tidak masuk. Seorang teman Polandia yang menyertai kami berkata, "Tentu, karena memakai seragam, ia pasti hendak berkata tidak boleh." Aku ingat bahwa tiga kali, ketika gedung ini masih penjara, Ayah tidak ingin masuk ke dalamnya, tetapi dipaksa. Tapi kini, setelah gedung ini menjadi museum, ia dihalang-halangi masuk. Seorang perwira muda menemui kami, dan mempersilakan masuk. Ayahku, mengetahui bahwa kami satu-satunya kelompok pengunjung, menyimpulkan bahwa tempat itu mungkin sebagian besar hanya dikunjungi rombongan murid sekolah yang sudah diatur. Dan bahwa kedatangan tiga orang yang tak lazim ini kami - telah menimbulkan keheranan staf penjaga. Kami mencoba menemukan sel hukuman tempat ayahku hampir mati lemas. Tapi sudah tiada. Sebaliknya, di sana terdapat diorama yang melukiskan masa kegiatan bawah tanah, ditandai dengan nama-nama "Pekerja", "Perjuangan", dan "Kemerdekaan". Ada surat-surat yang diselundupkan dari penjara, serupa yang pernah ditulis Ayah, dan ada foto pemogokan ilegal. Ayah semula kurang terkesan oleh apa yang ia saksikan. Tapi ketika di antara foto-foto itu ditemukannya gambar orang-orang yang ia kenal dan pernah bekerja sama, ia menunjuk wajah salah satunya - Jan Tenenbaum-Jelski - sambil terperangah. "Tentu saja di sini tidak disebutkan bahwa ia dihabisi oleh Stalin di Uni Soviet," katanya tentang orang yang pernah menjadi pembinanya dan idolanya sebagai seorang revolusioner itu. Suatu ketika, di penjara Wronki, Jelski mendekam setahun di dalam sel yang tanpa pemanasan - hanya memakai pakaian dalam dan tidak menerima jatah pakaian penjara. Belakangan ia melarikan diri dengan tangan terbelenggu - dari sebuah troli di Warsawa, saat hendak dipindahkan ke penjara yang lain. Ia lalu pergi ke Moskow, dan di sanalah Ayah menemuinya pada 1928. Tersentuh kenangannya oleh foto itu, ayahku bercerita tentang pertemuan mereka yang terakhir. "Ia mengatakan padaku, Stalin akan membunuh kita semua. Kuingat kata-kata itu, sehingga aku memilih mendekam dan mengajar di penjara-penjara Polandia ketimbang hidup seperti kerakap dalam birokrasi Soviet." Saat-saat terakhir di Lodz, setelah melihat bangunan tua leluhurku, termasuk rumah tempat lahir ibuku, Ayah masih tertambat pada kenangan tentang Jelski dan masa silamnya. "Ia sangat berani dan berwatak. Tapi kini aku menyadari bahwa kecerdasannya telah dikungkung oleh kesetiaan politik dan kepatuhannya kepada disiplin Partai." Bagaimana bisa begitu banyak orang menerima keadaan serba bebal seperti itu, ia bertanya-tanya, mengenang ke masa sebelum Perang Dunia II, ketika garis Partai menetapkan bahwa "fasisme" dan "demokrasi sosial" sama dosanya. Ayah masih tertambat pada masa lalunya. "Terlihat sekarang, betapa tak terelakkannya aku menjadi komunis waktu itu," katanya seperti merenung. "Aku miskin, dan haus akan jawaban-jawaban. Revolusi Rusia pecah ketika aku remaja, dan Polandia pun lahir. Aku ingin setengah mati masuk menjadi bagian romantis yang menggiurkan dari sejarah Polandia. Tersedia satu jalan lewat perubahan yang terjadi pada Katolikisme, tapi bagiku itu tak mungkin. Jalan lain, melalui Partai. Ini tak terelakkan. Toh tetap suatu kekeliruan moral." Ia berkata, salah satu hal yang merangsangnya pada kunjungannya u adalah keadaan paradoks. Walaupun masyarakat Polandia telah lebih homogen, barangkali setelah gerakan oposisi Solidaritas terhadap Pemerintah, keadaannya telah menjadi lebih toleran dan terbuka terhadap pengaruh-pengaruh yang berbeda, dibanding dulu. "Pada masaku dulu, benar-benar tidak banyak terjalin hubungan antara kaum pekerja, cendekiawan, Yahudi, dan Katolik." Dalam teori, katanya, "kecampurbauran seperti itu diharapkan berperan dalam aktivitas Partai, tapi secara praktis perbedaan-perbedaan yang snobistis juga terjadi di sana." * * * Kembali ke Warsawa, Ayah bertemu dengan teman-teman lamanya yang masih hidup dari masa silam kegiatan politiknya. Suatu petang di rumahku ia berbincang-bincang dengan seorang yang pernah memata-matai dan melaporkannya pada hari-hari sebelum percobaan bunuh dirinya. Setelah Ayah memotong pergelangan tangannya sendiri, orang itu juga - namanya tak penting - meminta agar Ayah menulis pengakuan kritik diri karena telah mempermalukan Partai dengan usaha bunuh diri itu. Menurut beberapa sejarawan Polandia, orang itu pernah bertugas dalam masa perang di Lvov bersama pasukan Soviet dan Partai, dan oleh sebuah laporan disebutkan ia menolak memberikan izin menetap kepada sejumlah pengungsi Polandia yang lari ke timur. Saudara ayahku, yang hilang setelah sampai di Lvov pada masa itu, mungkin termasuk di antara mereka. Kini si tua itu - dengan tangan menggigil - bertukar pengalaman lama dengan ayahku di suatu acara minum teh. Setelah ia pergi, kutanya: Ayah: bagaimana, dalam keadaan tahu persis latar belakang orang itu, ia bisa menerimanya dan berbincang-bincang dengannya, tanpa rasa benci yang terlihat? "Oh," jawabnya, "kau tahu semua kegiatan itu kini terasa jauh, dan absurd. Dan dalam masa perang, siapa yang tahu persis bagaimana harus bertindak menurut posisi masing-masing? Semua itu, kukira, dosa yang dapat dimaafkan." Tapi pertemuan berikut ini bertolak belakang sama sekali dari yang di lakukan ayahku kepada teman lamanya itu. Kali ini dengan seorang wanita yang sedang sekarat, yang pernah bertugas di Komite Sentral Partai Komunis Polandia. Pada tahun-tahun setelah Ayah didepak, sedangkan perempuan itu menjadi pejabat yang gesit dan penuh pengabdian, ia memandang ayahku sebagai pembelot yang patut dibenci. Kemudian, ketika Solidaritas bangkit lalu ditindas, wanita ini - tak kusebut namanya di sini, untuk menjauhkan keluarganya dari usikan - mengirimkan kembali kartu anggota partainya. Pengembalian itu disertai ucapan bahwa setelah sekitar 60 tahun, ia bukan lagi milik Partai yang membalikkan moncong bedil ke tubuh kaum buruh. Ia lumpuh dan menderita penyakit darah dan, seperti Ayah, pendengarannya mulai berkurang, tapi ia dianugerahi kesadaran diri dan kebenaran. Setelah perpisahan enam dasawarsa, mengarungi perselisihan ideologi, kini dua orang tua itu berangkulan di dalam solidaritas kemanusiaan. Wanita itu mengaku bahwa sampai 1956 ia masih mempercayai Stalin, dengan catatan bahwa pada 1950-an, ketika relatif menduduki jabatan tinggi, ia tidak mengetahui bahwa rakyat Polandia diasingkan dan dibunuh karena ikut dalam gerakan patriotis anti-Komunis. Seperti yang banyak terjadi dalam masa kunjungan ayahku, pertemuan dengan orang-orang masa lalu menjadi sangat emosional. Tapi, baginya, peristiwa yang paling membangkitkan semangatnya adalah ketika kami pergi ke Gereja St. Stanislaw Kostka di Warsawa, mengunjungi makam Romo Jerzy Popieluszko, pendeta pro-Solidaritas yang dibantai musim gugur lalu oleh empat polisi rahasia. Beginilah Ayah merekam kunjungannya ke sana: "Kami pergi ke gereja pada hari Sabtu tengah hari. Aku begitu dalam tersentuh oleh wajah dan sikap pengunjung. Santun, begitulah penampilan pasangan-pasangan muda dengan anak-anaknya yang masih kecil. Kukira itulah peristiwa langka, yaitu ketika rombongan-rombongan yang tampak spontan dan menziarahi makam sang mujahid yang menghadapi nasib tragis bangsanya itu kini menjadi bagian dari bangsanya sendiri. Kunjungan ke makam, pada hari setelah kedatanganku, adalah intro paling indah bagi rasa dan semangat Polandia hari ini." * * * Sebagai tambahan kepada ziarah nostalgia dan perlawanan sentimental, Ayah, yang di Amerika Serikat bekerja sebagai ekonom, mencoba menimbang-nimbang apakah konflik buntu antara pemerintah dan rakyat dapat mendorong membangkitkan kreativitas ekonomi "negeri tak bertuan" itu, yang di dalamnya baik Pemerintah maupun oposisi harus menunda permusuhan demi pembangunan negeri. Khususnya ia bertanya-tanya kepada dirinya, bidang-bidang yang memerlukan pengembangan, misalnya riset komputer, dapatkah dilindungi dari pertarungan ideologi demi kepentingan seluruh bangsa. Ia tanyai setiap orang yang dapat ditemuinya, termasuk kaum oposisi, pengarang, diplomat, dan anggota Parlemen. Onyszkiewicz, ahli matematika dan bekas jubir Solidaritas, sependapat dengan ayahku. Setidaknya, katanya, riset komputer harus dibiarkan berkembang tanpa usikan pihak mana pun yang bertingkai-pangkai, yang bisa menjebloskan Polandia ke dalam status negara Dunia Ketiga. Kalau tidak, kata Onyszkiewicz, "Kita mutlak bisa menjadi seperti Bangladesh." Tetapi ketika ayahku bertanya apa yang menghalangi kedua pihak yang berkonflik untuk membangun semacam kawasan genjatan senjata, Onyszkiewicz menjawab: para pejabat penguasa yang relatif lemah dengan sendirinya tidak dapat mengontrol semua unsur kegiatan. Dan, katanya, hanya ilmuwan komputer yang mampu merekrut mereka yang ingin bekerja di bawah pengawasan orang-orang loyal bukan loyal kepada ide apa pun, tapi hanya kepada birokrat lain. Setelah belasan percakapan seperti itu, Ayah berkeyakinan bahwa perpecahan di Polandia masih tetap menganga. Dan tak satu jembatan pun bisa direntangkan untuk meniadakan perbedaan pendapat. Toh, ketika meninggalkan negeri ini, Ayah masih optimistis akan kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik bagi tanah air yang masih dicintainya, sambil mengesampingkan luka-luka lama, pembantaian, dan kepahitan masa lalu yang lain. Pada catatan yang ia tinggalkan, ia menuliskan kesimpulan ini untukku: "Dalam perselisihan budaya luar biasa antara penguasa dan rakyat ini, rakyat jauh dari terkalahkan. Ideologi tradisional para pemimpin telah mati, dan mereka tak memiliki lainnya sebagai pengganti. Meski kaum oposisi tidak berbicara dalam satu bahasa, mereka menekankan perlawanan-nya terhadap penguasa, mencincang habis semua paham beku dan sistem pemujaan. Terlihat di mataku bahwa di Polandia masalah moral dan suara hati nurani memainkan peranan lebih besar dalam kehidupan sehari-hari rata-rata orangnya dibandingkan di masyarakat masa kini lainnya. "Juga tampak bagiku, berjuta-juta orang Polandia melihat nasib masa depan negeri, kebudayaan, adat istiadat, dan kesejahteraan mereka sebagai urusan pribadi. Di dalam setting demikian, 'Biarkan Polandia tetap Polandia' bukan sekadar sejenis slogan agitprop, tetapi tekad moral dan amanat pribadi yang memungkinkan orang-orang Polandia menjaga martabatnya, kepribadiannya, rasa bangga dirinya. Sungguh sederhana: mereka memecahkan masalah yang mungkin akan menentukan nasib kita semua di abad mendatang ini - bagaimana menjadi manusiawi di sebuah dunia yang semakin dipertalikan oleh hubungan yang kian birokratis." Aku tidak sepenuhnya setuju dengan kesimpulan ayahku. Ia mungkin, seperti umumnya orang Polandia, agak romantis. Toh tetap pantas mendengarkan suara optimisme seorang tua berusia 82 tahun. Adalah lebih dari baik bagiku bersamanya selama sebulan, mengunjungi tempat-tempat, dan menyingkapkan perasaan-perasaan dan pengetahuan bermanfaat dari semua masa lalu yang akrab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini