Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kuncup simalungun

Sman di simalungun, sum-ut, melarang para muridnya mengenakan celana kuncup. ada 3 siswa melanggar ketentuan itu. kepala sekolah salmon saragih menjatuhkan sanksi pemecatan. batal setelah ada protes.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI cerita soal kuncup. Bukan bunga, tapi celana. Kisah ini datang dari SMA Negeri di Kota Perdagangan, Simalungun, Sumatera Utara -- sekitar 120 km dari Medan. Di sekolah itu, sejak tahun ajaran yang lalu, ada aturan yang melarang para muridnya mengenakan celana kuncup. Khusus untuk murid cewek, karena tak pakai celana, jadi maksudnya adalah rok ketat. Jadi, celana ataupun rok harus longgar. Sesuai dengan penalaran satu aturan, maka bagi yang melanggar, ada sanksinya yakni berupa peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga. Kalau masih nekat akibatnya bisa jadi "drs" alias "di rumahkan saja". "Peraturan itu secara tertulis maupun lisan sering diumumkan," kata Salmon Saragih, kepala sekolah itu, kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Pengumuman itu sampai diulang-ulang adalah lantaran masih sering dianggap sepi. Tanpa menyebut sudah berapa surat peringatan dilayangkan, Salmon mengungkapkan bahwa untuk murid yang kedapatan masih mengenakan celana kuncup bagian betisnya -- kira-kira mirip model celana Napoleon -- diberi kesempatan menukarnya dengan potongan yang longgar. "Itu kalau rumahnya dekat dengan sekolah. Kalau jauh, jahitannya kami koyak, tapi sewajarnya," katanya. "Sudah puluhan siswa kami koyak celananya, ya, siswa, ya, siswi," katanya. Tak jelas, apakah tindakan pengoyakan ini membuat tukang jahit di pasar setempat jadi tambah sibuk. Tapi, yang jelas, para murid bukan malah jera. Bahkan, hingga Februari lalu, mereka masih saja mengenakan celana dengan model yang tabu itu. Hingga suatu pagi sehabis senam kesegaran jasmani, Salmon pidato di podium, "Pokoknya, saya tak mau lihat lagi kalian paka celana kuncup. Celana harus dapat lewat lutut," serunya di hadapan 1.333 murid itu. Dua hari kemudian, para murid masil mencoba jurus kesukaannya, meski mereka dihadang di gerbang dan disuruh pulang atau bagian celananya kena razia mata gunting. Keesokan harinya, tak kurang dari Salmon sendiri melakukan inspeksi mendadak. Dari "sidak" itu, ia berhasil menangguk tiga siswa, yang segera disidangkannya. Dan setelah tanya jawab singkat, Salmon langsung menghadiahi mereka dengan surat pemecatan. Sehari setelah pemecatan tiga murid itu, dinding sekolah meriah dengan corat-coret. Pak Kepala Sekolah tak menghiraukan itu. Buntutnya, beberapa hari kemudian para murid pun mogok belajar. Mereka bergerombol di luar pagar sekolah seraya mengacungkan poster. Salah seorang siswa bercerita kepada TEMPO, "Masa, tanpa rapat dewan guru, tak ada peringatan I, II, III, langsung main pecat." Kawannya menambahkan dengan sengit, "Kami kemari menuntut ilmu, bukan disiplin." Kawan satunya lagi menyambut, "Disiplin juga penting, tapi janganlah terlalu ketat." Walhasil, polisi pun turun tangan. Itu pun masih terjadi tawar-menawar. Para murid menghendaki agar pemecatan tiga kawan mereka dibatalkan. Apa boleh buat, Salmon pun meluluskan protes para muridnya. "Saya terlalu emosi, sampai lupa memanggil orangtua mereka. Waktu itu, saya jengkel betul, langsung saya pecat," katanya. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus