BIS Kopaja yang ditilang dalam sidak waskat di Kelompencapir Ditjen Dikdasmen Depdikbud mengangkut kadarkum dan posyandu di Tahura se-Jabotabek. Anda tahu maksud kalimat itu? Kepanjangannya adalah "Bis Koperasi Angkutan Jakarta yang ditilang (bukti pelanggaran) dalam inspeksi mendadak pengawasan melekat di Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkut keluarga sadar hukum dan pos pelayanan terpadu di Taman Hutan Rakyat se-Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi". Tindakan menyingkat-nyingkat kata memang menghemat ruang, tetapi.... Pakar bahasa Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana pasti kurang senang membaca kalimat yang ruwet itu. Menurut wawancara TEMPO (Selingan 10 Maret 1990) dengan Takdir, berkecamuknya akronim itu membuat bahasa Indonesia kini makin dijauhi oleh orang Malaysia. Terlepas dari makin dijauhi atau tidak, pemakaian akronim di bahasa kita memang sudah tampak berlebihan. Di kamus-kamus bahasa asing, jarang kita temukan akronim sebanyak yang dilampirkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ada ijazah aspal (asli tapi palsu) di kalangan pegawai honda (honorer daerah). Ada balita (di bawah lima tahun) minta ASI (air susu ibu). Ada kabir (kapitalis birokrat) yang bekerja sama dengan kaum kontrev (kontrarevolusi). Banyak bank menyelenggarakan tabungan dengan berbagai nama, misalnya saja Tahapan, Kesra, Bung Hari. Akronim dan singkatan sebagai unsur bahasa merupakan alat untuk mempermudah komunikasi. Dengan singkatan itu komunikasi lebih lancar. Kalangan militer yang memakainya pada tingkat awal. Setelah Nugroho Notosusanto masuk ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, akronim dilembagakan di seluruh departemen tersebut. Itu tidak mengapa, asal terbatas pada kalangan sendiri. TEMPO juga memakai akronim (di rubrik Surat dari Redaksi) dalam edisi 17 Maret 1990, misalnya jabrik untuk penanggung jawab rubrik. Namun, dalam kalangan lebih luas, akronim itu tidak dipakai. "Dosa" atas merajalelanya akronim sebagian dapat dipikulkan ke pundak wartawan (yang belum lama ini menambah satu akronim Tahura). Kalangan ini termasuk yang paling potensial dalam memasyarakatkan akronim. Padahal, baik akronim maupun singkatan dibuat sesuai dengan kemauan dan selera pemilik hak cipta, dalam hal ini pemilik nama yang bersangkutan. Apakah pembaca tidak terseok-seok bila menemukan akronim Kaurdin Ops Satserse Polres (Kepala Urusan Dinas Operasi Satuan Reserse Kepolisian Resor)? Kata operasi cukup diwakili dengan o dalam Kopkamtib. Di tempat lain operasi diwujudkan dengan huruf op dalam Opsus Operasi Khusus. Di jalan-jalan, terdapat papan yang dibuat polisi bertuliskan Ops Patuh, singkatan Operasi Patuh. Lembaga tinggi negara Badan Pemeriksa Keuangan menyingkat dengan cara yang berbeda, Bepeka, memakai transkripsi fonetis seperti TV dan teve. Kata negeri disingkat dalam ri di Kejari -- Kejaksaan Negeri. Ada yang menyingkat negeri menjadi gri di dalam Depdagri dan mendagri. Karena tiadanya rumus, dalam akronim pembaca harus mahir. Misalnya kata negeri harus dapat ditemukan sendiri dalam singkatan lu yaitu dalam Deplu dan menlu. Kata jaksa cukup diwakili ja dalam Kejari (Kejaksaan Negeri) dan Kejati (Kejaksaan Tinggi), tetapi untuk tingkat nasional perlu satu huruf lagi, yakni menjadi jak (Kejakgung dan Jakgung), karena dahulu ada jagung untuk jaksa agung. Kata keputusan dalam kalangan wakil rakyat disingkat menjadi tus, yaitu rantus (rancangan keputusan) tetapi pada umumnya disingkat kep (dalam skep -- surat keputusan). Untuk menyingkat koordinasi ada beberapa pilihan. Cukup ko dalam Bakohumas. Namun, juga mungkin kor dalam rakor (rapat koordinasi). Akibatnya, dalam Berita Terakhir 13 Maret 1990 penyiar TVRI sampai empat kali salah mengucapkan Bakorsutanal alih-alih Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional). Ko selain melambangkan koordinasi juga komando (dalam Koramil), koperasi (dalam Kosgoro), kota (dalam kodya), dan korps (dalam Kowad -- Korps Wanita Angkatan Darat). Singkatan bang dapat berarti pengembangan (dalam litbang) dan pembangunan (dalam bangdes). Sedangkan kata pembangunan disingkat pe saja dalam Bappenas. Masih mendingan kalau singkatan itu dibuat karena pertimbangan enak didengar pembuatnya atau asal bunyi alias asbun. Yang lebih parah ialah bila singkatan itu dipakai untuk menghina orang atau lawan politik. Dahulu sangat dikenal julukan Asu, yaitu gabungan antara Ali (Sastroamidjojo) dan Surachman. Masa itu juga mencatat Manikebu, Manifes Kebudayaan. Adakah akronim itu berbahaya? Dalam kadar yang berlebihan, akronim akan menghilangkan kata asal karena kita hanya tahu bentuk jadinya. Negara kita akan gempar kalau kita masyarakatkan di seluruh Tanah Air akronim yang baru muncul itu -- Gempar (gerakan untuk meningkatkan pendapatan asli rakyat) yang dicanangkan di NTT (ini Nusa Tenggara Timur). Kalau kondisi demikian berjalan terus, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa litbang, sulit berkembang. Kita bersimpati kepada para tenaga kerja wanita (sering disingkat TKW) yang begitu menderita. Meskipun demikian, agar tidak asal asbun, kita tidak perlu menciptakan akronim baru wantugia, wanita tunabahagia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini