Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lagu Purba Kaum Gitana

Pertengahan bulan lalu, di Usmar Ismail Hall, Jakarta, sebuah grup flamenco asal Madrid, Spanyol, menggelar pertunjukan yang mengesankan. Mereka datang khusus untuk menandai berakhirnya enam tahun kepemimpinan Spanyol dalam Masyarakat Eropa. Namun pertunjukan itu sanggup memperlihatkan kekayaan, kompleksitas, dan kedalaman kesenian yang terutama dihasilkan oleh kaum gipsi di Andalusia, Spanyol Selatan. Berikut ini hasil liputan Tempo atas pertunjukan istimewa itu.

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CONCHA Jareno, gaun merahnya menyala di gelap panggung dan lima orang musikus kelompok Compania Flamenca de Concha Jareno yang berpenampilan serba hitam: berbaju hitam, bercelana hitam, bersepatu hitam.

Di antara suara gitar yang bergulung-gulung memainkan seguiriya—satu jenis atau subgenre flamenco—penari Concha Jareno, dengan rambutnya yang dipotong sebahu dan dijepit biting, bergerak bak bayangan. Seakan digerakkan oleh kekuatan di luar dirinya, Concha menyeret langkahnya perlahan, sampai akhirnya ia berhenti di sebuah titik. Dan di hadapan ratusan pasang mata penonton di Usmar Ismail Hall, Jakarta, di suatu Kamis malam pada pertengahan Juni, ia pun mulai memecahkan kebekuan itu.

Mengangkat kedua tangannya tinggi, ia berputar secepat kilat, dan dari gerakan kaki dan tumitnya yang bertenaga mengalirlah bunyi ritmis, nyaring, dan kasar: terkadang memotong, terkadang menegaskan entakan gitar Flavio Rodriguez. Seguiriya adalah musik tanpa make-up; tanpa kemasan, mengutarakan perasaan-perasaan terdalam, tersisih, teraniaya, dan putus asa kaum gitana (baca: gipsi) yang selama ratusan tahun menjalani hidup berpindah-pindah. Seguiriya sebuah musik ”purba”, lahir kira-kira 200 tahun silam—dalam komunitas flamenco orang meletakkannya dalam kategori cante jondo (lagu yang lahir dari kedalaman jiwa).

Dikelilingi lima orang lelaki—pemain gitar, biola, perkusi, dan dua penyanyi—sebenarnya Concha merupakan matahari, titik pusat Compania Flamenca de Concha Jareno, grup flamenco yang berasal dari Madrid, malam itu. Namun seguiriya ternyata menuntut lain. Lampu sorot di panggung Usmar Ismail Hall yang tidak terlampau terang itu tiba-tiba jatuh pada sosok dua pendekar tarik suara, seraya mengabaikan irama, masing-masing mengikuti garis melodi pilihannya sendiri, bertemu pada titik-titik tertentu, dan menciptakan harmoni yang tidak mungkin didapat dalam musik Barat kini.

Chalanito bertubuh semampai dengan warna suara yang begitu tepat mewakili suasana hati kaum gitana yang tertindas. Pedro Obregon bertubuh tidak semenjulang rekannya itu, tapi terbiasa membawakan lagu-lagu yang lebih berjiwa kontemporer ketimbang cante jondo. Keduanya sama-sama menyanyi, tapi mungkin tidak benar-benar menyanyi. Mereka sedikit bersenandung, lebih banyak menghabiskan waktu dengan melolong, meradang, dan meratap. Seguiriya memang menebarkan ironi tentang indahnya kegetiran dalam hidup, juga indahnya ekspresi primitif yang dihidangkan mentah-mentah kepada audiens. Diawali dengan lamentasi, seguiriya pun ditutup dengan lamentasi dua sejoli Chalanito-Pedro.

Enam kali Concha Jareno berganti kostum pada malam yang diperuntukkan khusus buat merayakan berakhirnya enam tahun kepemimpinan Spanyol dalam Masyarakat Eropa itu. Menarikan tango flamenco, Concha meninggalkan nuansa kontras dan suasana kelam seguiriya, seraya mengenakan rok panjang berwarna cokelat muda yang lebih ringkas, nyaris tak berenda.

Dari sebuah tremolo gitar Flavio Rodriguez yang manis dan perlahan, Concha Jareno langsung melompat ke dalam lingkaran musik yang telah berganti beat, dengan irama yang menyuruh orang melonjak ritmis. Ia tak terpaku pada sebuah titik; berputar beberapa kali, gerakannya sigap, dalam hitungan 4/4 langkahnya tegas dan terukur. Dibanding seguiriya yang mensyaratkan kepekaan emosional—dengan permainan tempo beserta volume suara untuk memperlihatkan naik-turun temperamen musik—tango flamenco lebih menuntut suatu keterampilan teknik dan perhitungan akurat.

Flamenco tak ubahnya seperti blues yang lahir di antara para budak kulit hitam yang bekerja di ladang-ladang kapas Amerika Serikat pada pengujung abad ke-19. Ya, blues dan flamenco merupakan saudara universal yang lahir dari kandungan ibu yang sama: kombinasi antara ketidakadilan, diskriminasi sosial, dan nasib sial. Seguiriya di atas, misalnya, mengingatkan kita akan sosok Willie Johnson yang menyanyikan Dark Was the Night, blues buah karyanya yang direkam pada 1927. Blues Willie Johnson adalah musik yang kadang lebih banyak meratap daripada menyanyi, terdengar jujur, mentah, dan dimainkan tanpa polesan.

Masih ada satu catatan lagi yang mendorong kita membandingkan flamenco dengan blues: ruang improvisasi yang luas. ”Dalam flamenco, kita bisa melakukan improvisasi di mana saja,” kata Flavio Rodriguez, gitaris yang dalam pertunjukan-pertunjukannya menggeraikan rambutnya yang lurus mencapai punggung. Flavio tentu saja tidak hendak menyamaratakan improvisasi dalam blues yang demikian merdeka dengan improvisasi dalam flamenco.

Dalam blues atau jazz, suara instrumen-instrumen bisa mengalir bagai mengikuti suatu garis petunjuk, tapi mereka tak selalu betul-betul mengikuti garis itu, namun sampai meloncat-loncat, menari, jungkir balik—semuanya bersifat improvisasi dan tidak saling merusak. Dalam flamenco, kita boleh berimprovisasi—panjang ataupun pendek—di antara pola ritme, ketukan, berikut lantunan melodi yang menjadi pembeda jenis flamenco yang satu dengan yang lain.

Malam itu Compania Flamenca de Concha Jareno memainkan sejumlah nomor yang menegaskan kekayaan sekaligus kompleksitas flamenco sebagai seni rakyat yang telah mencapai sofistikasi tinggi, tapi tidak meninggalkan akarnya yang tunggal. Ada seguiriya, tango flamenco, alegria, guajira, farruca, romanza, dan beberapa nomor lagi. Concha sendiri telah menunjukkan kemampuannya sebagai perkusionis hebat.

Bersama dua penyanyi, ia bertepuk tangan bergantian, berbagi peran, sebagaimana layaknya pemain marawis beramai-ramai menabuh gendang pipihnya. Dan seperti derai bunyi castanet, ia pun menjentikkan jari tengah, jari manis, dan telunjuk dengan ibu jarinya manakala flamenco jenis romanza atau farruca yang ditempatkan di hampir pengujung pertunjukan itu mengalun lirih, melankolis. Namun ia sekonyong-konyong seperti zombie, bangkit dari kubur, dengan segala kesumatnya, ketika suara gitar Flavio lalu menyentak dan suara Chalanito parau meratapi, menyumpahi cinta yang ditolak: gerak kaki dan tumit memukul keras, menggetarkan lantai panggung.

l l l

”Flamenco kami adalah flamenco abad ke-21,” kata Concha Jareno dalam wawancaranya dengan majalah Tempo, beberapa jam sebelum pertunjukan. Perempuan 30-an tahun kelahiran Madrid ini menegaskan posisinya sebagai pembaru yang tidak lagi melihat keuntungan dari upaya mempertahankan kemurnian flamenco. ”Flamenco adalah pantulan dari suasana batin para artisnya dan tentu saja pengalaman kaum gitana 200 tahun silam tak sama dengan pengalaman kita sekarang,” katanya.

Concha Jareno, pesannya jelas: panta rei, tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Kendati seguiriya yang dihadirkan malam itu sebagai nomor pertama—dalam pertunjukan untuk memperingati berakhirnya enam tahun kepemimpinan Spanyol di Masyarakat Eropa—menunjukkan bahwa lamentasi tidak dapat berubah jadi senandung pelipur lara semata, flamenco terus ber-evolusi.

Apa pun alasannya, yang terang setiap orang seakan berlomba-lomba mengambil keuntungan dari tradisi musik-tari ini. Dari seguiriya yang menyayat-nyayat, buleria yang menghasilkan tarian yang dinamis, fandango, serta zambra yang sangat kental nuansa Arabnya, orang pun bisa memetik banyak gagasan, termasuk gagasan yang bersifat komersial. Kita tahu, melalui album-albumnya, kelompok Gypsy Kings yang beranggotakan orang-orang gipsi berhasil menjual satu jenis flamenco kepada para pendengar musik pop (flamenco rumba yang dipengaruhi musik dari Kuba).

Mungkin tak banyak yang meyakini bahwa flamenco adalah buah dari dialektik panjang bangsa gipsi yang telah berjalan sepanjang ribuan kilometer selama ratusan tahun dari tanah asal mereka di India Utara (konon, mereka berasal dari kasta entertainer, penghibur, musikus). Kaum pengembara yang mengutamakan kebebasan dibanding hal lain di dunia ini belajar dengan baik: menyerap budaya-budaya dari Persia, Hungaria, Mesir, Afrika Utara, dan negeri-negeri lain, sebelum akhirnya mendarat di Andalusia, Spanyol Selatan. Di sana langkah mereka terhambat Laut Atlantik. Mereka mensintesis pengalaman perih dan menginternalisasinya menjadi ungkapan seni yang sangat individual sifatnya.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus