Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Agar Tak Hanya Jago Kandang

Tiga anak muda menggerakkan Boemboe.org. Mereka mencoba mempopulerkan film-film pendek Indonesia hingga ke negeri seberang.

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Juwairiyah. Dia tinggal bersama ibu dan putra tunggalnya, Rifky, yang masih duduk di sekolah dasar di perkampungan miskin nun di pelosok Pasuruan, Jawa Timur. Suaminya pergi meninggalkannya begitu saja ketika usia kandungannya genap tujuh bulan. Juwairiyah menutup rapat kisah lelaki itu setiap kali sang anak bertanya siapa bapaknya. Lagi pula, jangankan menjenguk, lelaki yang entah ada di mana itu tak pernah sekali pun mengirim kabar. Demi kelangsungan hidup keluarganya pula, perempuan 28 tahun itu bekerja menjadi pembordir baju dan mukena.

Juwairiyah mengenal lelaki itu lewat bantuan seorang makelar yang biasa mencari perempuan-perempuan muda di kampungnya untuk dinikahi laki-laki dari luar desa. Kemiskinan dan tekanan adat membuat dia dan perempuan-perempuan sekampungnya rela menikah siri, tanpa perlu mengenal lebih dulu sang calon suami, termasuk bersiap-siap menjanda ketika lelaki itu sudah bosan. ”Daripada kumpul kebo lebih baik menikah siri,” begitu penjelasan Kiai Zaini, penghulu desa.

Kisah hidup Juwairiyah terekam dalam film pendek Di Bawah Tangan. Film dokumenter berdurasi 16 menit ini menyoroti fenomena kawin siri alias nikah bawah tangan. Film garapan Rosana Yuditia ini menjadi salah satu film yang disajikan dalam Boemboe Forum 2010 di Erasmus Huis, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu. Ini salah satu kegiatan Boemboe.org, organisasi yang digerakkan tiga anak muda pencinta film-film pendek, Lulu Ratna, Ray Nayoan, dan Amin Shabana.

”Boemboe Forum sudah memasuki tahun ketujuh,” kata Lulu Ratna. Tahun ini tak kurang dari lima judul film pendek karya anak-anak muda dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Solo diputar di sana. Selain Di Bawah Tangan, empat film pendek lainnya adalah Fronteira (Tapal Batas), Hujan Tak Jadi Datang, Dramativi, dan Mereka Sudah Sampai di Jawa. Temanya beragam. Fronteira (Tapal Batas), misalnya, menyajikan fiksi tentang seorang pemberontak Fretilin dan tentara Indonesia yang terjebak di ladang ranjau yang sama. Lain lagi dengan Dramativi, yang menyajikan cerita tanpa dialog tentang seorang suami yang ketagihan menonton televisi sampai tak lagi peduli terhadap lingkungan sekitarnya, termasuk istrinya.

Tapi daya tarik utama Boemboe Forum adalah penonton tak cuma menonton lalu pulang begitu film selesai. Mereka bisa bertanya, bahkan melempar kritik, kepada si pembuat film. ”Pembuat film harus mau mendengar kritik dari pembuat film lain ataupun penonton. Jadi mereka bisa saling belajar,” kata Lulu.

Lulu mendirikan Boemboe pada 2003 bersama Amin Shabana dan Leili Huzaibah. Waktu itu film pendek tengah booming. Kehadiran kamera digital membuat siapa saja bisa membuat film. ”Inti membuat film kan untuk dilihat orang, menyampaikan pesan kepada orang lain,” kata Amin Shabana. Pada kenyataannya, paling banter film-film pendek itu hanya bermuara di ajang festival film. Itu pun hanya sedikit yang bertahan. Padahal sejatinya berbagai festival ini berfungsi sebagai penghubung antara pembuat film, karya film, dan penonton. Karena itulah Boemboe mencoba menjadi ”titik temu” bagi siapa saja yang peduli terhadap perkembangan film pendek Indonesia. Selain itu, memberikan ruang bagi anak-anak muda yang siapa tahu memang berbakat di bidang film, meskipun tidak mengenyam pendidikan di sekolah film.

Nama Boemboe dipilih lantaran dianggap paling mewakili Indonesia yang terkenal dengan negeri kaya rempah-rempah. Boemboe juga dipilih untuk menggambarkan rasa, bentuk, dan gaya film pendek Indonesia yang sangat beragam seperti berbagai jenis bumbu yang ada di Indonesia itu. ”Kami ingin film pendek Indonesia bisa go international,” kata Lulu.

Dua tahun setelah Boemboe berdiri, Leili mundur dan digantikan Yosef Indra, yang belakangan memutuskan keluar juga. Baru pada 2007, organisasi yang sejak awal pendiriannya sepakat menjalankan sistem triangle (tiga orang) ini kembali utuh setelah Ray Nayoan bergabung dan kini menjadi direktur.

Lima tahun pertama, organisasi ini berfokus pada promosi dan pendistribusian film pendek Indonesia. ”Jadi, kalau orang mau film pendek Indonesia terbaru, tinggal menghubungi kami,” kata Lulu. Boemboe pun memberikan kebebasan kepada para anak muda untuk mengirimkan hasil karya mereka dalam beragam tema ataupun genre. Dokumenter, fiksi, hingga eksperimental. Ketimbang teknis, mereka lebih mengutamakan orisinalitas ide.

Agar sineas film pendek tak cuma jago kandang, mereka berkali-kali juga mengirimkan film pendek karya sineas muda Indonesia ke lebih dari 40 festival film, dalam dan luar negeri. Sebut saja Cinemanila International Film Festival, International Film Festival Rotterdam, Roma Independent Film Festival, dan Singapore International Film Festival.

Boemboe juga bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk mengembangkan film pendek Indonesia. Boemboe Forum sendiri dirintis sejak 2004. Forum pembuat film pendek Indonesia tahunan ini telah mendatangkan 44 pembuat film pendek Indonesia. Untuk menggali potensi di luar Jakarta dan kota-kota besar di Pulau Jawa, sejak 2006 Boemboe juga membuat 3 Cities Short Film Festival, traveling festival yang diadakan setiap dua tahun di pulau yang berbeda pada setiap penyelenggaraannya. ”Kami ingin para filmmaker di daerah mampu membuat film dengan ciri khas lokal, baik dari dialog maupun visual, bukan cuma meniru Jakarta,” kata Ray Nayoan.

Hingga kini, 3 Cities sudah berlangsung tiga kali di sembilan kota, yakni Salatiga, Cirebon, Jember, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Maumere, Bangkalan, dan Mataram. Dalam ajang ini, penikmat film Indonesia tak cuma menyaksikan film pendek karya anak negeri, tapi juga sejumlah film pendek tamu dari Jerman, Prancis, dan Italia. Untuk lebih mempopulerkan film pendek, Boemboe juga sempat memasarkan kompilasi film pendek dalam format DVD berjudul Indonesia Kecil, berisi kompilasi tujuh film pendek Indonesia.

Memasuki 2009, organisasi ganti haluan menjadi organisasi yang mengkaji film-film pendek. Nama Boemboe pun berubah menjadi Boemboe.org. Hingga kini Boemboe.org berhasil mengumpulkan lebih dari 500 film pendek Indonesia dan setidaknya 200 buku mengenai film dalam database-nya. Kelak organisasi ini diharapkan tak cuma mampu mempromosikan film-film pendek, tapi juga memberikan akses seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin menggali informasi mengenai film-film pendek yang pernah ada di Indonesia. ”Kami sekarang baru merintis, ini bukan pekerjaan mudah,” kata Ray.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus