TAK ada jalan tol, ya, tol-tolan pun jadilah. Akibatnya membuat gelisah warga Kota Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara. Sepotong jalan yang lebarnya cuma dua meter dan panjangnya 150 meter disulap Wali Kota Bachta Nizar Lubis menjadi jalur cukai (tol). Hebatnya, orang dijaring untuk masuk ke jalan ini tanpa ada jalan alternatif. Mobil, sepeda motor, becak dayung, dan sepeda dari arah Teluknibung, sehabis lewat jembatan Sungai Silau, tak boleh lagi berbelok kiri ke Jalan Veteran. Lurus ke Jalan Gereja, seperti sebelumnya, pun dilarang. Satu-satunya jalan yang boleh dilewati adalah yang di kanan, jalan yang ada bayar cukainya itu. Beberapa petugas parkir sudah menunggu di bibir jalan ini dengan gardu berdinding papan. Mereka mencukai Rp 100 untuk becak serta sepeda, dan Rp 200 buat mobil roda empat, sedangkan yang beroda lebih dari empat kena Rp 400. Tak dapat tidak para pengendara harus membayar untuk bisa lewat di jalan selembar itu. Ada yang menyelonong, tapi bukan berarti selamat. Sebab, di ujung jalan itu, sekitar 150 meter dari pos pertama, ada pos pemeriksaan karcis. Bila si pengendara tidak punya karcis, petugas parkir akan memaksa membelinya ke pos pertama. Dan ini tidak mudah karena jalan selebar dua meter itu searah. Namanya jalan tol mestinya mulus dan nyaman. Tapi jalan cukai ala Tanjungbalai ini macet gara-gara becak dayung. Maklum, jenis kendaraan mayoritas di Tanjungbalai, kota 60.000 jiwa, ini jumlahnya, yang terdaftar dan gelap, sekitar 10.000. Yang terjaring masuk jalan cukai pun ratusan, berdesak-desak sampai ada yang tersangkut satu sama lain. "Melewati jalan 150 meter itu bisa sampai setengah jam," gerutu seorang sopir. Derita itu kian komplet dibumbui aroma semerbak sayur busuk plus bau lumpur. Tempat itu memang pusat perdagangan sayur. Tanjungbalai adalah kota terjorok di Sumatera Utara, sementara kawasan pusat perdagangan sayur itu paling jorok di Tanjungbalai. "Ongkos becak cuma Rp 300. Dikutip Rp 200, apa lagi untuk kami?" keluh Kamaluddin Panjaitan kepada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Menurut tukang becak itu, selain dia, yang paling terpukul adalah RBT (rakyat banting tulang) alias pengojek. Menghindar tidak bisa sebab tidak ada jalan alternatif. Merasa napas naik ke ubun-ubun, sekitar 300 pengemudi becak, 50-an RBT, dan ratusan massa unjuk rasa ke DPRD Tanjungbalai akhir Maret lalu. Mereka menuntut cukai tadi dihentikan. Dari sana mereka berbondong ke gardu tol-tolan itu. Petugas parkir yang pada hari-hari sebelumnya memasang tampang garang pun lari tunggang-langgang. Walhasil, empat gardu itu pun dirobohkan massa. Tapi dua hari kemudian tol-tolan itu hidup lagi, cuma untuk sepeda motor dan mobil, sedangkan becak dan sepeda: gratis. Juga disediakan jalan alternatif, yakni boleh lewat Jalan Gereja. Belum dihitung berapa rupiah turunnya pemasukan tol ini. Cuma bisa diduga, kemungkinan besar drastis turunnya.Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini