Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Upah buruh dan pertumbuhan

Editor: chris manning dan joan hardjono canberra: department of political and social change, australian national university, 1993

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULIT sekali dibantah bahwa keberhasilan luar biasa telah tercapai di Indonesia selama pembangunan seperempat abad terakhir ini. Terutama dalam pencapaian tiga sasaran nasional: pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan. Namun, sama sulitnya dibantah adalah kenyataan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi itu cenderung "meninggalkan" kelompok-kelompok terbawah dalam lapisan masyarakat Indonesia. Secara kolektif mereka adalah kelompok tenaga kerja berupah rendah yang disebut buruh, yang bergiat dalam berbagai jenis pekerjaan industri (manufacturing) dan pertanian. Itulah kira- kira tema sentral buku yang diangkat dari konferensi dan seminar di Australian National University, Canberra, ini. Dari 18 kertas kerja yang dihimpun dalam buku ini, 11 disajikan dalam konferensi dan 7 lainnya disumbangkan hanya dalam tulisan. Buku ini dibagi dalam dua bagian. Yang pertama berisi tulisan Sjahrir dan R. William Liddle. Dan yang kedua, "Labour: Benefiting From Rapid Economic Growth", berisi empat bab. Aspek makro berasal dari makalah Payaman Simanjuntak, Chris Manning, Ross McLeod, dan Graeme Hugo. Ada lagi Bab II Factory and Wage Workers diisi Benjamin White, Juni Thamrin, H.P Lok, G.D. Klingner, dan Vedi Hadiz. Diskusi tentang perburuhan pabrik manufacturing dan pertanian memberi arah isi buku ini, dengan pertimbangan belakangan ini isu perburuhan di Indonesia menjadi fokus nasional maupun internasional. Seberapa besar keberhasilan ekonomi belakangan ini telah menguntungkan kaum buruh? Seperti dijabarkan Manning, sementara Indonesia telah melakukan langkah-langkah penting ke depan dalam peningkatan kondisi perekonomian, pendidikan, kesehatan, dan penurunan tingkat kemiskinan, terasa sekali kaum buruh tertinggal dalam pembangunan. Peningkatan gejolak perselisihan industrial, misalnya, merupakan gejala menonjol yang bisa jadi barometer. Diketahui umum bahwa hak-hak buruh terbatas dan tingkat upah mereka amat rendah jika dibandingkan dengan melesatnya kesejahteraan kelas menengah dunia usaha. Jelas ini gejala tidak fair jika pertanyaannya adalah untuk siapakah pembangunan di Indonesia diselenggarakan. Sjahrir, meletakkan gejala ketimpangan seperti itu dalam konteks perekonomian nasional, menggunakan ungkapan "keberhasilan makro dan tantangan mikro". Katanya, persoalan penting yang kita hadapi meliputi isu ketidakmerataan dan kebutuhan Indonesia untuk melanjutkan transformasi ekonomi struktural agar angkatan kerja lebih banyak dibawa masuk dalam sektor modern. Meskipun tidak persis benar, persoalan ini mendapat sambutan dari olahan data statistik nasional ketenagakerjaan yang disajikan P. Simanjuntak dan C. Manning. Juga dari berbagai studi kasus lapisan terbawah dari struktur kelompok pekerja di Indonesia, terutama di Jawa, yang berasal dari temuan-temuan di daerah perkotaan dan periferi, yang dikerjakan oleh Ben White, J. Thamlin, H.P. Lok, M. Grijns dan A. van Velzen, I. Tjandraningsih dan Kartini Sjahrir. Serta dari daerah pedesaan oleh M. Singarimbun, J. Hardjono, dan T.N. Effendi. Meski kelompok masyarakat sasaran yang dipelajari tak jauh berbeda, penarikan kesimpulannya menunjukkan telah terbentuknya pandangan yang berbeda-beda mengenai kenyataan objektif yang dialami kaum buruh kita. Simanjuntak, yang dianggap "mewakili pemerintah" misalnya, menganggap bahwa pemerintah telah membuat peraturan untuk melindungi buruh, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan buruh selalu tergencet pelecehan peraturan itu. Perbedaan kesimpulan juga terdapat dalam hal pendapatan yang diterima kaum buruh. White menganggap bahwa pendapatan dari memburuh di pabrik di beberapa tempat pinggiran kota di Jawa Barat umumnya begitu rendah sehingga untuk membiayai kebutuhan dasar tak cukup. Tapi Joan Hardjono menemukan di pedesaan Majalaya bahwa upah buruh pabrik lajang sering cukup untuk mengatasi kebutuhan dasar seluruh keluarga. Sementara itu, Kartini Sjahrir menemukan bahwa buruh bangunan di Jakarta mendapat upah yang tinggi dan bisa dikirim ke desa mereka -- meskipun mereka tidur di bedeng ketika melakukan "boro kerja". Temuan Kartini itu berbeda dengan pandangan umum yang melihat bahwa upah kelompok buruh itu selalu rendah, sehingga Manning perlu mengingatkan bahwa perbedaan temuan dan kesimpulan menunjukkan perlunya kecermatan dalam penelitian. Ini perlu dilakukan agar kita bisa menunjukkan genera]isasi apa saja yang boleh dibangun tentang kaum buruh di Indonesia, dan keadaan buruh mana saja yang berbeda secara sistematis dan substansial (melalui jenis usaha, industri, dan kedaerahan, misalnya), serta apa alasannya. Karena akhirnya kebijaksanaan harus didasari penelitian empiris yang menyajikan data dan pengukuran akurat, yang membedakan antara opini dan fakta, tentang kelompok masyarakat tertentu yang dipelajari. Buku ini memang penting dibaca terutama oleh para pengamat, peneliti, dan pengkaji masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Para pengusaha, majikan, dan politisi yang mewakili masyarakat di forum-forum pembuat keputusan wajib menelaah dan menjadikannya bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijaksanaan penting.Nurdien H. Kistanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum