Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bapindo: dibutuhkan pedang ketiga

Tanggapan pembaca tentang kasus kredit macet di bapindo. dalam penanganan ini pemerintah menggunakan dua cara, yakni lewat kejaksaan agung dan menkeu.

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arus informasi kasus kredit macet Bapindo, sejak digulirkan Baramuli, terus menggelinding seperti bola salju yang tak mungkin dibendung. Berita Bapindo dalam media cetak menjadi bacaan menarik bagi berjuta orang. Rasa ingin tahu masyarakat pada babak akhir drama Bapindo sudah seperti arus sungai yang meluap. Bagaimana kesudahan pertarungan para elite politik dan ekonomi, rasanya, akan semakin menarik, dan patut ditunggu. Setelah Eddy Tansil ditahan Kejaksaan Agung, lalu disusul sebagian eks anggota direksi Bapindo, masyarakat masih berharap. Siapa lagi yang menjadi pemeran pembantu? Dan puncak rasa ingin tahu itu adalah pada peran Ketua DPA Sudomo dan Ketua BPK Sumarlin. Sejauh mana keterlibatan mereka? Dan apa gerangan yang akan diperbuat oleh Kejaksaan Agung terhadap kedua pejabat tinggi itu? Sejauh yang saya ketahui dari pemberitaan, proses penanganan kasus Bapindo, kalau boleh dianalogikan, sudah sampai pada "teori dua pedang milik Thomas von Aquino". Pedang pertama sedang dimainkan Kejaksaan Agung untuk mengungkap ada atau tidaknya white collar crime, yakni kolusi antara Eddy Tansil dan direksi Bapindo. Bahkan, bisa jadi, lebih dari itu adalah sebuah konspirasi berbagai kekuatan internal dan eksternal yang menggerogoti kekayaan negara dalam tubuh Bapindo. Pedang kedua dimainkan oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, yang didukung banyak pihak, di antaranya Sjahrir (TEMPO, 26 Maret, Kolom). Dan langkah mereka diharapkan menjadi awal sebuah clean government. Solusi yang ditawarkan Menteri Keuangan untuk menyelamatkan Bapindo adalah (rencana) mengadakan management contract dengan sebuah bank asing (Citibank?). Terhadap langkah ini, Kwik Kian Gie tidak setuju dengan alasan: memalukan kita sebagai bangsa yang merdeka (TEMPO, 26 Maret, Laporan Utama). Alasan tersebut menyentuh rasa nasionalisme kita. Lagi pula, apakah para bankir kita tak mempunyai profesionalisme dalam mengelola sebuah bank? Atau, apakah tak ada cara lain selain model management contract untuk menyehatkan kembali Bapindo? Seandainya dapat dibuktikan bahwa terjadinya pemberian kredit yang melanggar legal lending limit itu bukan disebabkan oleh ketidakmampuan teknis pihak manajemen Bapindo, melainkan karena tak adanya integritas moral dan kekuatan eksternal yang bermain, lalu asas prudential banking ramai-ramai dicampakkan, rasanya jalan keluar yang ditawarkan Menteri Keuangan tersebut belum menyentuh akar masalah. Untuk jangka pendek mungkin akan berguna dan bisa menghindarkan Bapindo dari kebangkrutan setelah pemerintah menombok uang yang raib. Apalagi kalau para alumni Citibank, yang konon banyak dibajak itu, adalah bangsa kita sendiri yang terbukti mempunyai profesionalisme dan integritas yang tinggi. Nah, mengapa kita tak memakai tenaga mereka saja untuk memimpin Bapindo? Siapa tahu tenaga-tenaga muda lebih mencintai negerinya -- daripada yang tua-tua. Selama masih banyak pengusaha dan pejabat kita yang bermental "layaknya seorang ahli waris kekayaan negara", dengan model dan cara bagaimanapun sebuah bank dikelola, itu belum menjamin bank yang bersangkutan bersih dari praktek kolusi. Untuk mengelola kekayaan negara, tak hanya dibutuhkan orang pintar, tapi juga orang yang berakhlak baik dan tak takut kehilangan jabatan hanya karena tak menuruti pesan surat sakti. Dengan begitu, tak hanya dua pedang yang kita perlukan. Kita perlu pedang ketiga, yang lebih berat, karena beban ini tak hanya menjadi tanggung jawab Kejaksaan Agung dan Menteri Keuangan. Pedang ketiga itu harus berupa kemauan politik dan keberanian pemerintah untuk memecat pejabat yang korup, baik di pusat maupun di daerah, dan menggantinya dengan orang-orang yang memiliki integritas moral untuk menuju suatu pemerintahan yang bersih. Mudah-mudahan langkah Pak Mar'ie Muhammad dan yang lainnya juga menuju ke sana.HERMAN W. SUTISNA Bogor, Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum