Radio mulai dipajak. Sementara itu, masih banyak abang bakso, tukang sayur, pedagang minyak keliling, pedagang asongan, pemulung, penganggur, dan buruh yang menggunakan radio sebagai alat penghibur hati setelah penat dengan kejenuhan, kebisingan, kelicikan, dan ketidakadilan. Haruskah sarana penghibur rakyat yang murah meriah ini dipajak? Saya rasa, dan semua orang tahu, di zaman ini radio bukan lagi barang mewah seperti halnya Baby Benz, BMW, Volvo, rumah mewah, dan lapangan golf. Pajak radio, katanya, ditargetkan sebesar Rp 5 miliar untuk daerah Jakarta ini. Meskipun dikumpulkan dari sekolong-kolong jagat Indonesia, jumlahnya tetap relatif kecil ketimbang kebocoran uang negara yang masuk kantong para pembesar. Kalau saja di Jakarta ini tak ada orang susah atau koruptor, mungkin tak ada hambatan mencari dana Rp 5 miliar itu. Kenyataannya, masih banyak orang yang hari ini makan, esok tidak. Sering kita dengar kata-kata berselimut: "Manusia bijak taat membayar pajak", "Demi kemajuan, pembangunan masih perlu ditingkatkan", dan dalih lainnya. Toh, akhirnya, perwujudannya sering tak jelas untuk apa, buat siapa, dan ke mana. Memang pembangunan dalam suatu negara membutuhkan dana yang tak sedikit. Tapi hendaknya, rakyat bawah diberi rongga sedikit untuk sarana hiburan atau pelayanan. Janganlah dipersulit bila mereka ingin mengurus sesuatu, misalnya di kelurahan, puskesmas, dan kantor lainnya yang berhubungan dengan kepentingan rakyat banyak. Tindaklah aparat pemerintah yang mbalelo, sering meresahkan rakyat. Misalnya, mereka sering minta pungli tak kepalang tanggung bila rakyat mengurus sesuatu. Hendaklah kita sama merasakan penderitaan di Jakarta. Jangan menikmati kesenangan sendiri hingga menimbulkan kecemburuan sosial dan, akhirnya, menanggalkan adat dan kebudayaan orang Timur. Mudah-mudahan Bapak Gubernur DKI Jakarta yang bijaksana sudi mencabut SK tersebut demi kepentingan rakyat Jakarta. Nama dan alamat pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini