Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kejutan yang cukup menggembirakan. Di tengah isu resesi ekonomi dunia, kenaikan harga pangan, dan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi.
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan kedua tahun ini mencapai 6,4 persen, sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan pada triwulan pertama 6,3 persen. Dilihat dari sisi pengeluaran (expenditure), belanja rumah tangga tumbuh dengan laju tahunan 5,3 persen, investasi tumbuh 12,8 persen, dan ekspor melaju 16,1 persen. Sementara itu, belanja pemerintah hanya tumbuh dengan laju 2,2 persen.
Hal yang menggembirakan dari angka pertumbuhan ekonomi di atas adalah pertumbuhan ekonomi kita saat ini bukan hanya didorong oleh konsumsi. Ekspor dan investasi juga turut memberikan kontribusi yang kuat. Dengan demikian, saat ini mesin pertumbuhan ekonomi kita lebih seimbang.
Tapi, bila dilihat dari sisi sektoral, masih ada beberapa sektor yang pertumbuhannya kurang optimal. Laju pertumbuhan di sektor industri pengolahan (manufacturing), misalnya, masih kurang menggembirakan. Sektor ini tumbuh dengan laju 4,1 persen pada triwulan kedua 2008, tidak jauh berbeda dengan pada triwulan pertama, yang tumbuh 4,2 persen.
Angka pertumbuhan sektor industri pengolahan ini jauh di bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal sektor ini diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran secara signifikan, mengingat sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar. Lambatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan inilah yang membuat banyak kalangan menarik kesimpulan bahwa sektor riil kita tidak tumbuh.
Sektor industri pengolahan memang menghadapi banyak masalah untuk tumbuh lebih cepat. Kenaikan ongkos produksi, seperti kenaikan harga energi, telah menggerogoti margin keuntungan di sektor ini. Kurang tersedianya infrastruktur (listrik, jalan, dan pelabuhan) yang memadai juga membuat sektor ini lebih sulit berkompetisi di pasar global, sekaligus membuat investor enggan berinvestasi di sektor ini. Sementara itu, iklim investasi yang tidak kunjung membaik pun turut membuat pebisnis enggan melakukan ekspansi bisnisnya. Akibatnya, pertumbuhan sektor ini menjadi kurang optimal. Masalah-masalah ini perlu diperhatikan dan dipecahkan secepatnya bila ingin sektor ini bisa tumbuh lebih cepat lagi.
Apa sebenarnya yang membuat ekonomi Indonesia dapat tetap tumbuh dengan baik pada triwulan kedua tahun ini?
Ada beberapa faktor. Pertama, pada semester pertama 2008 ternyata ekonomi dunia masih jauh dari resesi. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, misalnya, bahkan meningkat dari 0,9 persen pada triwulan pertama menjadi 1,9 pada triwulan kedua tahun ini. Jadi tidaklah terlalu mengherankan bila pada angka produk domestik bruto triwulan kedua lalu ekspor tumbuh dengan amat signifikan.
Faktor yang lain adalah suku bunga. Sampai April 2008, tingkat suku bunga acuan (BI Rate) berada pada level delapan persen. Dengan BI Rate sebesar itu, suku bunga pinjaman dan suku bunga deposito pun bertengger pada level yang amat rendah. Bunga pinjaman bahkan berada pada level terendah dalam beberapa puluh tahun terakhir.
Suku bunga yang rendah membuat orang atau perusahaan menjadi tidak enggan meminjam dari bank karena biaya bunga yang lebih murah. Sementara itu, orang atau perusahaan yang biasanya lebih suka menyimpan uangnya di bank pun menjadi tidak terlalu segan lagi membelanjakan uangnya (atau untuk berinvestasi) karena bunga yang diperoleh tidak setinggi sebelumnya. Akibatnya, konsumsi dan investasi pun meningkat.
Memang, suku bunga sudah beranjak naik sejak Mei 2008. Tapi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi belumlah terlalu signifikan mengingat sampai Juni, BI Rate baru naik level ke 8,5 persen.
Sementara itu, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pun belum tampak terlalu signifikan. Perlu diingat bahwa harga bahan bakar minyak bersubsidi baru dinaikkan pada minggu terakhir Mei. Pelaku bisnis mungkin belum sepenuhnya melakukan penyesuaian harga produknya dan masyarakat pun belum sempat mengubah perilaku belanjanya. Artinya, pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap perekonomian pada triwulan kedua belumlah terlalu besar.
Namun, dalam beberapa bulan ke depan, perekonomian Indonesia akan cenderung melambat.
Prospek perlambatan pada perekonomian Indonesia ditunjukkan oleh Leading Economic Index yang menurun sejak Januari 2008 (lihat bagian Leading Economic Index pada suplemen ini). Indeks tersebut menunjukkan arah pergerakan ekonomi 6-12 bulan ke depan. Jadi, sekitar enam sampai 12 bulan dari Januari 2008, ada kemungkinan ekonomi Indonesia akan melambat.
Bahkan, berdasarkan metode sequential signaling, yang dikembangkan oleh Zarnowitz dan Moore, perekonomian kita sudah memasuki fase perlambatan. Menurut metode ini, perekonomian akan melambat bila sinyal P1 (perlambatan pertama) terdeteksi. Bila pada bulan-bulan berikutnya sinyal P2 (perlambatan kedua) terdeteksi, perlambatan yang akan terjadi makin parah. Dan bila kemudian pada bulan-bulan berikutnya terdeteksi sinyal P3 (perlambatan terakhir), ekonomi akan memasuki masa resesi.
Metode ini dapat menangkap arah pergerakan ekonomi kita dengan cukup akurat. Misalnya, pada Mei 1997 P1 terdeteksi, pada Oktober P2 terdeteksi, dan berikutnya sinyal P3 terdeteksi. Ekonomi Indonesian pun jatuh ke resesi yang dalam setelah itu (gambar 1).
Pasca-1998, P1 terdeteksi pada Agustus 2000, yang diikuti oleh turunnya Coincident Economic Index (CEI) pada bulan-bulan berikutnya (gambar 1). CEI adalah indeks yang menggambarkan keadaan ekonomi pada suatu saat. CEI yang naik menggambarkan aktivitas perekonomian yang membaik dan sebaliknya. Sebagai catatan, pada 2001 perekonomian Indonesia jatuh ke masa resesi mini (mini recession) atau resesi yang tidak terlalu dalam dan tidak terlalu lama.
Kini, pada Juni lalu, sinyal P1 kembali terdeteksi. Artinya, perekonomian Indonesia sekarang sudah memasuki masa perlambatan kembali. Dengan kata lain, peluang terjadinya laju pertumbuhan secepat triwulan-triwulan sebelumnya tampaknya menjadi lebih kecil.
Selain itu, kelihatannya masyarakat masih belum dapat sepenuhnya menyesuaikan diri dengan kenaikan harga pangan ataupun harga bahan bakar minyak bersubsidi. Akibatnya, daya beli mereka cenderung menurun. Hal ini terlihat, antara lain, dari masih rendahnya Indeks Kepercayaan Konsumen pada Juli lalu. Walaupun naik dibandingkan dengan keadaan pada bulan sebelumnya, level Indeks Kepercayaan Konsumen pada Juli masih lebih rendah dibanding level pada Mei. Artinya, daya beli konsumen masih tertekan. Bila pemerintah kurang berhasil mengendalikan harga, penurunan daya beli akan lebih signifikan lagi pada bulan-bulan mendatang. Membiarkan kenaikan harga elpiji terjadi, misalnya, bukanlah kebijakan yang baik untuk saat ini.
Sementara itu, suku bunga yang sebelumnya telah menopang pertumbuhan ekonomi kita juga tampaknya akan terus dinaikkan. Artinya, stimulus dari sisi moneter tidak akan sebesar pada semester pertama 2008.
Dari sisi eksternal pun ada perkembangan yang kurang menguntungkan. Perekonomian Eropa, Inggris, dan Jepang sudah menunjukkan perlambatan. Ini tentunya akan memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap kinerja ekspor kita.
Diskusi di atas menunjukkan bahwa ekonomi kita pada semester petama 2008 tumbuh dengan sehat. Tapi, pada beberapa bulan mendatang, tampaknya ekonomi Indonesia akan melambat. Pemerintah dan otoritas moneter perlu berhati-hati menyikapi hal ini. Dalam jangka pendek, kebijakan yang dapat memberikan kejutan-kejutan negatif terhadap perekonomian sebaiknya dihindari.
*)Chief Economist Danareksa Research Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo