Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Legasi Kekerasan dan Lainnya

1 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABU Musab al-Zarqawi tewas setelah pesawat Amerika Serikat menghantam rumah persembunyiannya pada 2006. Tapi gerakan yang didirikannya ternyata lebih dari sekadar bertahan hidup. Di antara kelompok-kelompok radikal, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah menjelma menjadi kekuatan yang disegani dengan 170 ribu serdadu. Setelah Amerika menarik pulang pasukannya pada 2011 dari Irak, Abu Bakar al-Baghdadi pun meluaskan wilayah kekhalifahannya ke Suriah.

Juni 2014, ISIS menaklukkan Mosul, kota terbesar kedua di Irak setelah Bagdad. Pada Mei tahun berikutnya, giliran Ramadi di Irak dan Palmyra di Suriah jatuh ke tangannya. Sementara itu, di Libya, organisasi yang berafiliasi dengannya berhasil mengambil alih bandar udara Sirte. Kini tak ada organisasi radikal yang menyaingi popularitasnya yang menjulang di dunia internasional. ISIS mempunyai anggota pasukan yang berasal dari 30 negara: Nigeria, Libya, Filipina, Indonesia, Rusia, Cina, dan banyak lagi.

Kendati gerakan ini telah berganti nama lebih dari tujuh kali dan berganti pemimpin empat kali, sosok Zarqawi sebagai pendiri tak tergantikan. Orang acap kali berganti-ganti menggunakan istilah ISIS, IS, atau ISIL. Zarqawi sendiri suka menyebutnya Majelis Syura Mujahidin. Namun yang penting bukan bagaimana gerakan ini memperoleh sukses di lapangan, bagaimana menjelaskan sesuatu yang awalnya tampak mustahil jadi mungkin, bagaimana ISIS menggunakan kemarahan orang-orang Sunni terhadap pemerintahan Perdana Menteri Nouri al Maliki di Bagdad yang menomorsatukan—mayoritas—orang-orang Syiah dan menomorduakan penganut Sunni.

Dalam bukunya, The Unraveling: High Hopes and Missed Opportunities in Iraq, Emma Sky—yang menjadi pejabat sipil di Irak sepanjang 2003-2010—menjelaskan banyak hal. Ada kelompok-kelompok radikal yang lebih berhasil memanipulasi kekecewaan dan kemarahan kaum Sunni dibanding Negara Islam Irak. Namun kalangan Sunni di Irak umumnya menaruh sedikit simpati pada kematian Zarqawi waktu itu. Kebanyakan orang Sunni masih terkejut dan menyimpan amarah tatkala Zarqawi meledakkan markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bagdad, atau manakala ia merilis video rekaman saat ia menjahit kembali kepala orang Amerika yang lepas dari badannya, atau ketika ia meledakkan masjid Syiah di Samarra dan menewaskan begitu banyak anak-anak. Mereka seperti setuju pada editorial The Guardian yang menyatakan: "Akhirnya kebrutalannya tidak lagi menodai dan menawarkan nihilisme yang telah ditolak muslim di dunia."

Dalam ISIS: Inside the Army of Terror, penulis Michael Weiss dan Hassan Hassan tak hanya mencatat ketidaksukaan Usamah bin Ladin, pemimpin nomor satu kelompok Al-Qaidah, pada tato Zarqawi tatkala mereka bertemu di Kandahar, tapi juga pada horor yang ditimbulkannya, ketika membunuhi orang-orang Syiah. Padahal ibunda Bin Ladin adalah penganut Syiah Alawi, aliran yang banyak berdiam di Suriah. Dalam ISIS: The State of Terror, penulis Jessica Stern dan J.M. Berger menjelaskan ketidaksukaan Bin Ladin pada Zarqawi. Bin Ladin dan elite Al-Qaidah "kebanyakan dari kalangan intelektual berpendidikan, sedangkan Zarqawi terdidik sebagai bajingan".

Satu lagi ciri ISIS yang tak tergantikan: kecintaannya pada negara atau kekhalifahan. Jelas kecenderungan ini melawan pandangan populer mengenai gerakan revolusioner di mana pun. T.E. Lawrence, misalnya, menggambarkan orang-orang militan dalam gerakan itu seperti kabut. Ada di mana-mana dan tiada di mana-mana. Adapun Mao Zedong mengibaratkannya seperti ikan yang berenang di laut penduduk setempat. Kini para serdadu ISIS lebih tertarik untuk mengontrol wilayah.

Tentu saja Mao dan Lawrence tak setuju dengan gaya ISIS yang satu ini. Tapi bukankah mendirikan kekhalifahan itu, setidaknya bagi ISIS dan pengikutnya, juga seperti mimpi yang tiba-tiba jadi kenyataan?

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus