Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH seakan-akan tidak memahami mekanisme pasar ketika mencoba menurunkan harga daging di tingkat konsumen lewat penyediaan kapal pengangkut sapi. Penyediaan kapal itu jelas memotong biaya transportasi, tapi cara gampang ini bukan solusi jangka panjang yang sanggup memecahkan persoalan mahalnya harga daging di dalam negeri.
Pokok persoalan mahalnya harga daging adalah terbatasnya pasokan sapi dibandingkan dengan tingginya permintaan. Ini hukum pasar yang berlaku di mana saja. Maka pemerintah Jokowi semestinya berkonsentrasi memperbesar pasokan sapi potong. Peningkatan pasokan bisa dilakukan dengan menambah produksi sapi potong dalam negeri, misalnya dengan menciptakan sentra sapi potong berskala besar di beberapa daerah. Seandainya cara itu dianggap terlalu makan waktu, membuka pintu sapi potong impor bisa menjadi solusi sementara.
Dengan memahami persoalan itu, penyediaan kapal pengangkut sapi semestinya merupakan kebijakan yang dijalankan setelah pasokan sapi di daerah terjamin jumlahnya. Asumsi bahwa pasokan sapi di daerah selalu tersedia terbukti keliru ketika kapal itu lebih sering kosong ketimbang terisi sapi untuk dibawa ke Jakarta. Biaya operasional kapal kosong itu tentu lebih besar ketimbang pemangkasan ongkos transpor ketika kapal terisi. Tujuan menurunkan harga daging tingkat konsumen tidak tercapai.
Di lapangan, kekeliruan asumsi itu terlihat pada fakta bahwa sejak kapal yang diusulkan Presiden Joko Widodo itu hilir-mudik ke Indonesia bagian timur, hanya sekali kapal kembali ke Jakarta membawa sapi. Ini pun terealisasi berkat "improvisasi" aparat pemerintah daerah setempat, yang memaksa peternak melepas sapi mereka dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar.
"Intervensi" terhadap pasar sapi di daerah ini jelas merugikan peternak lokal. Peternak mengharapkan harga yang lebih tinggi lantaran harus membayar biaya macam-macam. Selain mengeluarkan biaya produksi, peternak harus menanggung biaya izin, biaya angkut sampai pelabuhan, belum lagi pungutan liar di jalan. Dengan dipatoknya harga oleh pemerintah, peternak lokal yang umumnya berskala usaha kecil akan terus merugi, terutama ketika harga pasar sedang tinggi.
Kerugian peternak pasti mempengaruhi kemampuannya menyediakan pasokan sapi lebih banyak. Bila kemampuan produksi petani tidak diperbaiki, produksi sapi lokal yang sudah sangat jauh dibandingkan dengan permintaan dalam negeri akan semakin turun. Kekurangan pasokan inilah yang memaksa pemerintah Jokowi membuka keran impor sapi demi menurunkan harga daging sapi dalam negeri—harga daging di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara.
Pemerintah menunjuk sejumlah pelaku sebagai pelaksana impor. Lisensi kepada mereka itu mengatur pula jatah atau kuota jumlah sapi yang boleh mereka masukkan. Apa boleh buat, pemerintah Jokowi akhirnya mengulangi kebijakan pemerintah sebelumnya. Lisensi ini pada masa lalu menjadi obyek jual-beli, juga lahan korupsi besar-besaran.
Jika pemerintah memang menghendaki harga daging yang terjangkau rakyat, tiada cara selain menambah pasokan sapi di dalam negeri. Memberdayakan peternak lokal, menciptakan sentra produksi skala besar di daerah, merupakan pilihan yang bisa diambil. Dalam jangka pendek, impor dengan pengawasan ketat bisa menjadi pilihan. Hanya dengan pasokan yang cukuplah kapal pengangkut sapi Jokowi tak akan pulang dengan muatan kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo