Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, Jumat, 1 Ramadan 1435 Hijriah. Di atas mimbar Masjid Raya Al-Nuri, Mosul, Abu Bakar al-Baghdadi memproklamasikan Negara Islam—sebagai ganti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Al-Baghdadi, yang menahbiskan diri sebagai khalifah, mengumumkan penghapusan garis perbatasan Irak dan Suriah karena dua negeri itu telah disatukan sebuah kekuatan besar, ISIS. Pada Ahad akhir Juni 2014 itu, ia mengundang kaum muslimin di seluruh dunia untuk bergabung.
Sejak perang saudara di Spanyol (1936) yang menyedot partisipasi sukarelawan antifasis dari dunia internasional, mungkin baru kali ini sebuah kelompok memiliki sukarelawan internasional dalam jumlah besar. ISIS memiliki serdadu internasional dari 30 negara.
ISIS revolusioner, internasional, dan suka mempertontonkan teror paling brutal—yang biasanya disembunyikan para tiran kejam sekalipun—lewat media sosial. Tempo menyarikan beberapa buku baru tentang gerakan ini, asal-muasal dan para pemimpinnya.
Baghdadi, Zarqawi, dan Bin Ladin
Mereka menyebutnya Universitas Jihad. Penjara—yang menutup pintu kebebasan para penghuninya dengan terali, tembok tinggi, dan penjaga garang berikut siksaan—itu membuka kemungkinan lebar untuk menyulap orang jadi mujahid nomor wahid.
Dalam dunia kontemporer Timur Tengah yang penuh teror dan kesumat, tersebutlah dua laki-laki lulusan universitas di hotel prodeo itu. Yang pertama adalah Abu Bakar al-Baghdadi—ia kemudian mengangkat dirinya sebagai khalifah di sebuah teritori yang disebut Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. Dan yang satu lagi pendahulu sekaligus panutan jihad Baghdadi yang telah tiada, Abu Musab al-Zarqawi.
Dua buku bertema sama yang terbit pada 2015 mendukung pendapat di atas. Black Flags: The Rise of ISIS karya Joby Warrick, pemenang Hadiah Pulitzer pada 1996, dan ISIS: Inside the Army of Terror, hasil kerja sama Michael Weiss dan Hassan Hassan, menggambarkan dengan jelas bagaimana penjara Irak mencetak dua pentolan jihad itu. Weiss adalah kolumnis di Foreign Policy, sedangkan rekannya, Hassan Hassan, analis di Delma Institute, Abu Dhabi.
Abu Bakar al-Baghdadi—lahir di Samarra, Irak, dengan nama Ibrahim Awad al-Badri pada 1971—adalah pemuda pendiam, berkacamata minus, yang dipastikan bakal memperoleh gelar doktor dalam yurisprudensi Islam, ketika invasi Amerika Serikat menggempur negeri itu pada 20 Maret 2003. Ia memang berbeda. Seorang anggota keluarganya melukiskannya "sangat pendiam, hampir-hampir kita tak pernah mendengar suaranya". Di masa remajanya di perumahan kelas menengah-bawah di Samarra itu, Al-Baghdadi gemar sepak bola, tapi tidak pernah menghabiskan waktu mengobrol bersama teman-teman seusianya.
Hidup Al-Baghdadi lurus dan ia memiliki dunia sendiri. Hameed, tetangganya di Samarra, mengenal Al-Baghdadi sebagai pemuda serius, selalu muncul dengan kitab agama pada keranjang belakang sepedanya. Sehari-hari ia memakai kopiah putih, "Tak pernah mengenakan setelan kemeja-celana sebagaimana anak-anak seusianya. Ia memelihara jenggot pendek dan selalu memakai baju koko terusan," kata Hameed, seperti dikutip Newsweek.
Namun ada dua hal yang layak dicatat tentang Al-Baghdadi: tak ada yang ragu akan kemampuan intelektual pemuda yang mempunyai minat besar dalam ilmu fikih dan tafsir itu; dan ia juga tidak pernah menunjukkan kecenderungan untuk melakukan kekerasan, apalagi kebrutalan—dua hal yang di kemudian hari senantiasa dilekatkan dengan kepemimpinannya.
Buku Black Flags: The Rise of ISIS memperlihatkan bagaimana invasi Amerika mengubah jalan hidupnya, dari calon profesor menjadi calon pemimpin tertinggi kelompok radikal dan militan yang paling brutal di dunia. Ia cepat bergabung dengan salah satu kelompok resistansi bersenjata, tapi beberapa bulan berselang tertangkap dalam sergapan di sebuah rumah di Fallujah. Tanpa ampun, pemuda 32 tahun yang menurut dokumentasi foto penjara kini sudah berjenggot lebat ini dijebloskan ke penjara yang paling ditakutkan di seantero Irak: Kamp Bucca.
Pada malam hari, jika dilihat dari satu titik ketinggian, kamp tahanan yang terletak di dekat perbatasan Irak-Kuwait ini tak ubahnya seperti Las Vegas: kota bermandikan cahaya di tengah padang pasir yang luas. Namun, pada kenyataannya, Kamp Bucca—perkampungan tahanan seluas 3.200 meter persegi yang dikelilingi pagar kawat berduri—merupakan sebuah tempat penampungan yang muram. Di sana ada 26 ribu tahanan hidup berjubel di bawah tenda-tenda raksasa. Keadaan bertambah buruk pada musim panas, tatkala suhu udara secara berkala merayap naik hingga 60 derajat Celsius.
Di sepanjang hari-hari yang berkeringat itu, survival of the fittest berlangsung dengan ketat, bahkan mematikan. Para opsir Angkatan Laut Amerika yang mengelola dan mengawasi kamp ini mengelompokkan tahanan menurut keyakinan agamanya—diakui atau tidak, dari sinilah awal radikalisasi yang paling revolusioner dan persuasif itu terjadi. Di lokasi Compound 30, tempat para tahanan Sunni menjalani hari-harinya yang panjang dan sarat konflik, hukum syariah ditegakkan tanpa kompromi, secara paksa, sering secara brutal.
Black Flags: The Rise of ISIS tak mengemukakannya dengan jelas, tapi pembaca yang jeli bisa menangkap bahwa di sinilah Al-Baghdadi yang tidak setangkas dan setrengginas para tahanan lain itu ternyata sanggup bertahan, bahkan kemudian menjadi sosok terpandang di antara penghuni Kamp Bucca. Suka atau tidak, tak ada yang bisa menggantikannya untuk memimpin salat berjemaah, menjawab pertanyaan-pertanyaan fikih, apalagi menafsirkan hukum syariat yang tertera di Quran dan hadis bagi komunitas muslim di sana. Dengan kecakapan itu, ia mulai mengenal simpul-simpul terpenting dalam jaringan mujahidin—termasuk Abu Muhammad al-Adnani, salah satu murid terdekat Abu Musab al-Zarqawi, yang kemudian dijadikannya wakil pemimpin sekaligus juru bicara ISIS beberapa tahun mendatang.
Sepuluh bulan mendekam di kamp tahanan yang acap kali dilanda kerusuhan itu, akhirnya, bersama sejumlah tahanan lain yang dinilai "tak berbahaya", lelaki yang menguasai bahasa Arab dengan baik itu dibebaskan. Melanjutkan cita-citanya dulu, Al-Baghdadi menikah, kemudian kembali ke kampus, menyelesaikan program doktoralnya dalam hukum Islam. Gelar yang didambakan belum lagi di tangan ketika kelompok resistansinya dulu mengajaknya bergabung kembali. Ia tak kuasa menampik. Sebuah nama besar yang dikenalnya, Abu Musab al-Zarqawi, sedang menghimpun kelompok-kelompok perlawanan di bawah satu payung organisasi, dan Al-Baghdadi, yang telah membuktikan kecakapannya di Kamp Bucca, diminta menjadi penasihat dalam urusan hukum syariah.
Al-Zarqawi, yang tak begitu fasih menyusun kata dalam bahasa Arab, memang dikenal suka bertukar pikiran dengan para ulama. Namun Al-Baghdadi, yang belum lagi berada di lingkaran paling elite organisasi itu, rupanya tidak banyak menarik perhatian. "Dia biasa memimpin salat berjemaah di masjid dekat rumahku. Tak ada yang memperhatikannya," ujar Ahmed el-Dabash, anggota kelompok militan Negara Islam Irak, kepada surat kabar London, Telegraph, pada 2004. Namun semua berubah total pada 2006, tatkala pesawat tempur Amerika menghancurkan rumah persembunyian Zarqawi, sekaligus menewaskan pemiliknya, pada Juni 2006.
Tak pelak lagi, persaingan diam-diam dalam tubuh Negara Islam Irak antara para pengikut setia Zarqawi dan para kolonel-mayor dari tentara Saddam Hussein mulai memperlihatkan pemenangnya. Perlahan tapi pasti, para pengikut Partai Baath itu mengisi posisi-posisi penting—dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat. Sekali lagi, dengan kedudukannya yang tak tergantikan—selaku pakar dalam hukum syariah—keberuntungan menghampiri Al-Baghdadi. Dari memimpin syariah di kota pertanian Al-Karma, di luar Fallujah, ia kemudian menjadi pejabat tinggi yang menangani urusan agama di Provinsi Anbar; dan terakhir pejabat tertinggi urusan syariah di tingkat pusat pada 2010.
Bintang Al-Baghdadi sebagai pejabat nomor tiga kini semakin terang, apalagi setelah serangan gabungan tentara Amerika dan Irak meratakan sebuah rumah persembunyian para pemimpin Negara Islam Irak di Tikrit dengan tanah. Hari itu, 18 Agustus 2010, Negara Islam Irak kehilangan dua pejabat tertinggi. Tapi peristiwa ini sekaligus melapangkan jalan kepada seorang pakar hukum syariah untuk menduduki posisi tertinggi organisasi.
Black Flags: The Rise of ISIS kemudian menyimpulkan bahwa Al-Baghdadi mungkin tidak memiliki pengalaman militer seperti Abu Muhammad al-Adnani, apalagi Abu Musab al-Zarqawi, tapi otoritas akademis dan penguasaan masalah syariah yang kuat membuat posisinya tak tersentuh. Tak mudah mendapatkan seorang ahli hukum syariah yang bisa memberikan legitimasi untuk tindakan brutal yang tak terbayangkan terjadi di zaman ini: penyembelihan, bom bunuh diri, memerangi orang-orang Syiah, atau menumpahkan darah sesama muslim. Al-Baghdadi tak cuma membolehkan kebiadaban itu terjadi, tapi juga membenarkannya dengan dalil agama.
"Bergegaslah ke negerimu, wahai kaum muslimin. Ya, ini negerimu. Suriah bukan lagi untuk warga Suriah, Irak bukan untuk warga Irak."
Hari itu, Jumat, 1 Ramadan 1435 Hijriah. Di atas mimbar Masjid Raya Al-Nuri, Mosul, khalifah Abu Bakar al-Baghdadi memproklamasikan Negara Islam (IS)—sebagai ganti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Al-Baghdadi mengumumkan penghapusan garis perbatasan Irak dan Suriah karena dua negeri itu telah disatukan sebuah kekuatan besar: ISIS. Paspor tidak lagi diperlukan untuk menyeberangi perbatasan yang diwariskan kolonialisme Inggris dan Prancis lebih seabad silam itu.
Menyampaikan khotbah Jumat dalam bahasa Arab pada akhir Juni 2014, seraya mengenakan jubah dan sorban hitam, Al-Baghdadi mendudukkan dirinya sebagai personifikasi seorang khalifah Abbasiah yang kekuasaannya terpusat di Bagdad, seribu tahun silam; juga sebagai Abu Musab al-Zarqawi, bapak pendiri ISIS yang telah tiada. Tentu bukan suatu kebetulan jika tepat di tempat ia berdiri memberi khotbah Jumat, Abu Musab al-Zarqawi dulu juga menyampaikan pidatonya yang menegaskan pandangan politiknya.
YA, sebelum Al-Baghdadi, ada Abu Musab al-Zarqawi. Sementara Al-Baghdadi berasal dari Bagdad, Irak, Al-Zarqawi berasal dari Kota Zarqa, 65 kilometer sebelah timur laut Amman, Yordania.
Namun, tidak seperti Al-Baghdadi yang terpelajar, dalam ISIS: Inside the Army of Terror, penulis Michael Weiss dan Hassan Hassan melukiskan Al-Zarqawi sebagai seseorang yang dengan susah payah menulis dalam bahasa Arab, dan intelektual kelas bulu. Di sekolah, ia bukan murid berprestasi. Ayahnya seorang mukhtar, pemangku adat yang keputusannya dihormati jika terjadi perselisihan di antara penduduk. Pada 1984, setelah ayahandanya berpulang, ia dikeluarkan dari sekolah, dan dalam waktu singkat menjadi pemabuk berat. Pada masa-masa inilah ia mencicipi hidup di penjara—lantaran kepemilikan obat terlarang dan serangan seksual.
Khawatir putranya terperangkap di dunia hitam selamanya, Um Sayel, ibunda Zarqawi, mendaftarkannya ke Masjid Husayn Ben Ali, Amman, untuk mengikuti kursus agama. Apa yang terjadi kemudian ternyata di luar dugaan: ia berubah total. Tapi, tidak persis seperti yang diharapkan sang ibu, Al-Zarqawi berkenalan dengan aliran Salafi, yang berkiblat pada perilaku para sahabat Nabi, pemurnian agama, dan tidak bersahabat dengan demokrasi ala Barat.
Atas dorongan ideologis itu dan semangat jihad menggelora, Zarqawi lantas bergerak menuju Afganistan untuk bahu-membahu dengan para mujahidin dari berbagai negara mengusir Tentara Merah Uni Soviet. Namun ia terlambat. Tentara Merah telah angkat kaki, sedangkan Afganistan mulai dikoyak perang saudara di antara kelompok mujahidin.
Zarqawi merasakan pahitnya penjara untuk kedua kalinya tatkala rencananya meledakkan bom dan menebar teror di Amman tercium Mukhabarat, polisi rahasia Yordania. Dia pun harus menghabiskan waktu yang panjang—15 tahun—di tahanan Swaqa. Di antara para tahanan di Swaqa, Zarqawi memperlihatkan karismanya yang luar biasa. Ia bisa mengatur segala jenis rutinitas di penjara yang dijaga sangat ketat itu. Seandainya lawan bicaranya menolak mentah-mentah pandangannya yang keras tentang syariat Islam, ia tak segan-segan menggunakan kekerasan sebagai instrumen persuasi yang paling efektif.
"Dia dapat memerintahkan para pengikutnya hanya dengan kedipan mata," kata dokter penjara yang bertugas kala Zarqawi di sana. Dari masa-masanya yang gelap dan melelahkan itu, Zarqawi kerap menggunakan kekerasan untuk mewujudkan keinginannya. Gayanya yang agresif acap kali membuat ia dipisahkan dari tahanan lain. Namun, di Swaqa, ia belajar banyak. Salah satunya: kekerasan sangat diperlukan agar orang bertindak sesuai dengan aturan.
Zarqawi dibebaskan pada 1999, ketika Raja Yordania menganugerahkan amnesti besar-besaran kepada para tahanan. Pada tahun yang sama, ia bertolak ke Afganistan untuk bertemu dengan orang yang selama ini ingin dijumpainya: Usamah bin Ladin. Tapi pertemuan itu, bagi Bin Ladin, rupanya tak meninggalkan kesan berarti. Dalam ISIS: Inside the Army of Terror, penulis Michael Weiss dan Hassan Hassan menunjukkan bahwa Bin Ladin yang puritan itu memperlihatkan sikap tidak senang pada tato yang menghiasi tubuh Zarqawi.
Sebenarnya Zarqawi telah berusaha keras menghapus tato yang dibubuhkan ke tubuhnya saat ia bertualang di dunia gelap sebelum menemukan panggilan hatinya pada ajaran Salafi yang diajarkan di Masjid Husayn Ben Ali, Amman. Ia telah menempuh berbagai cara, termasuk dengan asam klorida. Tapi sang tato tak juga sirna dari badannya. Dan kini Zarqawi merasakan akibatnya. Pertemuan dengan Bin Ladin yang juga dihadiri Ayman al-Zawahiri, orang kedua setelah Bin Ladin, itu tak menghasilkan apa-apa. Bin Ladin dan Zawahiri setuju: Zarqawi tak layak bergabung dengan Al-Qaidah.
Di Afganistan, di samping sibuk menjalin jaringan dengan para mujahidin, Zarqawi serius mengelola kamp latihan yang diharapkan jadi dapur pencetak mujahidin yang dipersiapkan terjun ke medan tempur. Sebuah kamp latihan sederhana yang didirikan di Kota Herat, Afganistan barat.
Sementara itu, hubungannya dengan Bin Ladin tak pernah lebih jauh dari "hubungan kerja" yang saling menguntungkan. Terlebih ketika Zarqawi kemudian menghalalkan aneka jalan kekerasan untuk menjangkau tujuan.
Tak bisa dihindari, dibandingkan dengan Zarqawi, Bin Ladin tampak seperti sosok moderat. Al-Qaidah cukup berharap agar orang-orang terkejut, bangkit, dan sadar akan pentingnya revolusi yang menjungkirbalikkan Barat setelah menyaksikan adegan dramatis seperti Peristiwa 9/11. Tapi ISIS lebih dari itu, seraya terus mengingatkan—bahkan menghantui—orang banyak dengan aneka teror yang menyentak: penyembelihan, bom bunuh diri, dan seterusnya.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo