Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Legenda Cergam Medan

Pada 1958-1963, cergam Medan muncul sebagai salah satu puncak kejayaan komik Indonesia. Peneliti Marcel Bonneff pernah menyebut masa singkat itu sebagai "zaman keemasan" komik di Tanah Air. Sebuah pameran di Bentara Budaya Jakarta, Desember lalu, menyuguhkan kenangan betapa komik Medan memiliki kekuatan estetika gambar, narasi sastrawi, kompleksitas cerita, dan tema yang beragam. Tempo menelusuri jejak kejayaannya dengan membaca kembali komik-komik tua periode Medan, mengunjungi sejumlah tempat yang membesarkannya, hingga membongkar arsip surat kabar dan majalah yang dulu memuatnya.

23 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA paket itu datang juga dari Malang, Jawa Timur. Isinya beberapa jilid komik tua periode Medan. Di antaranya Sri Putih Tjermin dan Dul Molek. Andy Wijaya, kolektor komik di Jakarta, mendapatkannya tahun lalu setelah ditawari pedagang lewat Facebook Messenger. Harganya Rp 5 juta.

Di Ciledug, Tangerang, komik Medan berjudul Mentjari Musang Berdjanggut terbitan Firma Harris akhirnya terpajang di lemari buku rumah Henry Ismono pada 2016. Henry, yang telah beberapa tahun memburunya, membeli komik itu Rp 1,5 juta.

Komik Medan kini semakin langka. Kalau dulu para kolektor bisa mendapatkannya setelah berburu di pasar buku bekas. "Sekarang susah. Biasanya kolektor menunggu ditawari pedagang atau kolektor yang hendak melepas," kata Henry.

Dalam pameran cergam Medan yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada pertengahan Desember 2016, Andy Wijaya, Henry Ismono, dan kolektor komik lain menampilkan sebagian koleksi mereka.

Komik tua periode Medan memang menjadi incaran kolektor komik. Ini karena komik Medan dipandang para pengamat memiliki ciri istimewa. Dari segi estetika gambar, komik ini memiliki kekhasan pada still life dan teknik arsirnya yang penuh. Dari sisi narasi, bahasa teks komik Medan cenderung sastrawi.

Ceritanya juga kompleks, dengan tema beragam, dari kisah kepahlawanan, perjuangan, fantasi, legenda daerah, humor, hingga kisah serius. Marcel Bonneff, peneliti Prancis yang menulis disertasi tentang komik Indonesia, menyebutkan periode komik Medan sebagai "zaman keemasan komik Indonesia". Komik ini tidak hanya beredar di Medan, tapi juga mampu menjangkau kota-kota kecil di Jawa.

Komik Medan merupakan sebutan yang mengacu pada komik yang diterbitkan dari Medan pada 1950-1960-an. Sebutan itu muncul belakangan dari para pembaca komik, kolektor, dan akademikus. Komikus Medan sendiri lebih suka menyebut dirinya "cergamis", dengan karya mereka sebagai "cergam"—cerita bergambar. Dalam salah satu pengantar majalah Tjergam edisi pertama Desember 1961 tertulis bahwa cergam bukan sekadar kata untuk menggantikan istilah komik yang berasal dari Barat, tapi merupakan pernyataan bahwa komik Indonesia memiliki kepribadian.

* * *

Perkembangan komik Medan tak terlepas dari peran surat kabar dan majalah. Koko Hendri Lubis, peneliti roman Medan, menyebutkan pada masa itu ada semacam istilah bahwa surat kabar yang terbit tanpa cergam "ibarat makan nasi tanpa gulai dan lauk-pauk".

Komik berseri pada masa awal ini antara lain komik Wak Gantang karya Saleh Husin, yang dimuat di harian Waspada. Belakangan, Wak Gantang ditiadakan setelah Saleh Husin pindah ke Jakarta. Selain itu, ada Adji Djole, yang diterbitkan oleh harian Mimbar Umum pada 1952. "Komik karangan Buyung Gandrung ini begitu populer sampai banyak yang mengira bahwa tokoh-tokohnya nyata," kata Amarzan Loebis, wartawan pada masa itu.

Buyung Gandrung adalah nama samaran Amir Hasan Lubis, jurnalis asal Pakantan, Mandailing, Sumatera Utara, yang mendirikan koran mingguan Mimbar Taruna. Dalam cergam itu, Adji Djole adalah seorang koruptor, istrinya orang yang sok kebarat-baratan yang bernama Siti Saleha, dan anaknya si Bedogol. "Komik Adji Djole ini menarik karena pada masa itu sudah bicara tentang antikorupsi," ujar Arswendo Atmowiloto, novelis dan pengamat komik.

Namun masa keemasan komik Medan sesungguhnya bermula dari terbitnya komik berseri Mentjari Musang Berdjanggut di harian Waspada pada 1958. Karya Taguan Hardjo yang diangkat dari kisah Melayu itu digemari pembaca. Tiras harian Waspada ikut terdongkrak karena populernya komik itu. "Oplah harian Waspada naik jadi 15 ribu eksemplar. Hanya beda 5.000 eksemplar dengan harian Indonesia Raya, yang skalanya nasional," kata Arswendo.

Ceritanya sendiri berkisah tentang Tun Utama, putra mahkota Negeri Sungai Parun, dan istrinya, Siti Sjarifah, yang harus berpisah sementara karena intrik baginda raja dan para pembesar istana yang ingin menyunting Siti Sjarifah. Dengan kecerdikan Siti Sjarifah, niat mertua dan para pembesar istana itu digagalkan.

Mentjari Musang Berdjanggut lantas dibukukan oleh Firma Harris dan meledak secara nasional. Sejak saat itu, cergam bersambung yang populer di surat kabar diterbitkan dalam bentuk buku. Dari sisi bisnis, komikus mendapat setidaknya dua kali upah dari satu karya. Penerbit juga tidak ragu membukukan komik yang telah terbit di surat kabar. "Surat kabar dan majalah berfungsi sebagai filter untuk menyaring karya-karya yang bagus," ujar Arswendo.

Banyaknya cergam populer yang dibukukan itu kemudian mengubah format buku komik di Medan menjadi format lanskap, mengikuti format memanjang komik berseri di surat kabar. Tapi tidak berarti komik-komik periode awal yang langsung terbit dalam bentuk buku dengan format portrait kualitasnya lebih rendah. Kapten Halilintar karya Bahzar, misalnya, merupakan karya yang orisinal dan dekat dengan keseharian masyarakat.

Karya ini sesungguhnya mengikuti tren tema superhero yang sedang populer dalam komik-komik Jawa. Namun Bahzar, yang lebih dulu dikenal sebagai pelukis, mampu menangkap kondisi sosial-ekonomi sebagai latar yang kuat.

Alkisah, pemuda desa Husin mendapatkan kekuatan super setelah menemukan batu akik di dalam buah kelapa yang pohonnya disambar geledek. Tiap kali menelan batu akik itu, dia berubah menjadi Kapten Halilintar. Karena di desa tak banyak kejahatan, Husin pindah ke kota. Tapi, sebelum berangkat ke kota, dia berubah menjadi Kapten Halilintar untuk membajak sawah dengan pacul pada malam hari.

Bahzar Sou'yb termasuk "cergamis" yang paling luas menggarap tema cergam. Dia membuat kisah superhero, petualangan rimba, antariksa, detektif, cerita lokal, hingga horor. Dia juga mengasuh majalah Tjergam dan Putera Madju. Menurut Koko Hendri Lubis, Bahzar sempat kewalahan memenuhi tenggat sehingga dia merekrut Arry Darma dan Loethfi Asmoro sebagai asisten.

Henry Ismono, yang menulis buku Lintasan Cergam Medan, menduga komik silat Bahzar yang berjudul Langlang Buana mempengaruhi Ganes T.H. dalam mencipta Si Buta Dari Gua Hantu. Sebab, keduanya memiliki plot yang mirip: Iman, tokoh dalam Langlang Buana, setelah mendapatkan ilmu dari gurunya bertemu dengan ular raksasa.

Sedangkan Barda Mandrawata setelah mengalahkan si Mata Malaikat jatuh ke jurang dan bertemu dengan ular raksasa. Setelah ular raksasa ditaklukkan, Iman masuk ke gua orang sakti dan belajar ilmu silat dari aksara dinding. Barda juga demikian. Dia memperdalam dengan mempelajari silat dari relief di gua.

Meski memiliki plot yang mirip, kedua komik ini tumbuh dari akar yang berbeda. Si Buta belajar silat karena ingin membalas dendam, Iman justru sebaliknya, dia belajar silat untuk membela negeri—prinsip dasar ilmu bela diri dalam budaya Minangkabau. Inilah salah satu ciri khas yang menjadi keunggulan komik Medan: kuatnya warna lokal.

Zam Nuldyn adalah komikus Medan yang setia pada tema lokal. Puluhan komiknya banyak berangkat dari legenda kawasan atau cerita daerah, seperti Kisah Gunung Toba, Ratu Karimata, dan Dewi Krakatau. Hikmat Darmawan, pengamat komik, menjelaskan bahwa kekuatan Zam ada pada detail gambar. "Gambarnya seperti lukisan. Imajinasinya tentang hewan fantasi juga luar biasa," kata Hikmat, yang menikmati detail karya Zam dengan menggunakan kaca pembesar.

Zam terbilang komikus yang perfeksionis. "Kalau gambarnya tercoret sedikit saja, dia bisa merobek kertas dan mengulangnya dari awal," kata Koko Hendri Lubis. Konsentrasi Zam tak boleh terganggu manakala melukis. Dan itu berarti keheningan total. Dentingan sendok jatuh saja bisa mengganggu konsentrasinya.

Adik Zam, Djas, mengambil langkah yang berbeda dengan abangnya. Djas tak pernah menggarap tema legenda kawasan atau cerita daerah. Dia justru menggarap tema keseharian dengan tradisi dan budaya yang kuat, seperti Dja Ultop, yang diterbitkan berseri di harian Mimbar Umum pada 1958. Ada juga kisah masa lalu hasil kreativitasnya, seperti Mawar dan Wak Bendil.

Delsy Syamsumar juga menjadi salah satu "cergamis" periode Medan. Pelukis sekaligus penata artistik film-film nasional itu sesungguhnya hijrah ke Jakarta sejak 1955. Komik-komik tentang pahlawan nasional yang diterbitkan Penerbit Gerak dia gubah dan dikirimkan lewat pos ke Medan.

Tino Sidin, pelukis dan guru gambar yang mengisi acara Gemar Menggambar di TVRI setiap pekan pada 1980-an, termasuk komikus Medan. Karya Harimau Gadungan mengungkap praktek penipuan menggunakan mitos harimau jadi-jadian di Sumatera Barat.

Adapun Arry Darma dikenal lewat genre komik komedi. Lewat enam judul Kelowor, Arry Darma memotret dan mengkritik problem sosial-ekonomi. Lalu komikus M. Ali's banyak mengeksplorasi cerita daerah.

Ciri menonjol lain dari komik Medan adalah ambisi sastrawi. Sebagian besar komik Medan memisahkan sisi gambar dan teks. Gambar dikelola dengan detail, selesai, minim ruang kosong. Pilihan kalimat dalam teks bahasa cenderung sastra. Simak saja kalimat pembuka dalam Morina karya Taguan Hardjo:

Kisah ini dimulai pada suatu senja di pesisir sebuah negeri Melayu yang dijajah Portugis. Debu mengepul di sinar surya yang akan bernaung ke tepi laut. Sementara dua orang meninggalkan pantai.

Gambar dari deskripsi itu adalah dua lelaki yang memacu kuda di pinggir pantai. Pada panel berikutnya, dua lelaki berkuda itu digambar dari sudut yang berbeda. Narasinya seperti bacaan novel: ... untuk menempuh jalan lebih pendek, mereka memotong ke hutan, menerjang segala rintangan. "Tahu pasti kau, bahwa ayahku menyebut namaku?" tanya lelaki terdepan.

Morina boleh dibilang ambisi Taguan Hardjo dalam berkarya. Dalam komik dua jilid terbitan Firma Harris pada 1962 itu, Taguan memberi istilah "nopel (novel) bergambar". Istilah yang mengacu pada graphic novel, yang baru populer di Amerika Serikat lebih dari satu dasawarsa kemudian. Gambar dan teks sama-sama penting. Salah satunya tak boleh lebih unggul daripada yang lain.

Kompleksitas dan kemahiran bercerita juga menjadi kekuatan komik Medan yang tak terbantahkan. Komik Batas Firdaus karya Taguan, misalnya, mengambil tema yang menghadapkan rasio dan etika. Dikisahkan seorang ayah dan anak perempuannya terdampar di pulau tak berpenghuni. Saat itu dunia di ambang kehancuran. Perang dunia dan radiasi nuklir telah memusnahkan hampir semua manusia di muka bumi. Keduanya kemungkinan besar merupakan dua manusia terakhir di planet ini.

Persoalan menjadi rumit ketika hasrat melanjutkan keturunan muncul. Konflik ini dikelola dengan baik oleh Taguan. Kemunculan makhluk lain di pulau itu membentuk ketegangan baru. Belakangan, "makhluk lain" itu menjadi solusi dari persoalan yang ada. Sebab, dia adalah perempuan dewasa.

* * *

Komik Medan tak hanya unggul di kota-kota besar di Sumatera dan Jawa, tapi juga menyebar hingga ke kota kecil seperti Ambarawa, Jawa Tengah. Model distribusi komik pada waktu itu tergantung kekuatan agen, toko buku, dan jaringan taman bacaan yang tumbuh subur. "Tingkat keterbacaan tinggi. Bisa jadi lima kali oplahnya," kata Arswendo Atmowiloto.

Tingginya minat terhadap komik Medan membuat banyak komikus memiliki kesibukan tinggi. Mereka mengerjakan banyak judul dalam satu waktu. Itu belum termasuk aktivitas mereka mengelola majalah komik mingguan. Jumlah komikus era Medan ini tak banyak, tak mencapai 20 orang, tapi ruang kreatif mereka dekat dan karya mereka menyebar di Indonesia.

Toh, era komik Medan juga tak lepas dari masa-masa gelap. Tumbuhnya citra negatif komik sebagai "bacaan yang berbahaya bagi pembentukan karakter" pada awal 1960-an sempat mempengaruhi bisnis penerbitan Kota Medan. Terbitnya Majalah Tjergam dan Putera Madju merupakan cara "cergamis" Medan meredam citra negatif komik.

Pada 1965, gonjang-ganjing politik menggoyang bisnis penerbitan komik Medan. Koko Hendri Lubis menjelaskan pada masa itu harga kertas melonjak tinggi dan sulit dicari, sehingga penerbitan buku komik sempat terhenti. Di koran-koran lokal, halaman komik juga terpaksa dihapus untuk memberikan ruang yang lebih besar pada berita.

Ketika stabilitas politik-ekonomi kembali normal setelah 1965, komikus Medan dihadapkan pada persoalan baru: selera pasar telah berubah. "Kekosongan produksi komik berpengaruh pada pasar," kata Koko. Komik genre silat karya Ganes T.H. dan Jan Mintaraga juga mulai menguasai pasar. Marcel Bonneff dalam disertasinya memiliki teori lain: komik Medan tak memiliki penerus.

Apa pun penyebabnya, kejayaan komik Medan (1958-1963) telah berakhir. Namun para komikusnya tidak hilang. Taguan Hardjo masih aktif berkarya. Komiknya Mati Kau Tamaksa diterbitkan Penerbit Harris pada 1968. Kelanjutan cerita komik itu, Bukit Emas dan Rahasia Ratu Sebelah, diterbitkan oleh Penerbit Rajawali Jakarta.

M. Ali's hijrah ke Jakarta dan menjadi ilustrator di koran Pos Kota. Karya-karya lamanya masih dicetak ulang oleh Ermar Press di Bandung. Adapun Arry Darma dan Djas mengubah tema komik mereka menjadi silat, sesuai dengan tren. Karya mereka diterbitkan di Bandung. Tentu dengan format portrait, mengikuti kecenderungan.

Belakangan, para penggemar komik memulai gerakan untuk memperkenalkan kembali karya-karya unggul komik Medan. Andy Wijaya lewat Anjaya Books menerbitkan ulang karya-karya unggul komik Medan. Di antaranya Dewi Krakatau karya Zam Nuldyn. Karya lama dipindai lalu dipertajam dengan bantuan komputer sebelum dicetak ulang. Soal hak cipta, "Kami sudah mendapatkan izin dari keluarga komikus."

Amandra M. Megarani (Jakarta), Sahat Simatupang (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus