Udara dingin menjelang tengah malam mempercepat Kuta terperosok dalam kesunyian. Kawasan yang dulu selalu ingar-bingar dan dipadati ribuan orang itu, Kamis pekan silam, hanya menyisakan segelintir orang. Mereka umumnya berasal dari luar Bali, yang hanya ingin melongok lokasi kejadian bom Bali 12 Oktober. Beberapa pekan terakhir, bahkan TEMPO menyaksikan serombongan turis Jepang yang sibuk memotret lokasi Paddy's Café dan Sari Club, yang kini bak lapangan kosong yang berisi beberapa karangan bunga yang telah layu. Terlihat para pelayan restoran dan butik sepanjang Legian hanya berdiri di muka pintu, menanti kedatangan pengunjung.
Sejak dibuka kembali 1 November lalu, kawasan maut itu memang berubah menjadi obyek tontonan. Pengunjung memang leluasa hilir-mudik. Sebab, tak ada lagi polisi atau tim forensik yang wara-wiri melakukan penjagaan ketat dan mengumpulkan barang bukti. "Kami memang tidak lagi melakukan pengamanan khusus di lokasi," kata Kepala Kepolisian Daerah Bali, Brigjen Budi Setyawan. Namun, menurut dia, kawasan ini bisa saja diperketat kembali bila polisi hendak melakukan rekonstruksi penelusuran kembali penemuan bukti dan fakta baru.
Kini, bak Ground Zero Bali, dua tempat hiburan itu telah rata dengan tanah. Ribuan ton puing bangunan telah dibuang ke laut. Operasi Karya Bakti Terpadu, yang dipimpin Letkol Infanteri Komarudin Simanjuntak, membawahkan 1.400 orang yang terdiri dari TNI, polisi, dan masyarakat, bekerja siang malam untuk memunguti puing itu. Upacara pemarisudha karipubhaya pun telah digelar pada 15 November lalu. "Melalui upacara pensucian ini, masyarakat tidak lagi menganggap Bali, khususnya lokasi ledakan bom, sebagai tempat kotor secara niskala," kata Wakil Gubernur Bali, I.G.B. Alit Putra.
Usaikah duka itu? Ternyata belum. Sebagian masih menganggap perlu untuk membuat semacam monumen di lokasi tragedi itu. Usul itu diajukan oleh Bali Tourism Board (BTB) dan didukung warga desa adat Kuta. Kehadiran sebuah monumen akan menjadi kenang-kenangan agar peristiwa itu tidak terulang. Selain itu bisa menjadi obyek ziarah bagi keluarga korban. "Itu juga akan mendukung pemulihan citra Bali," kata Ketua BTB, Putu Agus Antara.
Pembangunan monumen memang menjadi salah satu ide yang muncul terhadap bekas ledakan nan dahsyat itu. Tapi suara yang menolak juga muncul. Misalnya dari Ketua Kadin Bali yang juga Ketua PHRI Bali, I Gde Wiratha. Menurut pemilik Paddy's Café yang kini rata dengan tanah itu, sebuah monumen bisa menghasilkan kenangan yang buruk mengenai peristiwa tersebut. Menurut dia, lebih baik masyarakat Legian dan Kuta berusaha melupakan kenangan atas tragedi itu.
Adapun pemerintah sendiri memilih bersikap menunggu. "Masalah itu masih sebatas wacana. Kalau memang mau direalisasikan, kami siap memfasilitasi, tentunya nanti berkoordinasi dengan berbagai pihak, khususnya Pemerintah Daerah Badung, yang membawahkan wilayah itu," kata Wakil Gubernur Bali, Alit Putra.
Sesungguhnya, jauh sebelum bom meleduk, Pemda Badung telah memiliki acuan penataan Kuta, yakni hasil kajian Strategic Structural Plan for Kuta (SSPK), yang didanai Bank Dunia. Konsepnya ideal sekali. Kawasan ini akan menjadi kawasan bebas kemacetan dan kesemrawutan, plus dengan jaminan bebas banjir, karena drainase di kawasan ini akan ditata ulang. Singkat kata, turis bakal betah berleha-leha di sana.
Kuta sendiri selama ini terkesan sangat padat. Di sini berjejalan permukiman, pariwisata, dan bisnis. Setidaknya, hingga kini terdapat 68 hotel berbintang, 232 hotel melati, dan 75 homestay, yang jumlahnya hampir separuh dari seluruh penginapan di pulau ini.
Nah, setelah semua berubah, akan seperti apakah bekas ledakan itu? Belum ada rencana apa-apa. Salah satu sebabnya, apa lagi kalau bukan soal hepeng. Sialnya lagi, berbagai pihak dari luar negeri yang sebelumnya berkoar akan melungsurkan duitnya, sampai sekarang belum lagi terdengar kerincingannya.
Rofiqi Hasan (Kuta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini