Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda dengan UU Penyiaran, khususnya tentang klausul adanya sensor dan pencabutan izin? (29 November - 6 Desember 2002) | ||
Ya | ||
38,5% | 400 | |
Tidak | ||
59,5% | 618 | |
Tidak tahu | ||
1,9% | 20 | |
Total | 100% | 1.038 |
JAYALAH penyelenggara negara yang tidak becus, tidak perform, serakah, dan koruptif.” Ini kondisi yang dikhawatirkan Leo Batubara, Koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia, bakal timbul akibat adanya Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Penyebabnya, dalam rancangan yang telah disahkan DPR akhir bulan lalu itu terdapat sejumlah ketentuan yang ia nilai akan mengintervensi dan mengontrol penyiaran. Misalnya, adanya Komite Penyiaran Indonesia (KPI) yang berwenang menyensor dan mencabut izin penyiaran.
Sensor dan pencabutan izin adalah momok bagi pers. Cara itulah yang dipakai Orde Baru untuk membungkam kreativitas dan kebebasan kalangan tersebut. UU Penyiaran baru ini bukan mustahil dipakai untuk hal serupa. Sebab, menurut Leo, tujuan strategis undang-undang itu adalah memperlemah independensi dan mematikan kebebasan pers. Buntutnya, ”Kontrol pers terhadap praktek-praktek bad governance akan tumpul,” kata dia berapi-api. Dalam urusan ini, para pekerja pers elektronik berada di belakang Leo.
Keberatan Leo terhadap sensor dan pencabutan izin itu segendang sepenarian dengan hasil jajak pendapat www.tempointeraktif.com. Sebanyak 59,5 persen dari 1.038 responden menyatakan tidak setuju dengan UU Penyiaran, khususnya tentang klausul adanya sensor dan pencabutan izin. Sedangkan yang setuju ada 38,5 persen.
Menanggapi kekhawatiran itu, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Mu’arif menjawabnya. Katanya, UU Penyiaran hanya mengatur dua jenis sensor, yakni sensor terhadap iklan dan film. ”Itu pun self censorship. Sedangkan isi pemberitaan dan program acara tak disensor,” kata dia. Sementara itu, agar KPI tak terlalu berkuasa, termasuk sewenang-wenang mencabut izin, kalangan DPR minta agar komite itu benar-benar independen dan dilakukan pengawasan intensif.
Jajak Pendapat Pekan Depan: Bersama-sama sujud syukur, itulah ekspresi kelegaan warga Aceh menyambut lahirnya Perjanjian Penghentian Permusuhan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) awal pekan lalu. Maklum, isi perjanjian yang diteken di Jenewa, Swis, itu cukup menjanjikan. Antara lain, kedua pihak setuju menghentikan kekerasan untuk selamanya, menghentikan permusuhan saat ini juga, dan melihat permusuhan sebagai masa lalu.
”Allah mengabulkan doa kami,” ujar Rahmat, salah satu warga Aceh, di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ia—juga warga yang lain—layak melakukan itu karena sejak perseteruan RI-GAM pecah, sudah ribuan orang meregang nyawa. Wajar jika pasca-perjanjian damai, mereka berharap masa kelam itu tak terulang. Harapan itu disertai rasa khawatir. Dua tahun lalu, upaya penyelesaian konflik serupa dengan nama Jeda Kemanusiaan sempat diteken wakil RI dan GAM di Davos, Swiss. Nyatanya? Hasilnya memble. Aksi-aksi berdarah masih saja meruyak. Nah, berdasarkan pengalaman itu, sebuah pertanyaan besar layak diajukan: ”Apakah perjanjian damai RI-GAM di Jenewa, Swiss, bisa menciptakan kedamaian yang langgeng di Aceh?” Apa pun jawaban Anda, suarakan lewat www.tempointeraktif.com. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO surat-pembaca surat-dari-redaksi angka kutipan-dan-album kartun etalase event Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |