DUA sosok lelaki berdiri tegak didepan papan tulis. Tangan mereka tampak asyik mencorat-coret bidang kosong di hadapan mereka. Suryadi dan Lukman Hasan, dua pria itu, merupakan tersangka pengebom Restoran McDonald's dan ruang pamer mobil milik keluarga Haji Kalla, di Makassar, Sulawesi Selatan, pada malam takbiran 5 Desember lalu, yang menewaskan tiga orang.
Sayang, pemandangan langka di sebuah ruangan Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Rabu pekan silam itu hanya berlangsung sekejap. Aparat tak membolehkan wartawan mendekati kedua tersangka yang tengah memberikan keterangan kepada tim penyidik. Polisi mengaku peranan kedua tersangka itu dalam aksi "takbiran berdarah" di Makassar itu cukup penting.
Coba dengar pengakuan Suryadi, 32 tahun. Dari mulut bapak dua orang anak ini, polisi memperoleh banyak informasi menyangkut anggota jaringan pengebom pada akhir Ramadan tersebut. Sejauh ini Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Inspektur Jenderal Firman Gani, telah mengantongi sepuluh tersangka. Tiga di antaranya, Agung Abdul Hamid, Hizbullah Risyad, dan Dahlan, masih dalam pengejaran aparat.
Sisanya telah masuk sel tahanan polisi. Di situ ada Masnur, Ilham, Muchtar Daeng Lau, Usman, Lukman Hasan, dan Suryadi. Sedangkan Azhar Daeng Salam, tersangka pembawa bom, tewas dalam ledakan di McDonald's. Jumlah ini, menurut Firman, bisa membengkak hingga 20 orang. "Itu bergantung pada hasil pengembangan pemeriksaan para tersangka," kata Firman.
Saat menangkap Suryadi, polisi boleh dibilang tak perlu memeras keringat terlalu banyak. Ia kebetulan telah berada di tahanan polisi jauh-jauh hari sebelum bom yang diduga dibawa Azhar itu meledak. Suryadi dicokok polisi pada pertengahan November lalu, gara-gara terlibat dalam aksi penganiayaan terhadap Said di Hotel Celebes, Manado, Sulawesi Utara.
Begini ceritanya. Malam itu, rupanya, Suryadi ingin menukarkan sejumlah uang ringgit Malaysia di kantongnya kepada Said, yang dikenalnya sebagai calo money changer. Ia lalu datang ke hotel bersama Abdillah alias Once. Sayangnya, Said cuma menyediakan uang tunai Rp 1 juta. Jumlah ini jauh di bawah permintaan Suryadi sebesar Rp 8 juta. Mereka bertiga lantas terlibat cekcok mulut yang berakhir dengan baku pukul. Said, yang terdesak dan sempat disandera dua jam, kemudian berteriak-teriak minta tolong dari tempat transaksi mereka di kamar nomor 22.
Teriakan Said mengundang perhatian petugas hotel. Mereka segera menghubungi pos polisi terdekat di kompleks pelabuhan Manado. Aparat keamanan lantas menyeret Suryadi ke kantor polisi. Sedangkan Once keburu kabur. Belakangan, dalam pemeriksaan, Suryadi mengaku tak hanya terlibat aksi penganiayaan Said. Yang bikin kaget polisi, ia juga mengaku kenal Imam Samudra alias Abdul Aziz, salah satu tersangka otak pengebom Bali yang menewaskan 186 orang pada Oktober silam.
Polisi berpikir: Suryadi jelas bukan tokoh sembarangan. Berbekal pengakuan ini, menurut Sekretaris Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara, Ajun Komisaris Polisi Wilson Damanik, Suryadi lantas diterbangkan ke Jakarta pada 27 November lalu. Tim investigasi bom Bali di Markas Besar Kepolisian RI kemudian mengambil alih penyelidikan terhadap Suryadi.
Keterangan Suryadi tentang jaringan Imam Samudra menjadi bekal bagi polisi untuk membuka kemungkinan adanya hubungan antara kelompok pengebom Makassar dan Bali. Kepala Kepolisian RI, Jenderal Da'i Bachtiar, mulai menduga-duga adanya kaitan serupa. "Walaupun belum utuh, mulai jelas terlihat, jaringan kedua kelompok tersebut," katanya.
Bukti konkretnya belum ada. Indikasinya cuma pada fakta: sejumlah anggota kedua kelompok itu sebelumnya telah saling kenal. Karena itu, Inspektur Jenderal Firman masih hati-hati. Ia mengaku hingga kini belum memperoleh dokumen otentik atau bukti yuridis lainnya yang bisa menjelaskan hubungan antara dua jaringan maut dari Makassar dan Bali tersebut.
Tapi ada petunjuk awal untuk diselidiki. Firman menunjuk Moro, wilayah hunian mayoritas muslim di Filipina Selatan, yang kemungkinan pernah dijadikan sebagai salah satu tempat jaringan pengebom Bali dan Makassar untuk bertemu. Firman tak asal menuding. Optimismenya bersumber dari Suryadi. Jebolan sebuah fakultas teknik di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan ini mengaku merupakan alumni kamp latihan militer di Moro.
Gara-gara nyantrik ilmu perang di "padepokan" para pejuang muslim Moro itulah Suryadi belakangan kenal dengan dua tersangka pengebom Makassar lainnya: Muchtar dan Usman. Dua orang ini merupakan rekan sesama alumni Suryadi dari Moro. Usman datang lebih dahulu ke kamp pelatihan itu pada 1989. Lantas disusul oleh Muchtar. Dan terakhir Suryadi. Pada tiap angkatan, lamanya pendidikan bisa mencapai dua hingga enam bulan.
Firman menambahkan, ketiga alumni Moro ini belakangan tidak sekadar merencanakan pengeboman di Makassar. Berdasarkan penguasaan atas jaringan pemilik senjata di Filipina Selatan itu, mereka pernah berniat mendatangkan senjata dari Moro ke Indonesia. Kendati begitu, Suryadi, yang dikenal juga dengan nama panggilan Adi, belum sempat melaksanakan permintaan Muchtar karena keburu terjaring polisi di Hotel Celebes.
Aksi Suryadi di hotel inilah, belakangan, diduga polisi sebagai bagian dari peranan dia dalam jaringan pengebom Makassar. Ia juga mengaku turut melakukan perampokan toko emas di Manado. Dari hasil jarahannya, menurut Firman, Suryadi ikut gotong-royong mengongkosi rencana peledakan restoran cepat saji dan ruang pamer mobil milik keluarga Haji Kalla.
Pengumpulan dana dengan cara merampok bukan barang baru bagi para tersangka teroris. Jika aksi Suryadi benar, berarti anggota jaringan di Makassar juga melakukan tindak kekerasan serupa dengan Imam Samudra alias Abdul Aziz. Kelompok Aziz juga pernah merampok sebuah toko emas di Serang dengan nilai kerugian sekitar Rp 400 juta—tapi Aziz mengaku hanya mendapat Rp 30 juta. Uang ini disebut-sebut untuk memperkuat kocek mereka sebelum meledakkan Sari Club dan Paddy's Café di Legian, Kuta.
Namun menuding Suryadi terlibat dalam kelompok Imam gara-gara melakukan aksi perampokan di Manado tampaknya terlampau gegabah. Apalagi detail kasus perampokan yang dituduhkan polisi terhadap Suryadi hingga kini belum jelas. Tak mengherankan apabila istri Suryadi, Siti Armi R. Kotta, 34 tahun, dan ayah Suryadi, Sersan Mayor (Purnawirawan) Mas'ud, kepada Muannas dari Tempo News Room serta-merta membantah seluruh tuduhan polisi.
Satu-satunya titik terang keterlibatan Suryadi, dalam aksi kejahatan, ya, baru berupa penganiayaan terhadap Said tersebut. Kepala Pusat Pengendalian Operasional Kepolisian Daerah Sulawesi Utara, Komisaris Besar Mathius Salempang, menegaskan: dalam catatannya, Suryadi tak cuma terlibat penganiayaan tapi juga perampokan terhadap Said di Hotel Celebes.
Tapi dugaan ini mudah ditepis. Bukankah uang tunai yang jadi sumber keributan toh tak seberapa untuk sebuah rencana besar peledakan di Makassar? Firman Gani masih mendalami kasusnya. Polisi harus bisa mengungkap kebenaran peran Suryadi yang disebut-sebut sebagai bandar atau penyokong dana bom Makassar. Dan, yang tak kalah pentingnya, benarkah Suryadi berperan pula dalam kelompok Imam Samudra. Lagi-lagi bukan perkara mudah untuk dicek silang dan dibuktikan.
Widjajanto, Tomi Lebang, Syarief Amir, Verrianto Madjowa (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini