Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Abdul Aziz: "Rachman Dapat Diberhentikan Sementara"

Apa saja yang sudah diakui Imam Samudra di depan polisi?

8 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak dua pekan yang lalu, Abdul Aziz—nama asli Imam Samudra— diterbangkan ke Bali. Mulai akhir pekan lalu, tersangka utama bom Bali berusia 32 tahun ini diperiksa. Aziz kabarnya cukup akomodatif. Bahkan sesekali ia menyelipkan gurauan segar dengan melontarkan jawaban dalam bahasa Bali. Sekali waktu, saat menjawab satu pertanyaan, Aziz mulai dengan santai menjawab, "Tiang…." Kontan si pemeriksa, yang bukan berasal dari Bali, terkejut. Aziz mengulangi jawabannya, "Tiang, ya saya, (Tiang dalam bahasa Bali berarti saya)," jawabnya. Kontan tawa pun meledak di ruangan berukuran sekitar 3x4 meter itu. Ternyata, gurauannya itu tanpa batas. Saat I Made Mangku Pastika, yang tiba-tiba masuk ruang pemeriksaan, Aziz pun mengguyoni Ketua Tim Penyelidik Bom Bali itu. Dia menjawab pertanyaan Pastika dengan bahasa Bali. Kamar pemeriksaan pun kembali bergemuruh. Dari manakah dia mengumpulkan kata-kata itu? "Dia itu pintar sekali, daya tangkap dan ingatannya luar biasa. Hanya dengan sekali mendengar, dia langsung bisa ingat," kata seorang sumber yang sering mengikuti pemeriksaan. Soal kecerdasannya memang bukan menjadi kabar baru dari ayah empat anak itu—hasil dari pernikahannya dengan Zakiah Dradjad, delapan tahun silam. Kecerdasannya itu setidaknya terpancar dari sorot mata. Selama pemeriksaan, sorot matanya tetap tajam. Matanya bagaikan mesin pemindai ketika membaca kembali berkas berita acara pemeriksaan yang dilakukan beberapa hari sebelumnya di Jakarta. Sekejap, puluhan pertanyaan plus jawabannya sendiri itu lumat dibacanya. "Ya, saya tidak akan mengubahnya," katanya kepada polisi yang memeriksanya. Setelah itu, ia menyerahkan berita acara pemeriksaan yang belum selesai itu kepada tim pengacaranya. Aziz langsung menjabat erat sambil menggumamkan sebaris doa dalam bahasa Arab. Cara berjabatnya unik. Setelah bersalaman, dia langsung menggenggam tangan lawannya persis seperti dalam permainan panco. Selama dalam pemeriksaan, dia tidak menolak panggilan Imam Samudra, meski dalam beberapa pemeriksaan sebelumnya dia menyatakan lebih suka dipanggil dengan Abdul Aziz—yang menurut dia merupakan pemberian dari orang tuanya. Mendekam di dalam tahanan sejak ditangkap di Merak, Banten, pada 21 November, membuat kulit Aziz terlihat putih dan bersih. Selain itu, masih menurut sumber ini, penampilan Imam kali ini terlihat lebih ramping. "Saya tengah menjalani puasa Syawal," katanya. Malah, ia akan melanjutkan dengan puasa seperti Nabi Daud, yakni berpuasa penuh selama 40 hari. Satu hal yang membuatnya gelisah adalah ia tidak memiliki akses terhadap bacaan. Sumber TEMPO bilang, Abdul Aziz sempat meminta pada keluarganya untuk dibawakan Al-Quran tafsir Ibnu Qatsir, sebanyak empat jilid. Namun, polisi yang memeriksanya tidak mengizinkan hal itu. Kenapa? Dikhawatirkan, setelah membaca buku ini Abdul Aziz bisa menghilangkan diri…. Kondisi sel tempat penahanannya sendiri terlihat memprihatinkan. Aziz dikurung dalam sebuah ruangan kecil berukuran 2x3 meter. Di bagian atasnya terdapat lubang angin. Untuk tidurnya, hanya disediakan sehelai karpet tipis berwarna hijau dan sebuah bantal. Hanya sebuah kitab Al-Quran yang menemaninya. Yang istimewa, ruangan dan terali besinya baru dicat. Ruangannya dicat hijau, sedangkan teralinya cokelat tua. Namun kondisi itu sama sekali tak membuatnya mengeluh. Yang dikeluhkannya justru soal makanan. Dia mengaku risi—karena makanan yang disantapnya dibuat oleh juru masak bukan orang muslim. Dalam pemeriksaan yang pertama, menurut sumber, Aziz mengenakan baju tahanan Polda Bali dan celana pendek serta bersandal jepit berwarna hijau. Dia duduk di kursi menghadap para pemeriksanya. Sebuah Al-Quran kecil di sampingnya selalu. Pemeriksaan berlangsung selama kurang lebih dua jam. Lambat. Pertanyaan diulang-ulang, kemampuan penguasaan komputer polisi juga menyedihkan. Akhirnya, beberapa kali Aziz malah membantu mengoperasikan komputer. "Misalnya, dia mengajari cara men-save dengan cara yang lebih cepat," katanya. "Pakai Ctrl-S, Pak," kata Imam. Alhasil, dengan keadaan seperti itu, Aziz memiliki banyak waktu. Sampai-sampai ia sempat berusaha menggerakkan mouse menghindari munculnya screen saver yang menutup layar monitor pemeriksa. Saat azan berkumandang, seperti biasa, dia meminta untuk break agar pemeriksaan dihentikan. "Saya salat dulu," katanya. Pemeriksaan pun dihentikan. Aziz diizinkan untuk melakukan salat asar. Aziz ke luar ruangan dengan dikawal beberapa petugas polisi yang bersenjata lengkap. Apa saja yang sudah diceritakan Aziz? Apa perannya dalam kasus bom Bali? Berikut keterangan yang dihimpun TEMPO. Muasal Tertarik pada Jihad Setelah lulus dari Madrasah Aliyah Negeri I Serang pada 1990, Imam mengaku mulai tertarik mempelajari jihad. Itu terjadi karena dia melihat tidak tegaknya syariat Islam di negeri ini. Kemudian ia mempelajari beberapa buku yang mengupas soal jihad, di antaranya tentang Darul Islam, jihad Afganistan melawan Rusia. Pada saat itu, ia rajin mendatangi pengajian. Sampai akhirnya, pada 1990 juga, saat mengikuti pengajian di Dewan Dakwah Islam di Masjid Al-Furqon, di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, dia bertemu dengan Jabir—yang mengaku berasal dari Bandung (belakangan dia ditemukan tewas dalam kasus bom di Bandung). Pertemuannya dengan Jabir itu dianggap Imam sebagai terkabulnya doa yang selama ini dipanjatkannya: ingin terjun berjihad. Namun, menurut Imam, Jabir tidak begitu saja menerima permohonannya untuk bisa ikut berjihad. Berkali-kali ia ditanya tentang ketegasan niatnya itu. Imam menjawab "siap". Sebagai buktinya, dia meninggalkan kesempatannya untuk melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sastra Arab Institut Agama Islam Negeri—tempat Aziz diterima tanpa melalui tes, program yang dikenal sebagai penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Satu hal yang disampaikan Jabir kepada Imam, untuk berjihad dia harus memakai uang sendiri dan tidak ada satu orang pun—termasuk keluarga—yang boleh mengetahui rencana jihadnya. Imam langsung merayu ibunya, Ibu Embay, untuk memberinya uang yang menurut Imam akan dipakai untuk biaya bersekolah di Malaysia. (Dalam pengakuan Ibu Embay, uang yang dipakai itu merupakan hasil penjualan beberapa perhiasan yang dimilikinya). Kepergian ke Afganistan Setelah mendapat uang dari ibunya, Imam mengurus segala keberangkatannya. Dia pergi ke Malaysia dengan menggunakan paspor yang dikeluarkan kantor imigrasi Jakarta Utara. Semua keperluan itu sudah diurus oleh seseorang. Sekitar akhir tahun 1990, dia pun berangkat ke Malaysia dengan mengambil rute perjalanan darat menumpang bus umum dari Jakarta ke Dumai. Sesampai di Dumai ia menyeberang ke Malaysia dengan menggunakan feri. Di Malaysia, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taksi ke sebuah hutan yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan kaki. Tujuannya ternyata sebuah masjid yang dilengkapi dengan perpustakaan kecil. Di sana dia bertemu dengan beberapa orang yang dialeknya seperti orang Bugis dan Bandung. Selama beberapa hari berada di sana, kegiatan yang dilakukan adalah melancarkan hapalan Al-Quran dan melakukan latihan fisik. Tak lama berselang, Imam melakukan perjalanan ke Karachi, Pakistan, melalui Bandar Udara Subang. Sesampainya di sana, dia dijemput oleh seseorang menuju sebuah rumah. Di tempat ini, kembali niatnya untuk berjihad dipertanyakan: Apa niat yang melandasi hanya semata karena Allah atau hanya mencari popularitas. Imam menjawab lillahi taala, semata karena Allah. Beberapa hari kemudian, mereka melanjutkan perjalanannya ke perbatasan Pakistan-Afganistan. Dari sanalah ia, melalui jalan tidak resmi, masuk ke Afganistan. Hingga akhirnya mereka tiba di Khost, Afganistan, dan menuju sebuah kamp. Selama tujuh bulan dia berada dalam kamp itu untuk menjalani pelatihan menembak dengan senjata M-16, pistol, latihan menjinakkan ranjau, dan granat. Seusai mengikuti latihan, Imam pun bersama beberapa orang lainnya dikirim ke front peperangan. Rencana dan Ide Bom Bali Abdul Aziz mengaku ide peledakan di Bali sepenuhnya berasal dari dirinya. Tujuan utamanya, menurut dia, tak lain untuk melakukan pembelaan terhadap kaum muslim atas serangan yang telah dilakukan teroris Amerika Serikat dan sekutunya. Sasaran dari peledakan bom Bali ini adalah orang-orang murtad dan orang-orang kafir. Tapi, sebisa mungkin menghindari sedikit mungkin korban dari kaum muslim dan bangsa Indonesia pada umumnya. Soal Australia menjadi sasaran bom juga, menurut dia, karena Negeri Kanguru itu dianggapnya bertanggung jawab atas lepasnya Timor Timur yang disebutnya sebagai bagian dari konspirasi salibis internasional. Persiapan pengeboman di Bali ini dilakukan melalui empat kali rapat di Solo. Peserta rapat itu adalah kelompok Serang dan kelompok Jawa Timur. Idrislah yang menentukan tempat dan jadwal pertemuan mereka di Solo itu. Soal pemilihan anggota tim yang terlibat dalam bom ini, menurut Aziz, dilakukan karena mereka telah mengetahui kemampuan masing-masing dalam melakukan jihad. Pengalaman mereka telah teruji di berbagai medan jihad di daerah konflik, misalnya di Ambon. Pembagian Tugas Bom Bali Dalam peledakan bom ini, Abdul Aziz mendapat tugas menjelaskan tindakan ini dalam hukum Islam dan menetapkan strategi yang akan dilakukan. Sedangkan Idris alias Jhoni Hendrawan bertugas mencari dana dan menyediakan akomodasi. Tugas mencari dan mendapatkan bahan peledak dibebankan kepada Amrozi. Bahan-bahan peledak itulah yang kemudian diracik dan dirakit Dulmatin menjadi sebuah bom. Abdul Aziz mengaku tugas merakit bom itu dilakukan Dulmatin (belakangan terdapat perakit lain, Umar Kecil) karena dirinya mengaku tidak mengerti cara merakit bom. Dana Bom Bali Dana peledakan bom ini didapatkan dengan cara merampok Toko Emas Elita di Serang, Banten. Menurut Imam, tindakan perampokan bank ini bukan perbuatan dosa, karena merupakan tindakan mengambil kembali dana milik umat (fai). Selanjutnya, uang hasil rampokan yang Rp 30 juta itu diberikan kepada Imam melalui Abdul Rauf, yang mentransfer ke rekening milik Idris. Imam sendiri menerima uang itu secara kontan. Uang itulah yang kemudian dipakai untuk membeli bahan-bahan peledak, mobil, dan motor yang dipakai dalam pengeboman di Kuta. Namun belakangan ia sama sekali tidak tahu kenapa Amrozi membeli mobil L-300—yang menjadi kunci terbongkarnya pekerjaan mereka. Bom Bunuh Diri Sebenarnya Imam Samudra menyanggupi untuk melakukan bom bunuh diri di Paddy's Café. Namun, kata pemuda asal Serang itu, Iqbal menyatakan bersedia untuk menjadi martir. Akhirnya diputuskan, Iqbal yang melakukannya. Sedangkan empat orang pemuda lainnya, yaitu Abdul Rauf alias Sam, Andi Hidayat alias Agus, Junaedi alias Amin, dan Andri Octavia alias Yudi, meskipun menyatakan siap, menurut Imam, mereka telah memiliki tugas sendiri untuk berangkat ke Ambon. Cara yang ditempuh Iqbal, dia masuk ke dalam bangunan kafe itu dengan menggendong tas ransel yang berisi satu kilogram TNT dengan menghubungkan sakelar ke dalam TNT tersebut. Setelah masuk ke dalam sasaran, barulah kenopnya ditekan. Pada peledakan bom itu, Aziz mengantarkan Iqbal dengan menggunakan sepeda motor yang dibelinya di Bali. Perasaan Aziz melihat korban bom Bali "Mengerikan, sangat mengerikan," kata Imam. Dia mengaku sama sekali tidak menyangka bahwa ledakannya begitu banyak menimbulkan korban. Imam mengaku mengetahui berita peledakan itu dari internet. Pada saat ledakan, ia berada di Jalan Teuku Umar, dekat Libi Supermarket. Dia berada di sana setelah mengantar Iqbal ke Paddy's Café dengan mengendarai sepeda motor. Dari situlah ia melihat korban-korban yang jatuh itu. Aziz mengaku kaget dengan kekuatan ledakan itu. Pasalnya, dia hanya tahu bahan-bahan yang dipakai untuk mengebom itu adalah TNT dan potasium, yang hasil ledakannya tak begitu dahsyat. Namun ternyata ledakannya begitu dahsyat dan banyak menimbulkan kematian dan kehancuran bangunan. Tapi dengan tegas ia menyatakan bahwa dirinya hanya takut kepada Allah. Meskipun menimbulkan kematian banyak orang, bila yang meninggal itu bukan muslim, Aziz mengaku merasa bersyukur. Hubungan Aziz dengan Ali Gufron alias Muchlas Imam Samudra mengaku tidak mengenal Muchlas. Dan dalam kelompok ini, menurut Imam, mereka tidak bekerja sama dengan Muchlas. Dari kelompok Jawa Timur, dia hanya berhubungan dengan Idris dan Amrozi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus