Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI perubahan terbesar dalam politik Indonesia: setelah 59 tahun merdeka, akhirnya rakyat memilih presidennya secara langsung. Tonggak sejarah itu memang tidak jatuh dari langit. Tidak dengan sim salabim. Desakan dari masyarakat sudah lama terdengar, namun tergilas oleh deru mesin politik Orde Baru yang hanya menghendaki satu nama presiden untuk waktu yang terlalu panjang.
Akumulasi keinginan rakyat untuk mempunyai presiden yang disokong langsung itu ditampung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga yang diketuai Amien Rais itu kemudian mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945. Amendemen satu sampai empat UUD 45 itu penting karena telah mengakhiri wewenang diri MPR sendiri sebagai lembaga politik dengan kekuasaan memilih presiden. Kuasa memilih presiden pun berpindah ke tangah rakyat—bukan lagi wakil-wakil rakyat.
Realisasi perpindahan itu tak segampang membalik telapak tangan. Rapat maraton diadakan berbulan-bulan untuk merampungkan rancangan undang-undang pemilu legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan dewan perwakilan daerah. Adalah Agustin Teras Narang, seorang pengacara, yang memimpin panitia khusus untuk dua perangkat hukum sangat penting tadi. Ia sangat bangga. ”Kami merasa telah menyumbangkan sesuatu untuk republik ini,” kata Teras.
Bersama Teras ada Ferry Mursyidan Baldan, wakil ketua panitia khusus, dan Lukman Hakim Syaifuddin serta Patrialis Akbar, dua dari 50 orang anggota panitia khusus yang banyak kebagian tugas penting dalam proses penyusunan perangkat hukum bersejarah itu. Panitia mulai bekerja pada Agustus 2002 setelah UUD 45 diamendemen. Momen paling penting, yaitu disepakatinya pemilihan presiden langsung, baru terjadi dalam amendemen keempat pada 2002.
Sesungguhnya, usul ini sudah muncul sejak 1999 dari beberapa fraksi di MPR, misalnya Fraksi Golkar, yang disambut mayoritas fraksi anggota Panitia Ad Hoc I MPR. Yang bertahan hanya PDI Perjuangan, karena menganggap rakyat belum sepenuhnya siap dengan sistem baru itu. Slamet Effendy Yusuf dan KH Yusuf Muhammad (kini almarhum) adalah dua anggota yang rajin melobi PDIP. Akhirnya dalam amendemen keempat PDIP bisa menerima perubahan ”radikal” itu.
Tinggallah urusan DPR untuk bekerja. Lebih dari separuh anggota MPR dalam panitia ad hoc tadi bersalin baju dan bergabung dalam panitia khusus RUU Pemilu di DPR. Mereka sengaja dipilih karena pengalaman membahas materi yang sama di MPR. Draf RUU Pemilu pun disiapkan pemerintah.
Jalan tak mulus, rupanya. Empat bulan panitia bekerja, tapi draf urusan belum rampung juga. Debat berkepanjangan. Tak ada satu kalimat pun dalam rancangan pemerintah yang tak dipertanyakan. Semua dikuliti satu-satu. ”Tujuh puluh lima persen rancangan pemerintah berubah,” kata Teras Narang.
Dari luar gedung DPR, lembaga swadaya masyarakat dan partai politik pun gencar mengirim kritik. Kalangan luar DPR itu merasa arah pembahasan panitia khusus menguntungkan partai-partai politik besar. Misalnya soal batas keikutsertaan dalam pemilu (electoral threshold), audit keuangan, dan syarat pencalonan. Sebagian usul diterima, tapi banyak yang dianggap angin lalu. ”Usul kami tak dipedulikan,” kata Hadar Gumay, Wakil Direktur Center for Electoral Reform, lembaga swadaya masyarakat yang bergiat memperbaiki sistem pemilu.
Tapi banyak hal dari draf pemerintah yang diubah di DPR. Pemerintah ingin menerapkan sistem distrik murni, tapi akhirnya berubah menjadi sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka. Upaya penyamaan persepsi dilakukan lewat debat dan lobi. Tapi tak urung, sembilan pasal ditetapkan dengan voting. ”Baru RUU ini yang dilakukan voting pasal per pasal,” tutur Lukman. RUU pun diundangkan menjadi UU Nomor 12 Tahun 2003.
Pembahasan RUU Pemilihan Presiden relatif lebih cepat. ”Kerangkanya sudah terbentuk dalam pembahasan RUU Pemilu,” ujar Teras. Untuk mempercepat pembahasan, sidang-sidang maraton berlangsung hingga dini hari. Kadang perdebatan cukup bermutu, namun kadang mereka bersitegang leher hanya karena soal diksi dan titik koma. Akibatnya, waktu dua setengah bulan ludas untuk menuntaskannya.
Yang menjadi ganjalan bermacam. Misalnya syarat menjadi calon presiden. Para anggota panitia khusus mengajukan syarat yang sesuai dengan kondisi ”jago”-nya. Ada yang mengajukan syarat, calon presiden cukup lulus SMA. Ada yang menghendaki calon tak pernah menjadi tersangka, ada yang mengajukan syarat sehat jasmani dan rohani.
Dagang sapi? Tak semua fraksi setuju. ”Mayoritas warga negara Indonesia memang hanya lulusan SMA,” Ferry mengajukan pembelaan atas usul yang muncul. Akhirnya, pada Juli 2003, RUU itu diketuk menjadi UU Nomor 23 Tahun 2003.
Indonesia pun maju selangkah dalam berdemokrasi. Rakyat memilih langsung presidennya tanpa huru-hara dan setetes darah tumpah. Seorang presiden pun terpilih dari proses baru ini. Ternyata, tak seperti ditakutkan sebagian politisi, rakyat sangat siap menghadapi perubahan besar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo