Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lelucon di Ujung Penyidikan Perkara

Kepolisian dan KPK akan rapat koordinasi sebelum supervisi perkara yang melibatkan Firli Bahuri. Penetapan tersangka tertunda.

11 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua KPK Firli Bahuri memberikan keterangan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,3 Februari 2022. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polda Metro Jaya urung menetapkan tersangka Firli Bahuri, Jumat kemarin.

  • Polda Metro Jaya mengikuti permintaan KPK dengan bersedia melakukan rapat koordinasi bersama.

  • Para ahli hukum menilai sudah cukup bukti untuk menetapkan Firli sebagai tersangka.

JAKARTA – Proses penetapan tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap pejabat Kementerian Pertanian semakin berlarut-larut. Setelah Polda Metro Jaya merampungkan pemeriksaan saksi yang mengarah pada keterlibatan Ketua KPK Firli Bahuri, KPK tiba-tiba mengundang penyidik Polda untuk menggelar rapat koordinasi, Jumat kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan pihaknya tidak bisa memenuhi undangan rapat koordinasi tersebut karena mereka mempunyai agenda lain. “Kami minta penjadwalan ulang di pekan ketiga November ini,” katanya, Jumat, 10 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ade mengatakan rapat koordinasi itu merupakan tindak lanjut atas permintaan Polda Metro Jaya agar KPK melakukan supervisi penyidikan perkara korupsi pemerasan oleh pimpinan KPK terhadap pejabat Kementerian Pertanian. Namun Ade tidak mengetahui tujuan rapat koordinasi yang mendahului supervisi itu. “Nanti pihak KPK bisa ditanyakan terkait dengan kegiatan rapat koordinasi ataupun dengar pendapat yang dimaksudkan,” kata dia.

Polda Metro Jaya sesungguhnya sudah dua kali bersurat ke KPK yang berisi permintaan agar lembaga itu mensupervisi penanganan perkara korupsi tersebut, yaitu pada 11 dan 24 Oktober lalu. Namun KPK tak merespons surat tersebut hingga Polda meminta Dewan Pengawas KPK meminta KPK mensupervisi penyidikan perkara di kepolisian.

Permintaan supervisi ini merupakan tindak lanjut setelah Polda Metro Jaya menaikkan status pengusutan perkara pemerasan pimpinan KPK itu ke tahap penyidikan. Dalam perkara ini, Firli Bahuri diduga memeras Syarul Yasin Limpo, Menteri Pertanian saat itu, pada 2022.

Direktur Alat Mesin Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Hatta adalah sosok yang membeberkan kepada penyidik Polda Metro Jaya mengenai pemberian uang kepada Firli hingga berbagai pertemuan Syahrul dan Firli pada awal Oktober lalu. Pemberian uang itu berawal dari komunikasi antara Kepala Polrestabes Kota Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar dan Syahrul pada Juni 2022. Irwan merupakan kerabat Syahrul. Ia juga pernah menjadi anak buah Firli di Polda Nusa Tenggara Barat pada 2017. 

Awalnya Irwan menyampaikan bahwa KPK tengah mengusut suatu dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian. Selanjutnya, Irwan dan Syahrul bertemu, lalu bersama-sama ke kediaman Firli. Mereka diduga bertemu di rumah yang beralamat di Jalan Kertanegara Nomor 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Hatta juga membeberkan pertemuan Firli dan Syahrul di gedung olahraga bulu tangkis di kawasan Mangga Besar, Jakarta, pada Desember 2022. Saat itu, Firli tengah bermain bulu tangkis di sana. Foto pertemuan keduanya ini sudah tersebar di media sosial.

Kepada Tempo, Irwan mengakui adanya pertemuan Firli dan Syahrul pada 2021, tapi bukan pada 2022 seperti keterangan Hatta. Irwan juga membantah tudingan adanya pemberian uang ke Firli.

Pertemuan mereka terjadi saat Deputi Pengaduan Masyarakat KPK tengah menangani laporan dugaan korupsi di Kementerian Pertanian. Laporan itu sampai ke Deputi Pengaduan Masyarakat pada 2019. Lalu Deputi Pengaduan Masyarakat merekomendasikan penanganan laporan tersebut ke Kedeputian Penindakan atau naik ke tahap penyelidikan pada pertengahan 2021. 

Meski rekomendasi itu berlangsung pada pertengahan 2021, surat perintah penyelidikan perkara baru terbit pada awal Januari 2023. Penyelidikan perkara ini berlanjut hingga penetapan tiga tersangka pada 26 September lalu. Ketiga tersangka itu adalah Syahrul Yasin Limpo, Muhammad Hatta, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya sengaja mengundang Polda Metro Jaya dan Mabes Polri untuk menggelar rapat koordinasi, Jumat kemarin. Rapat koordinasi itu merupakan langkah awal atas permintaan supervisi perkara dari Polda Metro Jaya. 

Ali beralasan bahwa rapat koordinasi penting dilakukan karena ada syarat-syarat dalam peraturan presiden dan Undang-Undang KPK yang mengatur proses supervisi perkara. Berbagai ketentuan supervisi ini akan dibahas dalam rapat koordinasi tersebut. 

“Tapi memang ada surat tidak bisa hadir dan akan dijadwal ulang,” kata Ali.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan proses supervisi seharusnya tidak mempengaruhi ataupun menghalangi penetapan tersangka. Adapun tujuan supervisi hanya untuk mengontrol perkara secara kualitatif. Karena itu, kata dia, Polda Metro Jaya tetap dapat menetapkan tersangka yang mendahului pelaksanaan supervisi.

“Karena pada dasarnya kewenangannya melekat pada Polda,” kata Fickar.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, sependapat dengan Fickar. Zaenur menyarankan Polda Metro Jaya menetapkan tersangka lebih dulu, lalu menggelar supervisi dengan KPK. Sebab, perkara yang ditangani Polda ini rentan konflik kepentingan dengan pimpinan KPK, khususnya Firli Bahuri.

“Kalau dari sekarang dilakukan supervisi, justru ada potensi konflik kepentingan karena yang sedang diperiksa adalah pimpinan KPK itu sendiri,” kata Zaenur.

Menurut Zaenur, jadwal pelaksanaan supervisi ini menjadi sangat penting dalam penanganan perkara korupsi di Polda tersebut. Ketika Polda menetapkan Firli sebagai tersangka lebih dulu, otomatis mantan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri itu akan nonaktif dari jabatan pimpinan KPK. Dengan demikian, Firli tak mungkin menyalahgunakan kewenangan ataupun mempengaruhi perkara. 

Ia menilai supervisi itu sesungguhnya berdampak positif buat KPK. Selain untuk kepentingan transparansi penanganan perkara, KPK bisa mengoreksi lingkup internalnya sehingga tidak ada lagi pimpinan ataupun pegawai yang bertemu dengan pihak bepekara.

Penyidik kepolisian membawa koper yang bertulisan “barang bukti kertanegara nomor 46” saat melakukan penggeledahan di rumah Ketua KPK Firli Bahuri di Jalan Kertanegara, Jakarta, 26 Oktober 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Penetapan Tersangka Mundur

Empat sumber Tempo di kepolisian mengatakan penetapan tersangka terhadap Firli Bahuri dalam perkara dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo seharusnya dilakukan Jumat kemarin. Sebab, penyidik Polda sudah menuntaskan semua pemeriksaan saksi, bahkan sudah mengklarifikasi berbagai barang bukti yang diperoleh saat penggeledahan rumah sewa Firli di Jalan Kertanegara Nomor 46, Jakarta Selatan.

Mereka mengatakan hasil pemeriksaan saksi-saksi sudah menguatkan bahwa Firli terbukti melanggar Pasal 36 dan 65 Undang-Undang KPK. Pasal 36 mengatur larangan pimpinan KPK berhubungan dengan pihak beperkara di KPK. Kemudian Pasal 65 mengatur pidana maksimal 5 tahun penjara atas pelanggaran Pasal 36.

Keterangan saksi juga sudah cukup mentersangkakan Firli dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal ini mengatur pidana paling lama 20 tahun penjara bagi penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan.

“Pasal gratifikasi (Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Korupsi) seharusnya sudah terpenuhi juga dengan klarifikasi ke Alex Tirta,” kata penegak hukum ini. 

Alex Tirta yang dimaksudkan adalah Tirta Juwana Darmadji pemilik Hotel Alexis. Alex diduga sebagai penyewa rumah di Jalan Kertanegara Nomor 46.

Ade Safri menjawab diplomatis ketika dimintai konfirmasi mengenai rencana penetapan tersangka Firli, Jumat kemarin. “Nanti kami beri update berikutnya, tapi yang jelas proses penyidikan masih terus berlangsung,” kata Ade. “Kami jamin penyidikan akan berjalan profesional, transparan, dan akuntabel.” 

Dua sumber Tempo di kepolisian dan KPK menduga Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto belum menandatangani surat penetapan tersangka Firli karena tersandera perkara Muhammad Suryo, pengusaha yang disebut-sebut dekat dengan Karyoto.

Suryo diduga menerima sleeping fee sebesar Rp 9,5 miliar dari rekanan lelang proyek pembangunan jalur ganda kereta api Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso KM 96+400 sampai KM104+900 (JGSS 6). Fakta tersebut terungkap dalam persidangan para terdakwa kasus suap di Direktorat Jenderal Perkeretapian Kementerian Perhubungan itu, di antaranya pejabat pembuat komitmen Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan.

KPK sudah melakukan gelar perkara penyelidikan perkara Suryo ini dan diputuskan naik ke tahap penyidikan. Namun pimpinan KPK belum menandatangani surat perintah penyidikan kasus tersebut hingga kini.

Zaenur Rohman mengatakan sikap Polda Metro Jaya yang kini terkesan mengulur-ulur penetapan tersangka mengundang pertanyaan publik. Sebab, penyidik Polda sudah melalui semua tahapan penyidikan, dari pemeriksaan saksi, penggeledahan, penyitaan, mendengar keterangan ahli, hingga pemeriksaan Firli Bahuri. “Ini menimbulkan tanda tanya, ada apa?” kata Zaenur.

Menurut Zaenur, Polda Metro Jaya semestinya segera menetapkan tersangka agar terhindar dari tudingan bahwa Karyoto tersandera kasus Suryo di KPK. Di samping itu, KPK seharusnya profesional dalam menangani perkara Suryo.

“Keduanya mesti memproses secara profesional menurut hukum tanpa ada yang ditutup-tutupi,” ujar Zaenur. “Kalau memang sudah cukup alat bukti, ada bukti permulaan yang cukup bahkan, maka, ya, silakan segera ambil sikap.”

Peneliti dari Pukat UGM lainnya, Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan semakin berlarut-larutnya penanganan kedua kasus korupsi tersebut justru kian menimbulkan kecurigaan publik. “Jika keduanya sama-sama mengulur, tentu menimbulkan pertanyaan publik yang besar,” katanya.

EKA YUDHA SAPUTRA | DESTY LUTHFIANI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus