TIDAK rotan akar pun jadi, kata sebuah pemeo. Dan di Irian Jaya, tidak ada mariyuana, ternyata lem bisa menjadi biang bencana. Ini kini melanda para murid SD dan SMP di Manokwari. Si bocah Robert, misalnya, kecanduan merekat dirinya untuk bisa sampai di awang-awang alias teler. Anak sulung dari lima bersaudara ini duduk di kelas I sebuah SLTP. Ia sering melihat tetangganya teler. Remaja dan orang dewasa teler akibat bir di sana, kabarnya, sudah lumrah. Meski tergiur meniru, Robert belum mampu. Orang tuanya hanya petani yang hidup pas-pasan. Suatu ketika dicobanya jalan lain. Tak jelas dari siapa ia memperoleh caranya, tapi, dengan menggunakan jenis perekat kayu atau karet, Robert merasa mampu melayang ke mana-mana. Tanpa perlu disebut mereknya, harga sekaleng kecil lem itu di sana Rp 1.000. Untuk bisa membelinya, Robert membelokkan jatah dua bulan uang sekolahnya. Ia tak mencoba bir. Selain harga bir minimal Rp 2.500 dan dianggap kurang cepat bikin teler, menurut Robert, lem bisa dipakai lama. "Juga mudah dibagi pada teman sekelas," tuturnya. Pertama kali menghirup aroma sangit lem itu, hidungnya perih dan napasnya tersengal. Dicobanya lagi, hingga tubuhnya serasa kapas tertiup angin. Lalu, ya, ketagihan. Maka, kecanduan sengatan hawa kimia lem itu dinikmatinya -- bukan hanya di rumah, tapi juga waktu istirahat di sekolah, bersama enam kawannya sekelas. Ketika kembali ke kelas mereka teler semua. Guru pun pusing. Mereka lalu dihukum jemur. Lain lagi dengan Niko, 13 tahun. Murid kelas V SD ini sampai merampas lem simpanan Yulius. Sedangkan Yulius menghematnya karena ia mendapatkannya dari kaleng sisa di sebuah perusahaan mebel. Ribut. Kedua anak petani itu akhirnya teler juga: bukan lantaran menghirup lem, tapi kena cambuk wali kelasnya. Setelah memberi hukuman jemur dan cambukan itu, guru yang bersangkutan malahan takut sendiri. Mereka lalu raib untuk menghindari reaksi para orang tua murid yang dihukum tadi. Itu menurut cerita burung. Tapi menurut B. Supomo, Kepala Kantor P & K Kabupaten Manokwari, kepergian para guru tersebut untuk mengurus gaji. "Kalau tidak diurus, gaji bisa-bisa hilang dan kenaikan golongan tertunda terus," katanya kepada Mochtar Touwe dari TEMPO. Gawat. Urusan murid kecanduan lem teler belum tertanggulangi, ganjalan lain rupanya adalah urusan gaji dan pangkat yang lumayan belantara pula. Ternyata, tak ringan untuk menjadi guru di kawasan provinsi berhutan lebat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini