SENIMAN, kata orang, singkatan senang imajinasi, alias suka aneh-aneh. Contohnya, kejadian di Desa Sekarjalak, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dalam sebuah hajatan yang diselenggarakan Mohammad Zuhri, 52 tahun, awal Januari lampau. Sastrawan produktif ini, karyanya, antara lain, Langit-Langit Desa, dan Kasidah Cinta -- kumpulan puisi. Aktif di ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setempat, dan membidani lahirnya ICMI di Universitas Brawijaya, Malang, ia juga pendiri dan pembina Pesantren Budaya Bangsa di Bandung dan di desanya, Sekarjalak. Pada suatu hari, ia diundang menjadi pembicara di sebuah seminar di Juwana. Ketua panitianya, Pasudi Bedek, 32 tahun, pematung lulusan ASRI Yogyakarta, anak pengusaha besar kerajinan kuningan di Kabupaten Pati, dan karyanya sudah masuk pasar mancanegara. Datang ke seminar itu, Zuhri mengajak putrinya -- Jumala Eva Candra, 24 tahun. Itu sudah setahun berlalu. Beda dengan ribuan seminar lainnya, kali ini ada hasil kongkret dari sang seminar. Yakni, Pasudi mempersunting Jumala. Sibuk. Petugas dari kantor desa harus bolak-balik ke kantor urusan agama setempat. Sebab Pasudi menulis tempat kelahirannya: Indonesia. "Buat administrasinya, kan repot," kata si petugas. Tiba hari pernikahan, upacara nyaris batal. Tuan Kadi menaruh keberatan patung yang jadi mahar, yang terbuat dari kuningan disepuh emas murni. "Patung itu sama dengan berhala. Ada hadis yang melarangnya sebagai maskawin," ujarnya. Tak kurang dari 200 tamu jadi gelisah. Suasana tegang. "Ini tidak sama dengan berhala," sambut Zuhri. Alasannya, menurut si calon mertua, patung seberat 1,5 kg buatan calon menantunya itu bentuknya bukan berupa sosok manusia, hewan, atau pohon. "Jadi, tidak bertentangan dengan agama," dai ini memberi kata kunci. Lebih jauh diuraikannya, perlambang yang tersirat pada si patung: mengenai cinta kasih, rukun Islam yang lima, dan kaitan tinggi 17 cm dengan kewajiban salat 17 rakaat. Jadi, kalau biasanya di kalangan seniman ada semacam sikap ongas alias congkak yang tidak mengharuskan orang lain memahami karyanya -- tapi mampu apa tidak menikmatinya -- maka sekali ini tak dapat lain perlu upaya pembedahan rinci mengenai sebuah karya seni, sebutlah begitu, sampai Tuan Kadi manggut-manggut, tanda setuju. Pesta yang digelar sampai dinihari itu dihadiri sekitar 800 tamu, melebihi jumlah undangan. Mungkin lantaran ada daya tarik khas, yakni hiburan dari berbagai kota, seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Jombang, dan Surabaya, disamping seniman lokal. Misalnya grup teater Pesantren Budaya Barzah Bandung, sanggar teater Salahudin UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta, sanggar Titian Muhibah Yogyakarta, Lembaga Swadaya Masyarakat Lepas Jombang, LP2M Tulungagung, Sanggar Muda Surabaya. Mereka menampilkan kebolehannya di pesta yang dinamakan Haflah Lailatul Anwar atau malam seribu cahaya ini. Sejumlah nama beken juga diundang, tapi tak hadir, kecuali sastrawan Najib Kertapati dan Akhlis Kertapati. Zuhri juga mengundang para pengemis dan pengamen dari pasar Bulumanis. Menu hidangan terdiri dari makanan khas Pati, seperti nasi gendul, sate kambing, lontong tahu, wedang coro. Sebagian cukup dimasak di dapur berjalan. Ya, mereka mendatangkan penjual barang masak itu, dan tamu bebas memilihnya. "Meski habis Rp 7 juta, kami puas menghibur warga desa terpencil ini," kata Zuhri kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO.Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini