Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hamlet, mengoreksi banyak masalah

Rendra memilih naskah shakespeare ini lagi, karena ia melihat kisah yang berlatar belakang feodalisme ini cocok dengan suasana kita saat ini. selain itu, ia ingin mengetengahkan pemain-pemain baru.

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMLET mestinya berusia sekitar 20 tahun. Anak muda itu pulang ke Denmark setelah lulus dari Universitas Wittenberg, demikianlah naskah pujangga Inggris William Shakespeare. Maka, ketika Rendra memerankan Hamlet pada tahun 1976, pada waktu ia berusia 41 tahun, salah satu kritik mengatakan, Hamlet-Rendra terlalu arif, seolah ia sudah menyelesaikan pergulatan batinnya. Pekan ini, pada usia 58 tahun, Rendra kembali memerankan Hamlet. Adakah masalah dalam hal usia itu? "Itu bukan persoalan," tuturnya. "Richard Burton memerankan Hamlet di panggung Broadway ketika ia berusia 60 tahun dan tetap bagus." Lalu Hamlet macam apa yang ditampilkan Bengkel Teater kali ini? Yang jelas bukan Hamlet seperti yang diperankan Mel Gibson apalagi Laurence Olivier yang berpakaian tebal macam kostum kerajaan Skandinavia, dan membawa-bawa pedang panjang. Hamlet Rendra adalah Hamlet yang mengenakan celana jins belel dan topi bisbol, yang membawa-bawa keris dan kipas, dan ia mengucurkan kalimat yang meledak-ledak. Mengapa Hamlet lagi, setelah Bengkel Teater mementaskannya dua kali, tahun 1971 dan 1976? "Ini salah satu drama tragedi Shakespeare yang saya anggap paling baik," kata Hamlet jins belel itu. Ia menyukainya karena drama Hamlet yang mengambil seting 400 tahun silam, yang menggambarkan feodalisme Abad Pertengahan, sangat relevan dengan keadaan Indonesia masa kini. Jadi, Rendra berniat bahwa "pementasan ini untuk mengoreksi banyak hal." Hamlet, pangeran Denmark yang mencium suatu kejahatan di balik kematian ayahnya, adalah karakter yang muda, impulsif, melonjak-lonjak, menggelora dengan kata-kata yang bombastis, tapi selalu ragu dalam bertindak. "Hamlet, meski sangat cerdas, selalu dikuasai naluri dan perasaannya. Ia adalah anggota golongan elite birokrat penguasa yang tidak berdaya terhadap proses pembusukan di dalam kerajaan, dan ini sangat penting untuk ditonjolkan," tutur Rendra. "Karena itu, saya ingin mengoreksi dan membuat penerjemahan dan interpretasi ulang." Maka, yang terjadi adalah perubahan beberapa penekanan. "Dulu saya menerjemahkan solilokui Hamlet dengan idealistis, sehingga Hamlet terlihat arif. Sekarang saya menekankan sifatnya yang impulsif dan meledak-ledak itu," katanya. Selain itu, ia memangkas berbagai dialog dan adegan yang dianggap berpanjang-panjang. Toh, setelah pemangkasan itu, pementasan di Taman Ismail Marzuki ini masih memerlukan waktu sekitar empat jam. Tapi mungkin, bagi mereka yang menikmati puisi Shakespeare dalam terjemahan Rendra, dan akting Adi Kurdi dan Rendra sendiri, seperti tampak dalam latihan di pekan lalu, empat jam bukan waktu yang membosankan. Perbedaan lain dengan dua pementasan terdahulu adalah bentuk pementasan. "Kami memilih bentuk gado-gado," kata Rendra. Maksudnya, campur aduk. Hamlet mengenakan jins dan topi bisbol sang Ratu Gewrtrude mengenakan kebaya Jawa Raja dan Polonius memakai kostum Betawi sedangkan Ophelia, kekasih Hamlet, mengenakan kebaya modern Laertes, kakak Ophelia, memakai jas dan dasi. Iringan musik pun, di bawah pimpinan Jammy Adityawarman Graham, gado-gado juga: menggunakan campuran bunyi gamelan, alat tiup akurina dari Guatemala hingga instrumen musik Aborigin yang bernama diduridu. Maka, Hamlet yang mengambil seting sekitar tahun 1600 dikaburkan dengan percampuran alat modern dan tradisional. "Surat dari Hamlet ke Ophelia adalah kain yang digulung seperti surat zaman dahulu cara sembah yang digunakan adalah cara sembah Eropa dan Jawa, pokoknya riuh-rendah, deh," kata Rendra tertawa. Untuk apa gaya gado-gado yang mengaburkan seting Hamlet itu? Upaya seorang sutradara mendongkrak pementasan karena kurang didukung para pemain yang menguasai akting? Kali ini Rendra menjanjikan bukan hanya dia dan, misalnya, Adi Kurdi, yang layak diandalkan permainannya. "Pemain-pemain baru banyak yang berbakat dan saya godok habis-habisan,"katanya. Selama berbulan-bulan Rendra melatih para pemain Bengkel Teater 10 jam sehari, sambil tidak lupa mengomel: dari soal puntung rokok yang harus dibuang di asbak hingga soal disiplin dalam membawakan peran. "Saya menghadapi persoalan inisiatif," katanya membandingkan dengan angkatan Putu Wijaya dan Chaerul Umam di masa lalu. "Angkatan lama biasa bergairah dan penuh inisiatif. Angkatan kini memiliki bakat besar, tapi masih harus didorong-dorong," ujarnya. Dalam penyutradaraan, sudah tentu Rendra bukan Hamlet yang peragu. Ia yakin dan percaya diri. Dan ia sudah punya rencana, jika "proyek regenerasi" ini memuaskan, Bengkel Teater akan segera pentas lagi dan Rendra sudah memilih naskah, karya Shakespeare juga, Saudagar Venesia. Juga sebuah drama karya Rendra sendiri, yang diilhami peristiwa dibunuhnya Marsinah. Bisa jadi, dunia teater bakal sibuk lagi.Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum