Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, mengatakan lembaga antirasuah kurang optimal menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi dalam penanganan perkara rasuah di daerah,
Menurut dia, tim korsup KPK harus lebih aktif memantau penanganan kasus di Kejaksaan dan Kepolisian.
KPK harus lebih aktif memantau penanganan kasus di Kejaksaan dan Kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Fungsi koordinasi dan supervisi melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memecah kebuntuan dalam pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan. Tapi, menurut Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, lembaga antirasuah ini kurang optimal menjalankan fungsi tersebut dalam penanganan perkara korupsi, terutama di daerah.
KPK, kata Laode, harus lebih aktif berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan dalam gelar perkara bersama. Lewat gelar perkara, KPK bisa membantu kepolisian dan kejaksaan mencari solusi atas kepelikan pengusutan suatu perkara. Misalnya, KPK dapat membantu menghadirkan saksi ahli atau menyokong pembiayaan penanganan kasus. "Kalau kasus sudah lama mangkrak, biasanya dilakukan gelar perkara bersama agar gampang dicari jalan keluarnya," kata Laode kepada Tempo, kemarin.
Pemantauan KPK atas kasus korupsi di daerah, menurut Laode, juga sangat vital untuk mengungkap kasus-kasus besar yang tidak bisa ditangani sendiri oleh penegak hukum lokal. Biasanya aparat daerah hanya menangani perkara skala kecil yang nilai kerugian negaranya tidak sampai Rp 1 miliar.
Laode mencontohkan keberhasilan KPK dalam melakukan supervisi atas pengusutan kasus suap penerbitan izin tambang oleh Gubernur Sulawesi Tenggara saat itu, Nur Alam. Suap berhulu dari laporan rekening gendut sang Gubernur yang terlacak oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2014.
Kejaksaan sempat membentuk satuan tugas antikorupsi untuk menyelidiki Nur Alam, tapi tak ada kemajuan. KPK lalu mengambil alih perkara tersebut dan menetapkan Nur sebagai tersangka pada 24 Agustus 2016. Dua tahun kemudian, Nur divonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Keberhasilan mekanisme koordinasi-supervisi tak melulu bergantung pada KPK. Fungsi koordinasi-supervisi KPK sangat dipengaruhi oleh keseriusan serta keterbukaan kepolisian dan kejaksaan dalam menangani perkara rasuah. "Kendala paling utama adalah belum ada keseriusan dari kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus korupsi," kata Laode.
Eks komisioner KPK lainnya, Saut Situmorang, juga menuturkan koordinasi-supervisi merupakan salah satu cara yang ampuh untuk melicinkan penanganan kasus yang seret. Sering kali penyidik dan penuntut tak mencapai titik temu. Tim dari KPK kemudian menjadi penengah yang ikut mencarikan solusi. "Ada kalanya terjadi debat panjang antara penyidik dan penuntut. Diperlukan leadership tingkat lapangan yang kuat," ujar Saut.
Adapun bekas Ketua KPK Abraham Samad menuturkan pengungkapan kasus korupsi di daerah-daerah yang jauh dari Ibu Kota terbilang rendah karena persoalan kompetensi penegak hukum. Di situlah pentingnya fungsi koordinasi-supervisi KPK "Kalau di pelosok mereka punya hambatan, mereka menindaklanjuti masukan kami," kata dia.
Masalahnya, menurut Samad, jumlah petugas koordinasi-supervisi KPK juga terbatas. Akibatnya, tidak semua pengusutan kasus korupsi di daerah bisa dipantau KPK. Karena itu, Abraham menyarankan agar KPK menambah jumlah personel koordinasi dan supervisi.
ROBBY IRFANY | MAYA AYU PUSPITASARI
Pekerjaan Rumah Pencegahan Korupsi
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kerap mengklaim lebih mengutamakan pencegahan ketimbang penindakan kasus korupsi. Tapi, berdasarkan data yang dilansir Transparency International Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW), masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam sektor pencegahan ini.
Persoalan Koordinasi dan Supervisi
- Pertukaran informasi surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) sulit dipantau.
- Minimnya capaian implementasi sistem penanganan perkara terpadu berbasis teknologi informasi dan SPDP Online.
- Banyaknya laporan dari aparat penegak hukum daerah yang belum terverifikasi sesuai dengan pedoman pertukaran data.
- Penerapan program pencegahan korupsi pemerintah daerah belum efektif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo