Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pekan berlalu, peluru itu masih terasa berdesing di telinga MR. Pada Rabu dinihari, 22 Mei lalu, di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, peluru tersebut nyaris mengenai kuping kanannya. Ia selamat, tapi Muhammad Reyhan Fajari, kawannya yang berada di sebelahnya, roboh oleh peluru itu dengan pelipis kiri bolong.
“Waktu itu gelap. Lampu mati. Saya cuma mendengar suara peluru melewati kuping saya,” ujar MR menceritakan kembali peristiwa tersebut pada Selasa, 4 Juni lalu.
Seusai salat tarawih pada Selasa malam, 21 Mei lalu, remaja pria 17 tahun itu tak langsung pulang. Ia ikut membersihkan Masjid Al-Istiqomah di Jalan Petamburan V seperti remaja lain. Ibunda Reyhan, Nur Hayati, mengatakan anak laki-lakinya yang berumur 16 tahun itu pun pamit dari rumah mereka, yang juga terletak di Petamburan V, ke Al-Istiqomah. “Dia mau bersih-bersih masjid,” ujar perempuan 40 tahun ini.
Rupanya, kegiatan di masjid malam itu berlanjut. MR dan teman-temannya meriung untuk mengikuti rapat organisasi mereka, Generasi Muda Masjid Al-Istiqomah, hingga larut malam guna membahas kegiatan selama Ramadan. Sekitar pukul 02.00, MR mendengar keributan. “Katanya ada kabar kalau kampung kami diserang,” ujar MR. Bersama lima temannya, termasuk Reyhan, ia berjalan menuju sumber keributan, yang berjarak sekitar 100 meter dari Al-Istiqomah.
Setiba di lokasi pukul dua lewat, MR melihat orang sudah berkumpul di depan Asrama Brimob Polri yang berada di Jalan K.S. Tubun, juga di kawasan Petamburan. Bukannya menjauh dari lokasi, kelompok remaja tersebut malah mendekati asrama. Posisi mereka berada di ujung Jalan Petamburan IV, di samping kantor Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, yang berseberangan dengan Asrama Brimob.
Saat itu, lampu jalan tak menyala. Sekitar pukul 02.30, MR mendengar suara tembakan beberapa kali. “Enggak tahu dari mana arahnya karena enggak kelihatan. Tahunya Reyhan yang kena,” ujarnya.
Sebelum kericuhan meletus, pendukung calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno menggelar unjuk rasa di depan gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum di Jalan M.H. Thamrin pada Selasa pe-tang, 21 Mei, untuk memprotes dugaan kecurangan dalam pemilihan presiden. Sekitar pukul 21.00, massa membubarkan diri. Tapi massa, yang menurut polisi kelompok yang berbeda, kembali datang ke Bawaslu sekitar pukul 23.00 dan mulai mengacau. Mereka melempari polisi dengan batu dan bom molotov.
Polisi kemudian mendorong massa hingga ke Tanah Abang, kawasan di belakang gedung Bawaslu. Kericuhan kemudian merembet ke depan Asrama Brimob di Petamburan dan memancing MR, Reyhan, dan kawan-kawannya menonton setelah mendengar isu kampung mereka diserang.
Pada waktu yang hampir bersamaan, polisi dari satuan Gegana yang berada di Asrama Brimob berusaha menghalau perusuh yang melempari wisma dengan batu dan bom molotov. Perusuh juga membakar sejumlah mobil penghuni asrama. Komandan Subdetasemen Kimia Biologi dan Radio Aktif Gegana Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Ibrahim Joao Sadjab, yang saat itu berada di lokasi, mengatakan polisi tak menggunakan peluru tajam untuk meredam amuk massa. “Kami ganti pakai peluru karet,” ujarnya.
Menurut Ibrahim, sesuai dengan tugasnya, personel Gegana memang dibekali peluru tajam. Salah seorang anggota Gegana yang ikut menghalau massa pada kericuhan tersebut menunjukkan peluru tajam dalam senjata di pinggangnya kepada Tempo pada Selasa, 4 Juni lalu. Hanya, kata dia, ketika kerusuhan terjadi, semua personel yang berjaga diinstruksikan mengganti peluru tajam dengan peluru karet. “Kami berusaha bertahan dengan amunisi seadanya, dengan personel yang juga terbatas,” ujar Ibrahim.
Setelah rebah oleh peluru, Reyhan sempat diboyong ke Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Mintohardjo di Bendungan Hi-lir, Jakarta Pusat. Ia dinyatakan tewas setiba di sana. Jenazahnya kemudian dibawa ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk diautopsi.
Adanya lubang bekas peluru tajam di pelipis Reyhan diketahui dari penelusuran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurut Komnas HAM, Reyhan satu dari delapan korban tewas dalam kerusuhan 22 Mei. Dari delapan korban, empat di antaranya telah diautopsi di Rumah Sakit Polri. Kepala Operasional Rumah Sakit Polri Komisaris Besar Edy Purnomo mengatakan, dari empat korban, peluru hanya ditemukan pada satu jenazah. “Seingat saya, dari hasil roentgen, peluru itu bersarang di sekitar tulang punggung,” ujar Edy. Peluru itu, kata Edy, sedang diuji balistik oleh polisi.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan peluru tersebut bersarang di tubuh Harun Rasyid, remaja 15 tahun. “Ia terkena tembakan di lengan kiri atas menembus ke dada,” ujar Beka. Komnas HAM masih menginvestigasi asal peluru tersebut. Didin Wahyudin, ayah Harun, berharap kematian anaknya diusut tuntas. “Saya ingin keadilan untuk anak saya,” ujarnya.
Menurut Didin, anaknya ditemukan tewas di jembatan Kemanggisan, yang melintang di kawasan Slipi, Jakarta Barat, pada 22 Mei lalu oleh relawan medis. Didin mengatakan Harun tak pulang ke rumah setelah meminta uang Rp 5.000 untuk membeli layangan sehari sebelumnya. Harun memang kerap menginap di rumah sahabatnya.
Didin menyesalkan sikap polisi yang terkesan tertutup. Ia mengaku tak mengetahui hasil autopsi forensik terhadap anak laki-lakinya. Didin mempersoalkan salah satu pasal dalam surat persetujuan autopsi forensik. Dalam surat itu, menurut dia, tertulis bahwa keluarga tak dapat menuntut hasil autopsi. “Terkesan ada yang ditutupi,” ujarnya.
Menurut Edy Purnomo dari Rumah Sakit Polri, hasil autopsi forensik memang tak bisa diperoleh keluarga. Sebab, autopsi itu diajukan polisi untuk kepentingan penyelidikan, yang disetujui keluarga melalui surat pernyataan. “Aturannya memang begitu,” katanya.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengatakan tak ada yang ditutupi dalam pengungkapan tewasnya delapan orang dalam kerusuhan 22 Mei. Menurut Tito, tim investigasi yang dibentuk Polri sedang merunut peristiwa tersebut. “Hasil investigasi ini sudah pada proses mempelajari kronologi peristiwa,” ujarnya. Ia mengatakan tim itu diawasi Komisi Kepolisian Nasional dan akan bekerja sama dengan Ombudsman RI agar prosesnya transparan.
DEVY ERNIS, AJI NUGROHO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo