Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REPUTASI Garibaldi “Boy” Thohir sebagai jagoan mitra individu perusahaan investasi dunia sedang dipertaruhkan. Miliarder batu bara itu harus segera merampungkan penjualan 19,9 persen dan 11 persen saham Trinugraha Capital & Co SCA di perusahaan pembiayaan PT BFI Finance Tbk (BFIN). Trinugraha adalah perusahaan ekuitas yang berbasis di Luksemburg.
Penyandang dana Trinugraha Capital adalah salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia, TPG Capital. Perusahaan investasi itu mempunyai dana kelolaan sebesar US$ 104 miliar atau setara dengan Rp 1.495 triliun.
Bersama perusahaan ekuitas lain, Northstar Equity Partners, yang didirikan pengusaha Patrick Walujo, TPG menanam duit di BFI Finance. Kini perusahaan yang dibawa Boy masuk ke BFI Finance pada 2011 itu berikhtiar keluar dari struktur pemegang saham. “Secara teori, sudah saatnya kami keluar setelah private equity berlangsung lima-enam tahun. Tapi kalau tidak bisa keluar bagaimana?” kata Boy setelah mengadakan buka puasa bersama di kawasan Gunawarman, Jakarta Selatan, Rabu, 15 Mei lalu. Menurut dia, TPG masih fleksibel dengan rencana itu karena kinerja BFI bagus.
Rencana Trinugraha melepas 30,9 persen sahamnya di BFI Finance tersiar sejak pertengahan tahun lalu. Pada 6 Agustus 2018, Trinugraha—yang mengempit 42,81 persen saham BFIN—menyurati manajemen. Isinya: Trinugraha telah menandatangani perjanjian jual-beli saham dengan perusahaan pembiayaan asal Italia, Compass Banca SpA, anak usaha Mediobanca, bank investasi Italia. Totalnya sebanyak 2,9 miliar saham atau setara dengan 19,9 persen.
Trinugraha juga meneken perjanjian yang sama dengan Star Finance SRL, perusahaan yang menghimpun investor Italia, sebanyak 1,6 miliar saham atau 11 persen. Transaksi diperkirakan rampung dalam beberapa bulan, paling tidak akhir 2018. Namun, sampai tahun berganti, jual-beli itu tak kunjung beres. “Belum batal. Prosesnya masih berlangsung,” ujar Boy.
Berlarut-larutnya penjualan itu ditengarai akibat PT Aryaputra Teguharta, melalui kuasa hukumnya, Hutabarat Halim & Rekan (HHR), menuduh Trinugraha menadah saham yang bermasalah saat membelinya pada 2011. Kabar penjualan saham Trinugraha ke Negeri Pizza itu kemudian memicu masalah baru. Hutabarat Halim & Rekan menggugat Trinugraha pada 1 Oktober 2018.
Menurut Asido Panjaitan, salah satu pengacara di HHR, Trinugraha juga tidak menghormati putusan Mahkamah Agung Nomor 240/ PK/ Pdt/2006 (PK 240) yang memutuskan Aryaputra adalah pemilik sah 32,32 persen saham BFI Finance. “Dari situ kami menyurati Mediobanca bahwa transaksi mereka salah,” kata Asido di kantornya di Jakarta, Kamis, 23 Mei lalu.
Asido mengaku kliennya sudah mendengar Trinugraha akan melepas sahamnya sejak 2017. Rencana itu kemudian meredup sampai akhirnya muncul persetujuan jual-beli saham dengan Compass Banca dan Star Finance pada Agustus 2018. “Akhirnya kami mengingatkan Compass Banca. Kami somasi dua kali,” ujar Asido.
Somasi itu salah satunya terbang ke Italia pada 6 Agustus 2018. HHR mengabarkan soal sengketa saham BFI yang melibatkan Aryaputra. Selain memberi tahu, HHR sedikit menebar ancaman. “Jika di masa depan Compass dan Mediobanca masih berkeras dan mengabaikan keberadaan sengketa, dapat disimpulkan Compass dan Mediobanca akan dianggap sebagai pihak yang beriktikad buruk dalam upaya akuisisi saham BFI,” begitu bunyi penggalan somasi tersebut.
Asido mengakui timnya memang berusaha menggagalkan transaksi. “Pada September 2018, kami juga mulai menggugat mereka di Italia.”
•••
TERTUNDANYA jual-beli saham antara Trinugraha Capital dan Compass Banca serta gugatan oleh Hutabarat Halim & Rekan membuka benang kusut sengketa saham BFI Finance yang sudah berlangsung nyaris 16 tahun. Ribut-ribut ini bermula pada 26 Maret 2003 ketika PT Aryaputra Teguharta menggugat Presiden Direktur BFI Francis Lay Sioe Hoe serta dua direktur BFI Finance, Cornelius Henry Kho dan Yan Peter Wangkar.
Ketiganya digugat karena menjual saham milik Aryaputra di BFI Finance pada 9 Februari 2001 sebanyak 111 juta lembar atau setara dengan 32,32 persen pada saat itu. Saat menggugat pada 26 Maret 2003, Aryaputra masih dikuasai Irsanto Ongko, anak Kaharuddin Ongko. Kaharuddin adalah pemilik lama BFI Finance sebelum diempas krisis ekonomi 1998. Kaharuddin juga dulu pemilik Bank Umum Nasional, yang didakwa mengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang merugikan negara Rp 6,738 triliun. Karena kasus itu, Kaharuddin kabur ke luar negeri.
Hingga 1999, Aryaputra menguasai 111 juta lembar saham (32,32 persen). Perusahaan Ongko lainnya, PT Ongko Multicorpora, menguasai 98 juta lembar (28,44 persen). PT Bank Umum Nasional menguasai 27 juta lembar (8,06 persen). Kaharuddin Ongko sendiri menguasai 1,8 juta lembar (0,54 persen).
Saat krisis menghantam, BFI Finance terjerat utang kepada kreditor asing sebanyak US$ 300 juta. Perusahaan tak mampu membayar utang. Di sisi lain, BFI masih punya piutang ke 29 perusahaan di bawah bendera Ongko Group milik Kaharuddin Ongko. Piutang itu mencapai US$ 100 juta. Grup Ongko tak mampu membayar utang terafiliasi tersebut.
Direksi kemudian menghadap kepada kreditor, mengibarkan bendera putih, dan meminta restrukturisasi. Kreditor meminta saham milik keluarga Ongko dikeluarkan dari pemegang saham BFI. Presiden Direktur BFI Francis Lay Sioe Ho bertemu dengan Ongko dan terjadi kesepakatan secara lisan. Direksi BFI akhirnya mempertemukan Ongko dengan para kreditor. Francis adalah anak angkat sekaligus orang kepercayaan Ongko saat itu.
Dari pertemuan Ongko dengan kreditor yang diwakili The Royal Bank of Scotland, lahirlah perjanjian gadai saham. PT Aryaputra Teguharta, sebagai pemegang 111 juta lebih lembar saham, dan PT Ongko Multicorpora, pemilik 98 juta lebih lembar saham di BFI, menjaminkan sahamnya dengan perjanjian gadai saham ke BFI pada 1 Juni 1999. Jatuh tempo perjanjian itu 12 bulan.
Pada 22 Februari 2000, perjanjian gadai saham itu diperpanjang enam bulan dan jatuh tempo pada 1 Desember 2000. Perjanjian perpanjangan gadai saham kembali dilakukan tiga hari sebelum jatuh tempo untuk jangka waktu satu tahun. Saat waktu perpanjangan itulah saham milik Aryaputra dan Ongko Multicorpora dilepas untuk melunasi utang-utang BFI.
Setelah pengalihan, komposisi pemegang saham BFI berubah, menjadi 48,67 persen dipegang The Law Debenture Trust Corporation Plc, London, wali amanat dari para kreditor asing. Sebanyak 9,99 persen dipegang Bank of Bermuda Ltd, Hong Kong; 8,07 persen dipegang Bank Umum Nasional Tbk; 7,46 persen dipegang Indosuez Singapore Noms; dan lain-lain 25,54 persen. “Jika dikalikan dengan harga saham BFI saat itu, pelepasan saham Ongko Multicorpora dan Aryaputra masih belum menutup utang-utang perusahaan Ongko kepada BFI,” kata Budi Darwan Munthe, Head Corporate Secretariat BFI Finance, di kantornya di Tangerang Selatan, Senin, 27 Mei lalu.
•••
PENGALIHAN saham PT Aryaputra Teguharta itulah yang berbuah gugatan. Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut baru diputus pada 14 April 2004, yang menyatakan BFI Finance melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengalihkan saham milik PT Aryaputra (Grup Ongko) di perusahaan tersebut kepada pihak lain. Pengadilan memerintahkan BFI mengembalikan semua saham yang dijaminkan Aryaputra sejumlah 111.804.732 lembar. BFI juga diwajibkan membayar ganti rugi atas dividen yang seharusnya diperoleh Aryaputra selama tahun buku 2001 dan 2002 senilai Rp 149,9 miliar sampai ada putusan tetap. Kuasa hukum Grup Ongko saat itu adalah Lucas, yang pada Maret 2019 divonis 7 tahun penjara karena tuduhan menghalang-halangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kaharuddin Ongko.
Di pengadilan banding dan kasasi, giliran BFI Finance yang menang. Baru pada peninjauan kembali (PK 240) Aryaputra dinyatakan sebagai pemilik sah 32,32 persen saham BFI Finance.
Namun, pada 10 Oktober 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan putusan PK 240 itu tidak dapat dieksekusi karena saham milik Aryaputra sudah dijual dan tidak berada dalam penguasaan tergugat. “Saham-saham Aryaputra tersebut telah dijual kepada publik sesuai dengan perjanjian jual-beli saham tanggal 9 Februari 2001 dan perjanjian tersebut telah dinyatakan sah dalam putusan PK 240,” begitu bunyi pernyataan resmi BFI Finance.
Kini, menurut Asido Panjaitan, keluarga Ongko bukan lagi pemilik Aryaputra. Perusahaan itu telah beralih ke dua perusahaan offshore yang berbasis di Seychelles, negara suaka pajak. Dua perusahaan pemilik Aryaputra itu adalah Horizon Media Limited dan Singa Finance Company Limited. “Keluarga Ongko sudah tidak ada lagi,” ujar Asido. Tapi Boy Thohir masih yakin keluarga Ongko berada di balik Aryaputra. “Jadi ini hanya sengketa dengan pemegang saham lama.”
Hingga Rabu, 15 Mei lalu, Boy masih yakin jual-beli saham dengan Compass Banca dan Star Finance masih di jalan yang benar. Sebab, kata Boy, pada April lalu dia masih bertemu dengan perwakilan Compass Banca. Orang-orang Italia itu masih bolak-balik ke Indonesia untuk segera merampungkan transaksi. “Ada syarat-syarat yang masih harus diurus,” ujar Boy.
Garibaldi “Boy” Thohir.
Salah satunya soal pemegang saham pengendali. Otoritas Jasa Keuangan menginginkan adanya pemegang saham pengendali dalam BFI Finance. “Tidak tertutup kemungkinan ada kesepakatan antarmereka untuk menjadi pemegang saham pengendali,” kata Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 2B OJK Bambang W. Budiawan saat dihubungi, Senin, 27 Mei lalu.
Menurut Bambang, pemegang saham pengendali dalam perusahaan pembiayaan adalah perkara pokok. Bila terjadi masalah modal dan kemampuan perusahaan membayar utang terganggu, OJK tahu kepada siapa komitmen itu bisa ditagih.
Sementara itu, kata Bambang, OJK tidak mempermasalahkan sengketa saham BFI. Yang diawasi OJK, menurut dia, adalah yang tercatat formal di OJK. “Sengketa saham itu cerita klasik. Itu urusan mereka,” ujar Bambang.
Penegasan Bambang seperti lampu hijau yang menyilakan transaksi jual-beli saham PT Trinugraha Capital dan Compass Banca jalan terus. Namun, belakangan, optimisme Trinugraha sedikit luntur. Pada Selasa, 28 Mei lalu, Boy Thohir mengatakan, “Kami masih menunggu sampai urusan sengketa saham ini mereda dulu.”
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTIYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo