PRESIDEN Soeharto dengan sigap naik ke atas truk Perkasa. Sambil mencoba stir, Soeharto memutar kunci kontak truk buatan PT Perkasa Wahana Autojaya, anak perusahaan Texmaco Group. Setelah mesin menyala, Soeharto menginjak pedal gas berkali-kali, suaranya menderu-deru. Senyumnya mengembang penuh dan, ketika akan turun, ia mengacungkan kedua jempolnya. Itulah kejadian pada pertengahan Februari 1998, saat acara uji coba truk produksi perusahaan milik Marimutu Sinivasan di pabriknya di Subang, Jawa Barat, diresmikan.
Sinivasan, yang sempat terlihat tegang, tersenyum lega. Senyumnya makin melebar mendengar Soeharto melontarkan pujian kepadanya setelah turun dari Perkasa dan mengungkapkan mimpinya dulu yang ingin membangun kawasan industri dasar di dekat Yogyakarta, kota kelahirannya. Sayangnya, masih kata Soeharto, rencana itu batal karena sulit mencari lahan yang luasnya memadai. Maklum, Yogyakarta dan sekitarnya sudah padat. "Tapi di Jawa Barat juga tidak apa-apa karena kawasan ini pun menguntungkan," katanya sambil tertawa. Sinivasan hanya tersenyum kecil.
Sebulan kemudian, pengusaha kelahiran Medan itu mengundang Komisi V DPR RI berkunjung ke pabriknya. Seperti Soeharto, para anggota DPR yang membidangi industri itu juga melontarkan puja-pujinya kepada Texmaco. Mereka menilai, Texmaco serius mengembangkan mobil nasional dengan kandungan lokal yang tinggi. "Kami yakin perusahaan ini akan mampu bersaing dengan perusahaan otomotif yang lain," kata Soenarjo, Wakil Ketua Komisi V, ketika itu. Menurut pengakuan Sinivasan, pada saat itu kandungan lokal Perkasa sudah 75 persen dan pada tahun 2001 akan sampai 90 persen.
Agaknya, dukungan presiden dan DPR itulah yang membuat "harga" Texmaco naik. ABRI pun kemudian memesan seribu unit truk Perkasa. Tak jelas bagaimana mulanya, kok, ABRI sampai memesan truk ke Texmaco, padahal pada saat itu ABRI sedang menunggu pesanan truknya ke Korea Selatan sebanyak 700 unit. Pembelian ke Korea Selatan, yang diimbal beli dengan CN-235, ini tergolong mahal karena satu unit truk KM-250 buatan Asia Motors (Korea Selatan) harganya US$ 82 ribu. Artinya, untuk 700 unit itu, ABRI mesti menyediakan dana US$ 58 juta. Jika harus ditambah US$ 18 juta untuk membeli truk Perkasa, kas pemerintah jelas tak mungkin cukup. Tapi pesanan ternyata jalan terus.
Sumber TEMPO mengungkapkan, kedekatan Sinivasan dengan Soeharto dan Wiranto-lah yang membuat ABRI memesan sampai seribu unit. Namun, Sinivasan membantah keras tudingan itu. Sinivasan menceritakan, pesanan itu semula berasal dari pembicaraannya dengan Letjen TNI Sugiono—saat itu masih menjadi Pangkostrad. "Ketika mendengar Texmaco sudah bisa memproduksi truk, Sugiono mengatakan mengapa Texmaco tidak mencoba menawarkan ke ABRI," kata Sinivasan. Dia kemudian menawarkan truk itu, dan pemerintah oke. Texmaco sudah menyerahkan 50 unit pertama pada April 1999 di Mabes ABRI, Cilangkap. Belakangan, karena kesulitan pendanaannya, ABRI mengurangi pesanannya jadi 800 unit.
Namun, ekspansi Texmaco tidak menjadi kendur. Sinivasan mengatakan, setelah urusan truknya beres, Texmaco akan memasarkan mobil penumpang kelas niaga dan motor roda dua. Rencananya, mobil penumpang itu akan diluncurkan tahun depan dengan harga di bawah Rp 25 juta. Dengan ekspansi yang tergolong kencang, arus uang dari kantongnya juga deras mengalir keluar. Untuk industri otomotifnya saja, Sinivasan mengeluarkan tidak kurang dari US$ 240 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun. Di tengah krisis ekonomi yang kencang menghantam Indonesia, ekspansi itu memang tergolong berani, bahkan mungkin nekat.
Apalagi, selain mengembangkan industri otomotif, Texmaco juga merencanakan membangun industri dasar, dari pengecoran logam sampai pembuatan peralatan mesin. "Semuanya kira-kira membutuhkan US$ 3 miliar," kata Sinivasan, yang mengaku sangat berambisi mengembangkan industri dasar. Apalagi, Soeharto ketika itu memang sangat mendukungnya, bahkan menganjurkan Sinivasan untuk melakukan studi banding ke berbagai negara industri seperti Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Dia menambahkan, "Kalau ingin maju, kita memang harus membangun industri dasar. Dari situ, kita bisa membuat apa saja, dari mesin tekstil sampai roket."
Tapi, gara-gara ambisi itulah Sinivasan kini mesti menghadapi beratnya persoalan kredit macet. Bisa-bisa Sinivasan malah akan kehilangan asetnya yang berharga untuk menebus utang-utangnya itu. Harap maklum, lobinya kini tak lagi sakti, bahkan telah menjadi bala. Upayanya melobi Presiden Abdurrahman Wahid pun seperti menumbuk tembok. Dengan entengnya Gus Dur mengatakan, kalau Sinivasan tidak bisa menerima penjelasan Menteri Negara Investasi dan BUMN, Laksamana Sukardi, tentang kredit bermasalah Texmaco, Sinivasan bisa pergi ke pengadilan.
Begitulah. Akibat lobi hilang, nasib Perkasa dan Texmaco pun jadi tak keruan.
M. Taufiqurohman, Ali Nur Yasin, I.G.G. Maha Adi, dan Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini